#playmedia 👆
Lee Changsub sudah berada di atas panggung dengan biola dan penggeseknya, menghadap ke ratusan penonton yang memadati tribun gedung orkestra dari atas hingga bawah. Ia belum melakukan apa-apa, belum memulai apa pun. Lampu sorot itu membungkus dirinya dalam ribuan cahaya sinar yang berkumpul: Changsub adalah tokoh utama.
"Lee Changsub~shi, apakah kau akan bermain sendirian?" tanya salah seorang juri. Wanita separuh baya itu tampak mencari kontestan lain yang namanya terdaftar di kertas yang tengah ia pegang, namun di atas sana hanya ada seorang.
"Aku..."
"Maafkan aku, dewan juri. Aku terlambat. Kami akan bermain bersama." Seseorang dari balik tirai besar tampak berjalan terburu-buru. Itu Minhyuk.
Tiga juri yang memperhatikan langkah Minhyuk kemudian terlihat lega. Tanpa menanyakan alasan keterlambatan Minhyuk, mereka mempersilakan dua laki-laki muda yang berada di atas panggung itu untuk segera memulai permainan mereka. Pasrah, semua orang yang ada dalam gedung seolah menyerah, membebaskan Minhyuk dan Changsub membawa mereka ke mana pun mereka ingin dengan lantunan irama-irama.
"Changsub~ah, berperanlah lebih besar dalam permainan ini..." Minhyuk berbisik.
Changsub tertegun mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Lee Minhyuk. Sebelumnya, mereka bahkan berjanji akan bermain seimbang sehingga terlihat sama-sama menonjol dan saling mengisi, namun pada waktunya, Minhyuk ternyata mengatakan demikian. Ingin bertanya mengapa, namun baik Changsub atau Minhyuk tak memiliki banyak waktu tersisa: mereka harus bermain sekarang.
Sepuluh menit sebelum Changsub naik ke atas panggung~
Laki-laki muda itu tertatih menuruni taksi dengan terburu-buru. Ia beberapa kali memegangi lengan kanannya sabil terhuyung. Dalam benaknya hanya terpikir satu nama, terbayang satu wajah, teringat satu kenangan: semua tentang Lee Changsub. Berhenti di depan sebuah ruangan yang terbuka, Minhyuk mengintip jam yang terpampang di atas sebuah papan-masih ada sedikit waktu, pikirnya.
"Hyung? Minhyuk~hyung?" Minhyuk mendengar sebuah suara. Ia lupa, selain Changsub, ada orang lain yang turut hadir di gedung itu, Peniel.
"Oh? Peniel. Changsub... di mana Changsub?" Mata Minhyuk meliar. Tak disadarinya Peniel tampak bingung dan khawatir.
Pemuda pelontos itu kemudian mengarahkan Minhyuk masuk ke dalam toilet pria. Ia tidak menanyakan alasan Minhyuk terlambat datang karena Changsub memberitahukan itu sebelumnya: rantai motor Minyuk bermasalah. Namun yang ingin Peniel tahu adalah mengapa pakaian Minhyuk terlihat menyedihkan, juga wajahnya yang terluka.
"Peniel, kenapa kita kemari?" tanya Minhyuk, ia masih terlihat buru-buru.
"Minhyuk~hyung, apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat seperti ini? Kau.. baik-baik saja?" Pertanyaan beruntun itu berhasil menyita perhatian Minhyuk setelah sekian lama ia tak berfokus pada Peniel yang sedang berada di dekatnya.
"Aku baik-baik saja, Peniel. Tolong, jangan padamkan api amarahmu padaku, ya?" jawab Minhyuk.
"Hyung, aku tidak bisa membencimu terlalu lama. Setelah bertemu denganmu, semakin lama aku marah, itu semakin menyakiti hatiku. Jadi, jangan mengatakan itu dan biarkan waktu yang menyembuhkan segalanya. Dan juga, meski kau berbohong ribuan kali bahwa kau baik-baik saja, matamu mengatakan yang sebenarnya," ujar Peniel.
"Peniel...kau... kenapa kau selalu seperti ini?"
"Jangan naik ke panggung, Hyung. Aku akan memberitahu Changsub~hyung bahwa kau tak sedang baik-baik saja. Dia akan mengerti, percayalah."Peniel berusaha meyakinkan Minhyuk.
Keringat dingin Minhyuk membasahi hem putih yang dikenakannya di balik tuxedo itu. Ia menggeleng tanda tak setuju dengan ucapan Peniel. Dibanding keadaannya sekarang, Minhyuk yakin bahwa Changsub lebih banyak melalui penderitaan semacam itu.
"Bantu aku merapikan pakaianku, Peniel. Changsub sudah menunggu terlalu lama..."
