Saran:
Dianjurkan membaca kisah ini dari awal sampai akhir sambil mendengarkan instrumen Ballad relaksasi piano/biola*Minhyuk mematung. Seperti tersihir, ia membeku usai mendapati pertanyaan klimaks tak terduga itu. Suhu di sekitar mereka terasa kian dingin dan membuat bulu kuduk berdiri tanpa alasan. Masih terdiam, Minhyuk kemudian menjawab dengan santai: berkilah.
"Kau terlalu sering melihatku, Changsub~ah. Lagi pula bagaimana bisa tiba-tiba aku muncul dalam ingatanmu? Yahh aku tahu aku terlalu mempesona, tapi tak mengira bahwa itu membuatmu memikirkanku sedemikian rupa hahaha..." Ia mengatakannya, dengan getir.
Ada sebaris perasaan bahagia ketika mendengar bahwa dalam ingatan itu Changsub melihatnya. Namun, Minhyuk lebih mengkhawatirkan bagaimana wujud dirinya dalam ingatan sang adik: barangkali ia justru mengingat sosok Minhyuk sebagai seseorang yang brengsek dan tak bertanggungjawab. Gelisah menghantui benaknya. Ia dalam dilema. Di satu sisi, ia begitu ingin Changsub mengingat kenangan manis mereka, namun di sisi lain ia tak ingin adiknya mengingat tragedi-tragedi buruk yang menodai hal itu begitu saja.
"Ah... Ya, mungkin saja begitu, Hyung. Tapi.. ah sudahlah. Bagaimana? Apakah aku sudah menyampaikan ceritanya dengan benar?" tanya Changsub penasaran.
"Kau.. melakukannya dengan sangat benar. Aku mengakuinya, bahwa kisahmu juga membuatku trenyuh. Bolehkah aku ..."
Changsub tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ditatapnya Minhyuk dengan pandangan teduh, lalu ia menerima sebuah pelukan dari laki-laki itu. Sontak terkejut, kedua tangan Changsub yang tengah menggenggam leher biola dan penggesek refleks merengkuh balik tubuh Minhyuk. Ada kalanya, takdir menyembunyikan segala sesuatu agar semua berjalan baik-baik saja. Namun sebagaimana pun orang-orang mengantuk karena terhipnotis pendulum, mereka akan bangun juga ketika tersiram air.
Malam itu, sekali lagi Minhyuk dan Changsub menghabiskan malam dengan cara mereka: tertawa, berdendang, bertukar cerita dengan topik skateboard, kopi, dan musik, bahkan keduanya sampai menghabiskan ramyun hangat bersama. Di bawah suara gemericik hujan yang melatari pekatnya suasana malam, Changsub dan Minhyuk saling memberi rasa hangat: menghangatkan memori yang sudah lama dingin bagi Minhyuk, membangkitkan semangat baru bagi Changsub.
"Changsub~ah.."
"Hm?"
"Mau dengar sebuah rahasia?" tanya Minhyuk tiba-tiba. Changsub membenarkan posisi duduknya.
"Rahasia? Bukankah rahasia tidak untuk dibagi?"
"Ya. Tapi aku ingin membaginya denganmu. Apakah aku terlalu berlebihan?"
"Ah, tidak tidak.. aku hanya khawatir jika kau tak nyaman menceritakan itu, Hyung." Changsub menimpali pertanyaan itu dengan cepat.
"Ah, begitu. Jadi Changsub~ah, beberapa hari lalu aku mengambil sebuah brosur konser lomba piano dan biola. Aku baru menyadari bahwa selebaran itu selalu ada di saku jaketku setiap hari..." Minhyuk mulai bercerita. Changsub~ah, bahkan bukan itu rahasia yang ingin kubagi denganmu. Aku hanya... kupikir aku belum siap mengatakannya dan justru mengubah topik pembicaraan cepat-cepat. Aku belum siap menerima responmu, juga tak siap menjadi seorang pengecut tak bertanggungjawab untuk kesekiankalinya.
"Hyung??! Kau dengar aku? Jadi, apa kau membawa selebaran itu sekarang?"
Minhyuk tersentak. Suara Changsub menyadarkannya dari lamunan singkat yang merekam pergulatan benaknya. Ia pun tak menyadari sudah melewatkan menit-menit pembicaraan Changsub akibat hal ini.
"Oh, eh.. kurasa iya."
Minhyuk buru-buru merogoh saku jaketnya yang dalam, mencari sebuah selebaran yang terlipat, barangkali dustanya yang tak sengaja terucap itu mempermalukan dirinya sendiri. Beberapa detik jari-jari itu sibuk, Minhyuk kemudian mendapatkan apa yang dicarinya: selebaran konser lomba piano dan biola. Disodorkannya selembar kertas kusut itu ke hadapan Changsub, lalu ia menunggu reaksinya.
