PROLOG

6.7K 536 18
                                    

Tidak ada yang lebih menyebalkan dari mendengar kalimat yang sama. Suara itu bahkan lebih tinggi dari biasanya. Tidak masalah baginya jika orang-orang itu terus berteriak namun, kalimat yang selalu mereka teriaki tidak pernah berubah.

Apa orang tua selalu seperti ini? Ketika mereka memarahi anak mereka, selalu mengulang kalimat yang sama. Tidak pernah ada habisnya.

"Aku tidak tahu harus melakukan apa ̶ ̶"

"Menikalah segera dan berhentilah berkencan dengan wanita di luar sana." Naruto langsung memotong ucapan ibunya, sebab dia tahu bahwa kalimat itu yang akan keluar setelahnya. Dia sudah hafal betul, kalimat apa saja yang akan diucapkan ibunya ketika sedang marah.

"Ibu berkata benar," dia melirik ke arah adik laki-lakinya. Demi apa pun, nafsu makan itu hilang begitu saja. Adiknya yang tidak pernah ikut campur mencoba menasihati dirinya. "Usiamu sudah cukup untuk menikah. Apa bagusnya hubungan tanpa status yang sah? Ini sudah berapa kali?"

Naruto berdecak lidah. Menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Di sisi kiri, ibunya terus mengomel dan mengucapkan kalimat yang sama. Di sisi kanan, Menma sedang menasihati dirinya. Ah, sungguh situasi yang benar-benar menyebalkan.

Menma berhenti berbicara, dia melirik dari ujung matanya, kakaknya yang sedang membenamkan wajah di atas meja. Pandangannya teralihkan ke arah ibunya yang membawa satu sendok nasi. Dan tidak lama kemudian sendok itu mendarat pada tepat di kepala Naruto.

"Apa!" Menma tergelak, mencoba menahan tawanya. Naruto bergeming ketika melihat sorot mata ibunya yang bersinar. Jika dia kembali berbicara atau pun membantah ̶ ̶ meskipun dia merasa kesal karena kesakitan di bagian kepala. Tetap saja ibunya tidak ingin mendengar apa pun darinya.

"Apa bagusnya selalu berkencan dengan banyak wanita?" Menma kembali bersuara setelah dirasa suasana cukup baik. "Mungkin jika di dunia ini hanya kau lelaki seorang. Kau akan berkencan dengan semua wanita yang ada di dunia ini. Apa saja yang sudah kau lakukan dengan mereka?"

Merasa tidak terima, bahwa adiknya itu mulai menginterogasi dan berpikir hal yang tidak-tidak, ia pun menjawab "Meskipun aku selalu berkencan dengan banyak wanita. Namun tidak sekali pun aku pernah meniduri mereka."

"Oh, holly shit!"

Menma mengatup bibirnya ketika melihat sorot mata Kushina yang tidak bersahabat. Terlalu lama di Washinton, D.C membuatnya tidak bisa mengontrol mulutnya. Dengan berani dia melirik hati-hati ke arah ibunya yang tidak lagi memasang sorot mata tajam. Namun, senyuman di sana jauh lebih mengerikan.

Pemuda itu mengatur suaranya kemudian, "Siapa pun yang mendengarnya, mereka tidak akan percaya. Itu mustahil! Mengencani banyak wanita tanpa meniduri mereka." tegasnya. Belum lagi ketika melihat wajah datar kakaknya yang mengatakan kalimat itu dengan mudahnya. Tidak. Dia tetap tidak akan percaya.

"Dengar, bibitku terlalu mahal untuk diletakkan di sembarang tempat."

"You're fucking lie!" Menma tersentak dan mengatup bibirnya rapat. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah lari dari situasi ini. Demi apa pun, sulit sekali mengatur mulutnya ketika mendengar sesuatu yang mengganjal.

"Aku pergi dulu!" katanya. Ia beranjak segera dari kursinya, pergi begitu saja tanpa melihat ibunya. Tentu dia tidak ingin bernasib sama seperti kakaknya. "Ibu, aku menyayangimu!" teriaknya dari luar, lalu dia segera masuk ke dalam mobil. Memerintahkan sopir untuk bergerak dengan cepat.

◊◊◊◊

Suara dentingan pada pintu kaca otomatis mengalihkan perhatian mereka. Orang-orang yang berseliweran berdiri di tempat masing-masing. Lima di antaranya yang membawa berkas segera menghampiri seorang perempuan yang baru saja melewati pintu kaca tersebut.

Beautiful ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang