Hal yang paling menyebalkan ketika bangun di pagi hari, setelah mabuk sampai tidak sadarkan diri adalah rasa sakit di kepala. Ini efek akibat terlalu banyak minum alkohol. Ada saat tertentu di mana Hinata ingin menghindari alkohol, namun ada pula di mana dia membutuhkan minuman itu.
Dia memandang dirinya dari pantulan cermin, air pada wastafel dibiarkan mengalir begitu saja. Kantung mata terlihat jelas. Hinata menghela napas karena dia lupa membersihkan wajah sebelum tidur. Sehingga eye liner berserakan di sekeliling kelopak matanya.
"Nona sudah bangun?" suara Natsu terdengar begitu jelas dari luar kamar mandi. "Jika Anda sudah selesai, segera turun ke bawah untuk sarapan." wanita itu berhenti ketika hendak mengetuk pintu. Meskipun dia khawatir karena tidak ada respons dari dalam sana, Natsu tetap percaya diri kalau Hinata mendengarkan dirinya.
"Aku tahu kau masih berdiri di sana," dia tersentak ketika mendengar suara Hinata. Natsu buru-buru keluar dari kamar dan kembali mengingatkan hal yang sama. "Kepalaku benar-benar pusing."
Hinata membasuh wajahnya, lalu kembali melihat ke arah cermin. Dia mulai mencoba mengingat apa saja yang telah dilakukan dirinya pada saat mabuk. Saat itu dia benar-benar memiliki kesadaran, meskipun tidak sepenuhnya.
Satu hal yang paling dia ingat adalah wajah lelaki pirang yang akan menjadi calon suaminya. Ia lagi-lagi menghela napas mengingat hal itu. Berjalan keluar dari kamar mandi dengan malas, bahkan ketika ia berdiri di depan tangga rasa malas itu semakin tinggi untuk turun ke bawah. Saat itu dia berpikir; andai rumah ini memiliki lift atau eskalator, maka dia tidak perlu repot-repot menginjak anak tangga.
"Hei, mau sampai kapan kau memandangi anak tangga itu?" suara Kiba membuat kepalanya semakin pusing. Padahal mereka sudah lama tinggal bersama, namun baru kali ini dia merasa terganggu dengan suara laki-laki itu. Beruntung, Shino memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan Kiba.
Satu roti lapis dengan selai kacang dihidangkan oleh Natsu. Hinata tidak memiliki nafsu untuk makan hari ini, dan Natsu menjadi orang pertama yang menyadari hal itu.
"Tidak perlu, aku akan memakannya." Hinata membuka suara ketika Natsu hendak membuka mulutnya. Sudah pasti wanita itu mulai melempar berbagai jenis pertanyaan. Hari ini kepalanya benar-benar pusing dan belum siap untuk mendengarkan ocehan tidak penting.
Shino dan Kiba saling melempar pandangan. Padahal di dalam kepala mereka memiliki banyak pertanyaan, salah satunya mengenai Naruto. Namun mereka tahu sepertinya Hinata tidak siap atau perempuan itu tidak ingin diganggu hari ini.
"Apa benar Naruto yang akan dijodohkan denganmu?" perempuan itu tersedak, Shino memberikan minuman pada Hinata.
Hinata memberikan tatapan peringatan. "Jangan berbicara hal yang aneh saat aku sedang makan." katanya. Ia meletakkan gelas itu dengan kasar sampai mengeluarkan suara dentingan cukup kuat. Dia menghela napas, padahal belum ada sampai satu jam namun ia sudah melakukan hal yang sama.
"Iya," raut wajahnya berubah datar. Terlihat tidak berselera melanjutkan sarapan. "Wajah ayahku terlihat sangat gembira, setelah mengetahui bahwa anak dari teman lamanya akan menjadi besan."
"Karena itu kau tidak bisa menghancurkan hati ayahmu, padahal kau berencana untuk menolak?" Kiba mulai menebak, lalu dia melihat ekspresi di depannya yang terlihat lesu. "Katakan saja kau mandul, dia pasti akan menolakmu. Jika kau memang merasa keberatan mengenai perjodohan ini."
Lelaki itu terlalu terusterang mengatai dirinya mandul. Hinata tidak bisa marah, lagi pula dia sudah menerima kenyataan itu. Tidak ada yang bisa berubah. "Ayahku pasti sudah memberitahu tentang hal itu pada keluarga laki-laki. Tidak ada keributan apa pun, dan mereka tetap menerima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Cold
FanfictionMereka selalu mengatakan; perempuan jauh lebih sempurna di saat mereka bisa mengandung seorang anak. Bukan sekali, atau pun dua kali Hinata Hyuuga mendengar kalimat itu. Di saat dia mengetahui bahwa dirinya tidak sempurna. Saat itu dia menyadari bah...