***
Gesekan melodi nyaring dari biola Changsub memenuhi seantero gedung orchestra. Tidak ada suara yang terdengar selain jeritan dawai yang bersinggungan dengan penggeseknya. Seperti terhipnotis, seluruh mata yang ada di sana tertuju pada satu poros: panggung. Alunan melodi ballad-klasik itu kemudian disusul suara piano oktaf terendah dari Minhyuk. Hanya telapak tangan dan jari-jari kiri Minhyuk yang meliar di atas tuts hitam putih itu, sementara tangan kanannya dibiarkan terkulai di depan grand piano cokelat besar yang tampak sederhana namun mewah.
Di menit kedua, jalannya partitur itu seharusnya sudah pada melodi improvisasi piano, namun Minhyuk terus bermain konstan dengan dua oktaf di kirinya. Hal ini memaksa Changsub melakukan lebih banyak improvisasi yang tak pernah dilakukannya selama latihan. Ia marah, tiba-tiba saja bahkan tak mampu berpikir jernih. Memasuki irama klimaks, Minhyuk dan Changsub merasa permainan mereka terlalu dingin. Lalu mengalirlah bulir-bulir bening di pipi Minhyuk.
"Aku tampak seperti orang bodoh. Aku masih pengecut. Aku tak mampu..."
"Lepaskan semuanya Lee Minhyuk!!!"
Gejolak batin Minhyuk tertangkap oleh Changsub. Seolah masing-masing tertampar oleh waktu, keduanya kemudian mempercepat tempo permainan, mencoba membangkitkan gelegak jiwa-jiwa dalam ribuan not yang keluar mengisi celah-celah kosong dalam gedung itu, juga... bercerita, berkisah. Mereka sibuk menguarkan emosi tanpa menyadari banyak air mata yang meleleh, jari-jari yang bertautan lebih erat dari biasanya, juga perasaan yang menyesak ketika mendengar kolaborasi musik yang tampak luar biasa itu.
Sesaat, Changsub menghentikan dirinya untuk terus menggesek biola, Minhyuk pun mengundurkan jari-jari kirinya dari atas tuts lalu memegangi tangan kanannya. Seluruh lampu di gedung orchestra itu menyala, gemuruh tepuk tangan memekakkan telinga: keduanya tertegun, mereka sudah selesai. Langkah kaki Minhyuk menuntunnya untuk berdiri di samping kursi roda Changsub. Mereka membungkuk hormat pada seluruh juri dan penonton yang sebagian besar bahkan turut berdiri sambil bertepuk tangan.
Tak bisa menahan diri, Minhyuk akhirnya menarik tubuh Changsub mendekat dan memeluknya erat. Changsub mengerti, ia pernah merasakan ini sebelumnya jauh di masa lalu, entah di masa yang mana.
"Hyung, setelah ini... mari kita pergi ke rumah sakit," ujar Changsub. Suaranya masih terdengar meski seantero gedung masih riuh. Minhyuk tidak menjawab, ia hanya ingin memeluk Changsub seperti itu untuk beberapa lama.
"Aku ingin kau terus berbohong meski aku tahu kebenarannya, Minhyuk~hyung. Kau punya alasan melakukan semuanya dan aku tidak akan bertanya mengapa. Sejak aku melihat masa kecil diriku dalam sebingkai foto denganmu, di situlah aku menyadari mengapa kau yang hanya tetangga baru sangat memperhatikanku.
"Aku ingin kau terus berbohong meski aku tahu kebenarannya: bahwa kau adalah kakak kandungku. Aku punya alasan mengapa sangat ingin kulakukan itu. Kenangan-kenangan kita yang hilang, aku belum mendapatkannya lagi. Mengetahui kebenaran bukan lantas mengembalikan semua ingatanku.
"Aku tahu kau berbohong karena kau menyayangiku. Maka teruslah berbohong karena aku akan mengetahui semua kebenarannya. Waktu tidak punya pilihan selain menyembuhkan atau memperdalam luka di masa lalu. Jadi kuharap kita tetap seperti ini karena sekarang aku punya alasan mengapa aku harus bertahan..."
END.
Nb:
Finally, this story was ended. Ahhh aku bahagia cerita ini sudah selesai. Terima kasih untuk teman-teman semua yang bersedia kepo sampai akhir. Maaf kalau ceritanya agak membosankan karena alur yg lambat (dan tidak bikin baper seperti ff pada umumnya).Well, kalau ada teman-teman yang bertanya 'kok endingnya seperti nggantung ya?', itu karena aku ingin menghidupkan kelanjutan kisah Changsub dan Minhyuk dalam pikiran kalian, terserah mau kalian bagaimanakan kisah keduanya ❤❤🙆🙆
So, guys. Nantikan proyek ffku selanjutnya, kritik dan saran kalian selalu akan kutampung. Jangan lelah berkunjung kemari yaaa... Saranghaeeee 😘😘 paiiiii 👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] THE REASON ☑
Fanfic(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Indonesia 🏃 English [IND] Lee Changsub, pemuda yang duduk di kursi roda itu, mimpinya menjadi atlet skateboard sudah berakhir. Ia tidak punya alasan untuk bertahan dengan hidupnya yang selalu bergantung pada orang l...