Dua buah labu tepat di samping kanan dan kiri pagar rumah. Labu yang dihias menyerupai wajah menyeramkan dan di dalamnya diletakkan cahaya. Hinata mengedar pandangan sekitar, mencari tahu siapa yang meletakkan dua labu itu di sana. Tidak pernah sekali pun dia mengikuti tren apa yang dilakukan oleh orang-orang. Kiba dan Shino, dua orang itu pasti bukanlah pelakunya.
"Bibi, bagaimana hasil karya kami?" suara anak kecil mengalihkan perhatiannya. Anak-anak yang suka menekan bel rumah sembarang saat ini ada di depannya, mereka masih mengenakan seragam sekolah. Topi bulat berwarna kuning membuat wajah mereka di sana semakin bulat.
"Kami sengaja membuat labu untuk Bibi," Chocho mengulurkan tangannya, menunjukkan bekas sayatan kecil. Hinata tersentak, lalu mengusap tangan itu dengan lembut. "Kami akan datang ke rumah Bibi memakai kostum. Untuk itu, aku harap Bibi tidak menutup pagar rumah."
"Chocho!" Inojin merasa kesal, memberi peringatan untuk tidak banyak bicara. "Ah tidak, Bibi lupakan saja apa yang dikatakannya."
"Oh, tidak apa. Aku akan meminta Ko untuk membuka pagar rumah, agar kalian tidak menekan bel sesuka hati."
Ketiga anak di sana menunduk malu, takut-takut mereka dimarahi oleh Hinata. Lalu terakhir, mendapatkan teguran dari orang tua mereka. "Maafkan kami, ini karena Chocho yang suka memaksa kami agar Bibi memberikan cokelat."
"Apa?" gadis cilik itu terlihat kesal. Tidak terima bahwa dirinya disalahkan begitu saja. "Kalian juga menikmati cokelat yang diberikan oleh Bibi. Kenapa kalian menyalahkanku!"
"Sudah," Hinata mencoba menenangkan, berjongkok di depan mereka. "Aku akan memberikan cokelat untuk kalian di malam Halloween nanti." ekspresi ketiga anak di sana berubah drastis, senyum semringah ditunjukkan.
"Kalau begitu sampai jumpa Bibi!" mereka melambaikan tangan ke udara, bergegas pulang sebelum orang tua mereka marah. Sebab mereka sudah mendapatkan peringatan untuk tidak mengganggu Hinata. Padahal terlihat jelas kalau wanita itu merasa tidak keberatan akan kehadiran mereka.
"Pasti Paman berwajah menyebalkan itu yang mengadu ke ibu kita," Shikadai dan Inojin mengangguk setuju. "Padahal wajah Bibi terlihat senang saat kita berkunjung ke rumahnya."
Masih memandangi punggung ketiga anak di sana. Dia tidak dapat mengabaikan wajah lucu mereka, belum lagi seragam sekolah menambah kesan manis. "Oh, rumahmu benar-benar besar." suara berat mengalihkan perhatian Hinata. Di sana ada Menma yang sedang berdiri menatap rumahnya.
"Sejak kapan kau berada di sana?" dia bahkan bingung dengan kehadiran lelaki itu tiba-tiba.
"Oh maaf," kata Menma. "Kakakku tiba-tiba mengamuk, maka dari itu aku memilih menyusulmu." terbukti, sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kehadiran kakaknya di belakang. Lelaki itu pasti kehilangan jejak, pikirnya.
Hinata menghela napas, sekarang dia dihadapkan dengan Uzumaki lain. Beruntung, lelaki di hadapannya saat ini berbanding terbalik dengan calon suaminya. "Terserah." pagar otomatis itu terbuka, ia segera masuk setelahnya, disusul oleh Menma.
Lelaki itu bahkan tidak meminta izin padanya. Namun Hinata tidak ingin mengambil pusing dan membiarkan lelaki itu. Selama tidak menganggu, maka dia akan diam.
Menma mengedar pandangan sekitar, rumah itu memiliki halaman yang luas. Terdapat air mancur dan patung di atasnya. Tidak jauh dari itu, terdapat rumah kaca. "Kau suka menanam bunga?" tanyanya.
Perempuan itu menggeleng, "Tidak," sahut Hinata. "Itu milik temanku, dia suka mengoleksi beberapa bunga yang harus dijaga dengan ketat, kandungan pH yang terdapat dalam tanah harus dijaga dengan baik. Karena itu dia membangun rumah kaca."
"Ini 'kan rumahmu, kenapa temanmu itu seenaknya membangun rumah kaca?"
Aneh. Menma sama sekali tidak mengerti, tidak mungkin dengan percuma perempuan itu merelakan halaman rumah demi teman yang ingin membangun rumah kaca. "Aku tinggal bersama kedua temanku di sini. Daripada membeli apartemen, kami memutuskan untuk membangun rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Cold
Fiksi PenggemarMereka selalu mengatakan; perempuan jauh lebih sempurna di saat mereka bisa mengandung seorang anak. Bukan sekali, atau pun dua kali Hinata Hyuuga mendengar kalimat itu. Di saat dia mengetahui bahwa dirinya tidak sempurna. Saat itu dia menyadari bah...