The Reason (Part 7)

275 45 8
                                    

Saran:
Dianjurkan membaca kisah ini dari awal sampai akhir sambil mendengarkan instrumen Ballad relaksasi piano/biola*

Siang itu, suara engsel pagar yang terbuka memecah kesunyian. Seorang laki-laki dengan wajah babak belur memegang salah satu jeruji pagar itu, lama. Ia hanya sendiri dan tak sedang salah masuk rumah. Lee Minhyuk, ia melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah Changsub tanpa meninggalkan suara gaduh meski beberapa saat lalu suara kriet lirih sudah menodai keheningan siang.

Ia menenteng  sebuah tas kresek hitam polos yang entah isinya apa, lalu tanpa mengetuk, ia menarik knop pintu rumah itu. Changsub yang berbaring di tempat tidurnya namun masih terjaga meski memejamkan mata, menajamkan indera pendengarannya: menebak siapa yang kira-kira datang, mungkinkah Peniel sudah kembali?

"Tetangga, kau tidur?" Minhyuk menyapa pelan.

Changsub mengenalinya, suara itu. Ia ingin bangkit dan menyambut seseorang yang belum beberapa lama menarik perhatiannya, namun hati ternyata tak mau berkompromi. Ada banyak hal yang menutup pintu ruang geraknya untuk sebuah sambutan kecil. Laki-laki yang tengah tenggelam dalam titik jenuhnya itu memutuskan untuk mengabaikan Lee Minhyuk.

"Tetangga? Kau benar-benar tidur? Ah, atau kau marah karena aku masuk begitu saja ke rumahmu?" tanyanya.

Minhyuk berjalan mendekat. Ia meletakkan bungkusan hitam yang ditentengnya di atas meja bersih tanpa barang. Changsub mendengarnya: laki-laki itu tengah menata beberapa kaleng (mungkin bir) di sana, ada tiga sampai lima--entah besar atau kecil--lalu ia mendengar suara jeritan kaki kursi yang terseret. Minhyuk tengah duduk membelakangi Changsub, menghadap ke jendela, menerawang jauh keluar, dan mulai memperdengarkan gelegak air yang melewati tenggorokannya. Laki-laki itu menenggak habis minuman kaleng dalam satu tegukan.

"Tetangga, meskipun kau tengah tidur, aku ingin menceritakan sebuah kisah sedih padamu. Tapi jangan menangis karena aku hanya ingin berbagi. Tunggu sebentar.. di mana biolanya?" Minhyuk beranjak dari kursi itu. Ia mencari di mana letak biola yang semalam ia titipkan di rumah itu. Ia pikir ia melihatnya beberapa waktu lalu.

Laki-laki itu pergi ke luar kamar dan membuat keributan kecil karena mencari sebuah biola. Sementara itu, Changsub yang tengah berpura-pura tidur membuka matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh area yang terangkum dalam matanya. Di atas meja itu ternyata ada empat kaleng bir--tiga penuh, satu kosong--dan sebotol soju. Minhyuk berniat mabuk, di rumahnya. Buru-buru dipejamkannya mata lagi ketika mendengar langkah Minhyuk masuk ke dalam kamar: biola itu tertenteng  ringan di tangan kanan yang kokoh.

Benda itu bertengger tenang di genggaman jari-jari Minhyuk, namun penggeseknya terseret begitu saja di lantai: penggesek yang tak bersalah. Beberapa helai rambut penggesek patah akibat bersinggungan dengan keramik yang tak ramah, barangkali mereka ikut merasakan kepedihan cerita yang akan disampaikan lelaki itu. Changsub menyiagakan telinganya. Ia tak sanggup menyangkal bahwa dirinya bahkan ingin tahu kisah sedih itu. Ia bahkan tak menyadari dirinya sudah menjadi penikmat kepahitan.

Minhyuk membuka sekaleng bir lagi, meneguknya sedikit sebelum mulai memainkan biolanya. Usai meletakkan kaleng yang separuh kosong itu, ia kemudian mulai menempatkan penggeseknya di dawai-dawai biola, menggeseknya pelan, menaikkan emosi, menggali perasaan tulus, merasakan atmosfer ruangan yang tiba-tiba berubah seolah melewati mesin waktu, dan didapatkannya memori-memori lama yang membias ratusan penyesalan.