"Ini... Konser lomba? Apakah di sana akan banyak orang yang menyukai biola dan piano?" tanya Changsub ragu.
"Di sana akan banyak orang datang, melihat, juga bermain. Tapi semua orang yang datang belum tentu bisa menerima pesan pemain, demikian juga pemain, mereka belum tentu bisa menghidupkan nyawa nada-nada yang dihantarkannya..." jawab Minhyuk. Ia melihat sepasang mata bening Changsub yang terus terpaku pada lembar kusut itu. Ia tahu, Changsub akan...
"Mungkinkah jika kita datang sebagai pemain?" tanya Changsub. Ya, kalimat itu terlontar sudah.
"Kau ingin melakukannya?"
"Aku hanya ingin mencoba, seberapa jauh aku mulai berguna, Hyung... Hanya itu. Jika ini terlalu sulit, tidak apa-apa juga," ujarnya.
"Jika kau ingin melakukannya, lakukanlah. Aku akan mendukungmu. Tapi Changsub~ah, prosesnya tidaklah mudah..."
Changsub memandang wajah Minhyuk dan tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan, pasti. Dua bulan sejak hari ini akan terasa lebih sulit meski itu tak menghabiskan satu musim.
Konser lomba akan diadakan pada musim dingin. Sejak Changsub menerima selebaran brosur, ia tak berhenti melatih kemampuan dirinya untuk menyelipkan kehidupan pada notasi-notasi itu. Tidak ada lagi keterpurukan seperti beberapa minggu usai ia mengalami kecelakaan, juga tak ada keputusasaan yang menggerogoti mimpinya. Minhyuk juga demikian. Selintas, ia tengah berusaha keras menghidupkan spontanitasnya. Bersama Changsub, Minhyuk memangkas jarak masa lalu.
Seminggu sebelum Peniel berhenti mengunjungi Changsub~
"Jadi, kau tahu bahwa mereka yang melakukannya? Tapi kau juga diam?" tanya Minhyuk. Tangannya gemetar sambil mencengkram kuat krah baju Peniel. Keduanya masuk dalam kondisi itu acapkali bertemu dan sedikit demi sedikit membuka diri.
"Sebelumnya aku sangat marah padamu, mereka juga. Kukatakan akhirnya bahwa adikmu yang menjadi kelemahanmu. Tapi aku tidak menyangka mereka melakukannya sejauh ini. Aku merasa berdosa pada Changsub~hyung, karenanya aku merawatnya semampuku. Aku..."
"Peniel..." Minhyuk melonggarkan cengkeramannya hingga kemudian benar-benar melepaskan tangannya dari pakaian anak itu.
"Aku hanya ingin marah padamu, Minhyuk~hyung. Sungguh tak ada niatan lain untuk membuat Changsub~hyung juga menderita. Aku hanya ingin membalasmu dengan kepedihan akibat dilupakan, tapi ternyata kemarahan ini..."
"Aku akan tinggal bersama Changsub. Peniel.. ini semua kesalahanku. Kau... tenangkan dulu hatimu. Benci aku semampumu, selama kau menginginkannya. Tapi jangan lakukan itu pada adikku. Aku menerima semua kemarahan yang ingin kau lampiaskan. Sekali pun tidak akan aku menghindar." Minhyuk menunduk dalam-dalam. Ada ketulusan yang mengiringi seluruh ucapannya, juga bercak-bercak kepedihan.
"Minhyuk~hyung..."
"Meski demikian, tolong jangan menghindariku, Peniel. Aku memang tidak tahu malu, tapi keinginanku untuk memperbaiki semuanya tidaklah sebercanda itu. Biarkan aku menderita untuk senyum dan kebahagiaan kalian yang sudah kukacaukan. Hm?"
Menahan tangis, Minhyuk mundur menjauh. Ia mengenakan topi hitamnya, menyembunyikan sepasang mata yang berkaca-kaca dan perasaan yang tak karuan hancurnya: hidup orang lain berantakan, akibat masa lalunya.
Nb:
Selamat malam readers yang masih setia menunggu selesainya kisah ini..
Terima kasih sudah bersabar menunggu dan rela dihabisi kesabarannya karena kisah ini.. umm.. 😏😏
Semoga sampai part berikutnya teman-teman semua masih stay kkkkkkkk.. sampai jumpa besok, jangan lewatkan tokoh antagonis yg akan mengobrak-abrik part selanjutnya #spoiler paiiiii 👋👋

KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] THE REASON ☑
Fanfiction(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Indonesia 🏃 English [IND] Lee Changsub, pemuda yang duduk di kursi roda itu, mimpinya menjadi atlet skateboard sudah berakhir. Ia tidak punya alasan untuk bertahan dengan hidupnya yang selalu bergantung pada orang l...