4

785 37 0
                                    


Waktu terus berjalan tanpa menunggu apapun dan siapapun. Seluruh murid kelas Xl IPA 1 sangat tenang menjalani ulangan Fisika mereka walaupun, ada beberapa anak yang masih berharap jawaban orang lain.

Sesekali ku tengok Aisya yang berada di sampingku. Ia mengerjakan soal dengan tenang namun, aku tau ia terus memikirkan Umminya yang masih terbaring dirumah sakit.

Untung saja semalam kita berdua sudah mempelajarinya walaupun kami belajar dirumah sakit karena harus menjaga Ummi Aisya yang belum juga sadar.

Perlahan tapi pasti aku mengerjakan soal yang berada dihadapanku. Dan tak terasa dari lima belas soal kini tersisah satu soal lagi yang belum kukerjakan.

"Lima belas menit lagi!" Seru Pak Dimas yang langsung membuat sebagian murid tergesah gesah dan suasana kelas mulai tegang.

"Fia. . ." Adrian yang berada di belakang memanggilku sambil menendang kursiku.

"Apa sih?" Tanyaku dengan berbisik tanpa menoleh sedikit pun.

"Minta lembar jawaban lo dong." Jawabnya dengan nada memaksa namun pelan agar tak terdengar oleh pak Dimas.

"Eh, gak bisa gitu dong. Seharusnya kamu kerjainnya sendiri." Kataku pada Adrian dan aku yakin dia pasti kesal padaku. Sebenarnya aku mau saja memberinya jawaban tapi, takutnya ia akan kebiasaan dan tak mau lagi berusaha dan belajar.

Teng. . . Teng. . . Teng. . .

Bel istirahat berbunyi dan itu adalah tanda waktu ujian telah usai.

"Huh, pelit amat sih!" Bentak Ardian sambil menendang kaki mejaku.

"Huh, harap gampang!" Ejek Aneta,Aisya dan Anisa. Sedangkan Ardian menatap mereka dengan tatapan tajam kemudian pergi meninggalkan kami.

"Ngantin yuk. . ." Ajak Anet sembil menggandeng tangan kami bertiga sekaligus. Kami tersenyum dan mengikuti langkah kaki Aneta.

"Pesen apa?" Tanya Aneta padaku dan Aisya.

"Kayak biasa aja." Jawab kami berdua dengan kompaknya membuat Anisa tertawa.

"Wih, kompak amat." Goda Aneta dan langsung pergi memesan makanan.

Bzet. .  .bzet. . .

Aku merasakan hpku bergetar.

"Assalamuallaikum Ma, ada apa?"

"Umminya Aisya, makin drop kondisinya."

"Astagfirullah Iya aku dan Aisya segera kesana. Assalamuallaikum."

Tanpa fikir panjang lagi aku lagsung menarik tangan Aisya menuju kelas untuk mengambil tas disana. Sedangkan Aisya masih terus mengikuti langkahku tanpa bertanya apapun namun, ia juga kebingungan.

Dengan langkah kaki yang tergesah gesah, aku menuju meja piket untuk menulis surat izin karena belum waktunya pulang.

* * *

Sudah sepuluh menit aku dan Aisya menunggu di halte namun belum juga ada satupun taxi yang berhenti.

"Ada apa Fi?" Tanya Aisya masih kebingungan, sebenarnya aku bisa saja memberitahunya sejak tadi tapi aku takut ia akan semakin khawatir.

"Ummi Sya, Ummi. . ." Sepatah kata lolos begitu saja dari mulutku.

"Ummi kenapa Fi?" Tanya Aisya lagi sambil menggoncangkan tubuhku.

"Ummi kritis." Jawabku langsung.

Tangis Aisya pecah seketika. Ia berusaha menghentikan mobil yang ada tapi, tak satupun yang berhenti.

"Ya Allah tolonglah kami." Dengan linangan air mata aku terus bedoa.

Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam mengkilap berhenti tepat didepan kami berdua seraya menurunkan kaca mobilnya.

"Kalian berdua naiklah." Kata pria berseragam putih abu-abu. Tak perlu lagi berfikir panjang kami berduapun masuk kedalam mobil.

"Kemana?" Tanya lagi.

"Rumah sakit pelita." Jawabku spontan.

Linangan air mata Aisya terus saja mengalir tanpa sedikitpun jedah. Aku terus saja mengeratkan pelukanku sambil menyeka air mata Aisya.

Bzet. . . Bzet. . .

Tertera nama Anisa di layar ponselku. Mungkin dia dan yang lain sedang mencari kami berdua yang belum sempat izin sama mereka.

"Assalamuallaikum."

"Waalaikum salam. Kalian kemana aja sih?" Jawab Anisa

"Kita  udah pulang duluan Nis, ada keperluan mendadak."jelasku

"Oh, yaudah tapi makanan ini gimana?"

"Makan aja ntar aku ganti uangmu oke dari pada mubazir."

"Kalian baik baik aja kan?" Tanya Anisa khawatir.

"Insya Allah iya." Jawabku meyakinkannya.

"Kok ada suara orang nangis gitu?" Tanya Anisa mungkin, ia mendengar isakan Aisya.

"Udah dulu ya. Assalamuallaikum." Aku tak lagi menjawab pertanyaan Anisa dan langsung menMenutup telponku.

* * *

Hanya zikir dan doa yang bisa kami lakukan sekarang. Kamipun tak bedaya apa-apa sedangkan, Ummi Aisya masih ditangani oleh medis yang terus berusaha disana.

Yang Aku tahu Umi Aisya hanya sakit biasa. Tatapi, aku salah dan tak pernah mengira bahwa Umminya terkena leukimia stadium akhir. Jangankan Aku, Aisya pun tak pernah tahu tentang hal ini.

Umminya sudah menyembunyikan hal ini selama dua tahun belakangan ini. Aku bahkan pernah sekali mendapati darah segar yang keluar dari hidung umminya namun, kata uminya itu hanyalah mimisan akibat kelelahan.

Assalamuallaikum.
Maaf buat para readers, aku telat up akibat wattpadnya error.






ALIFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang