Tanpa meminta izin, Naruto masuk begitu saja ke dalam ruangan kerja Hinata. Ruangan itu benar-benar besar, terdapat tiga meja di mana setiap meja diletakkan layar monitor, serta terdapat papan nama di atasnya. Jendela besar menampilkan panorama Tokyo yang indah, bahkan ia sempat kagum menatap dari tempatnya berdiri.
Hinata sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya. Terlihat begitu fokus pada layar monitor, serta tangan yang menari-nari di atas papan tombol.
Perempuan itu seorang Direktur yang mengeksekusi semua yang CEO instruksikan. Itu berarti, pekerjaan Hinata masih diawasi oleh ayahnya sendiri. Meskipun begitu, Naruto menatap kagum sekaligus merasa iri. Karena Hinata mendapatkan posisi yang penting di usianya yang muda.
Satu buket bunga mawar di atas meja mengalihkan perhatian Naruto. Sekali-sekali ia melirik untuk melihat Hinata. Berpikir bahwa perempuan itu tidak menyadari buket di sana. Di atasnya terdapat kartu yang bertuliskan permintaan maaf. Ia sempat mengernyit bingung membacanya.
"Sepertinya bunga ini untukmu," katanya. Hinata melirik sekilas terlihat acuh tak acuh. Dia pun melanjutkan, "Jadi itu alasannya, kenapa kau tidak langsung tertarik saat menatapku. Ternyata kau banyak diincar oleh laki-laki lain."
Menyimpulkan demikian dari apa yang ia lihat. Tanpa melihat bagaimana perempuan di sana menatap datar ke arahnya. Tangan Hinata berhenti di atas papan tombol, sorot matanya benar-benar tidak bersahabat. Hal yang paling dia tidak sukai adalah saat orang lain mencampuri urusannya. Tanpa ada kaitan di antara keduanya.
"Kau sudah masuk tanpa izin ke mari, lalu kau mulai mencampuri urusanku?"
Naruto menyadari bahwa perempuan itu mulai tersinggung dan merasa tidak nyaman. Dia mengambil buket itu lalu membuangnya ke dalam sampah. "Kau tidak keberatan jika aku membuang bunga itu, 'kan?"
"Ah ... sepertinya hidupku tidak akan tenang mulai sekarang," Hinata menghela napas, mematikan layar monitor. Suasana mulai mendadak canggung. Jika dia melanjutkan, maka akan terjadi perdebatan konyol ̶ ̶ hanya karena sebuah buket bunga mawar. "Kenapa kau percaya diri sekali?" dia berjalan menghampiri lelaki di sana.
Mereka berdua saling melempar pandangan. Naruto mengalihkan pandangan lebih dulu, semakin lama dia menatap mata itu, seperti ada sesuatu yang menariknya dari dalam sana. "Mari kita selesaikan sekarang, secara normal." nada suara itu penuh dengan tekanan. Bahwa Hinata tidak ingin mendengar gombalan yang membuat mood-nya buruk.
Sebenarnya, dia juga tidak bisa lari dari masalah ini. Bagaimanapun juga dia tidak akan sanggup menghancurkan hati ayahnya. Dari apa yang dia simpulkan, lelaki pirang di depannya juga memiliki masalah yang sama. Namun dia tidak ingin menelusuri lebih dalam.
Terlintas di dalam pikiran untuk melakukan pernikahan kontrak. Satu sampai tiga tahun mereka akan menikah, lalu bercerai. Itu hanya akan memperburuk dirinya, pengaruh media juga akan berdampak pada perusahaan. Ah, Hinata benar-benar tidak akan membuat itu benar-benar terjadi.
Ketika mengetahui dirinya mandul, tidak bisa menikmati rasanya mempunyai keluarga sendiri. Saat itu dia mendeklarasikan diri untuk sibuk bekerja. Tokyo memiliki banyak orang-orang workaholic di dalamnya, tetapi itu lebih banyak berlaku bagi laki-laki.
Awalnya dia hanya mencoba memfokuskan diri pada pekerjaan daripada orang-orang sekitar. Alhasil berdampak sampai sekarang. Di sisi lain Hinata merasa tidak perlu mempedulikan tentang kekurangan dirinya, sekali pun orang-orang mengolok tentang dirinya mandul.
Tetapi ayahnya memiliki pemikiran yang berbeda dengannya ̶ ̶ menginginkan dirinya merasakan bagaimana berumah tangga dan bersikap baik pada suami. Melayani dan menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Tentu dia tahu apa yang diinginkan Hiasi, sekali pun ayahnya tidak pernah membicarakan secara langsung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Cold
FanficMereka selalu mengatakan; perempuan jauh lebih sempurna di saat mereka bisa mengandung seorang anak. Bukan sekali, atau pun dua kali Hinata Hyuuga mendengar kalimat itu. Di saat dia mengetahui bahwa dirinya tidak sempurna. Saat itu dia menyadari bah...