Jari-jari kirinya bergerak lincah membentuk melodi seperti telah benar-benar hafal sebuah partitur dengan tempo pas tanpa kesalahan. Ia bercerita lewat musiknya. Seperti membuka layar LCD, cerita yang tersampaikan lewat nada-nada merdu itu sampai pada relung hati Changsub. Benaknya bergejolak untuk kesekiankali, ada rasa sesak yang berbeda dibanding keputusasaan yang tengah melanda batin dan raganya. Minhyuk mentransfer selarik jiwa sendu ke dalam notasi-notasi yang dihafalnya, bahkan tak sengaja air matanya merembes keluar, membuat gesekan pada irama kesedihan itu merapuh, luluh.

Kisah sedih yang disampaikan oleh alunan nada sendu itu tiba-tiba melirih. Minhyuk tidak bisa melanjutkan permainannya: ia terisak. Leher biola dan penggeseknya tergenggam erat di kedua telapak tangan laki-laki muda itu, isaknya menggugah Changsub.

"Hyung~" gumam Changsub.

Mata Minhyuk membelalak. Ada desir dalam jantungnya yang kemudian membentuk birama acak tak jelas. Sepotong kalimat itu berdengung di telinganya, membuat benak lelaki itu tercengang dan ragu untuk mencari suara yang menggumam baru saja.

"A... ahh.. tetangga... aku membangunkanmu, ya?" sahutnya gugup. Ia mengusap air matanya.

"Cerita yang baru saja kau sampaikan itu.. apa aku pernah mendengarnya? Kurasa itu tidak asing," ujar Changsub. Ia menemukan ketertarikan dan keingintahuannya tentang laki-laki itu, lagi.

"Kenapa kau panggil aku 'hyung'?" Minhyuk tidak merespon pertanyaan Changsub dan lebih memilih mengajukan pertanyaan lain yang tak ada hubungannya.

"Peniel bilang kau satu tahun lebih tua dariku," jawabnya polos. Minhyuk tercekat. Dunianya seketika runtuh. Ia tengah membangun sebuah harapan besar ketika kata 'hyung' terucap dari mulut Lee Changsub, namun sepertinya hal itu memang tidak berarti bahwa Changsub benar-benar mengingatnya. Peniel benar.

Dirinya tengah mendapat karma. Acap kali Changsub membuka mata dan hanya mengenalinya sebagai tetangga baru, ia akan mati berkali-kali saat itu juga. Minhyuk menerimanya, sebagai sebuah pembalasan. Ia tak menolak itu, namun tidak sanggup berdusta bahwa ini menyakitkan.

"Ah iya, kupikir sebelumnya kami sudah berkenalan. Tentang lagu ini dan kisah yang disampaikannya, entahlah... aku sering memainkannya, jadi mungkin kau sudah tak asing lagi," jawab Minhyuk.

"Itu kisah yang sedih, Hyung. Bahkan mungkin lebih sedih dari kisahku." Changsub bergumam datar. Ekspresinya dingin, tatapan mata itu mendadak kosong lagi.

"Setiap orang memiliki tragedinya sendiri. Sesuatu yang kaupikir mudah, mungkin itu hal berat bagi orang lain. Simpel saja, kita adalah pahlawan dan korban di kisah masing-masing," tandas Minhyuk.

Minhyuk beranjak bangkit. Ia mendekati Changsub lalu menyodorkan biola dan penggeseknya di hadapan anak itu. Lee Changsub mendongak, digerakkannya tubuhnya hingga berada dalam posisi duduk. Tangan kirinya meraih leher biola dari telapak tangan Minhyuk. Dengan tatapan bertanya, ia kemudian menggumam, "Apa yang bisa kulakukan dengan ini?".

"Ceritakanlah kisahmu. Padaku: lewat rentetan melodi bernyawa. Hidupkan kembali dirimu. Hanya dengan begitu kita bisa bersama-sama membagikan kisah ini pada orang lain," jawab Minhyuk.

"Bagaimana aku bisa memainkannya?"

"Aku akan mengajarkannya padamu..." sahutnya.

"Apakah itu tidak membuang percuma waktumu? Kau harus bekerja, Hyung."

"Setiap hari aku akan mengunjungimu. Akan kuajarkan semua yang kubisa tentang ini, lalu kita akan bekerja bersama-sama setelah kau cukup mahir," ujar Minhyuk sambil menatap ke dalam mata Changsub: sorot itu masih lemah.

"Bekerja... bersama-sama?" Changsub melayangkan pandangannya ke luar jendela. Bekerja bersama-sama... mungkinkah?

NB:
Boleh tidak aku menangis? Bukan karena membaca ini, tapi karena setelah sekian lama akhirnya aku berhasil membuat satu part cerita di sini (lagi). Maaf karena terlalu lama nggak update ya, teman-teman... semoga part-part selanjutnya bisa terupdate normal kembali. Dukungan dan votmen kalian sangatlah membantu.. terima kasihhhh

[2018] THE REASON ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang