Cerita 26 - Tamu

117 10 0
                                    

"Pada dasarnya, sihir itu merupakan perwujudan dari mana. Dan perwujudan itu hanya bisa dicapai dengan mengucapkan mantra yang ditujukan pada dewa-dewa yang bersangkutan. Tapi itu pun hanya bisa dilakukan jika penyihirnya memiliki afiliasi terhadap wujud sihir yang diinginkannya——"


Saat ini aku sedang berada di kelas Afilisasi Sihir dan Penggunaannya, salah satu mata kuliah di Jurusan Sihir. Di sini, Profesor Thomas menjelaskan soal dasar-dasar sihir kepada kami sebagai dosen mata kuliah ini. Masing-masing kelas biasanya diikuti sekitar 10-20 mahasiswa. Dan seperti yang sudah diketahui sebelumnya, di sini aku lah mahasiswa yang paling muda. Selain itu, Luna dan Bardam masuk ke Jurusan Persenjataan, sedangkan Ivan masuk ke Jurusan Bela Diri. Dengan kata lain, saat ini aku tak punya teman di Jurusanku sendiri.

Bagiku, dan mungkin juga bagi seluruh mahasiswa di keas ini, mengikuti kuliah ini cukup membosankan. Meskipun semua mahasiswa di kelas ini adalah penyihir yang seharusnya sudah tahu mengenai dasar-dasar sihir yang dijelaskan oleh Profesor Thomas saat ini, tapi ia tetap menjelaskannya. Ini lah yang membuat sebagian besar mahasiswa di kelas ini tertidur mendengarkan kuliahnya.

Profesor Thomas adalah salah satu Profesor di universitas Bode yang ahli dalam bidang ilmu sihir. Tidak hanya ilmunya, tapi ia juga merupakan seorang jenius di dalam dunia penyihir. Ia saat ini berusia sekitar 50 tahun dan sudah menguasai sihir air sampai tingkat atas. Dan bukan hanya itu saja, ia juga menguasai sihir angin dan tanah sampai tingkat menengah.

Ya, ia memiliki afiliasi ke tiga elemen tersebut.

Itulah yang membuatnya menjadi salah satu penyihir terkuat di Atlus, wilayah paling selatan dari benua Heimgard ini. Dan itu juga alasan mengapa ia dijadikan salah satu dosen di universitas Bode. Namun sayangnya, hal ini tetap bukan lah sebuah alasan yang bisa membuat ia menjadi dosen yang baik.

Aku pun tak memedulikan kuliahnya dan hanya fokus pada kertas yang ada di mejaku. Ini adalah catatan yang diberikan Paman Gatot Kaca kepadaku. Catatan tentang hal-hal yang harus kulakukan agar aku bisa menjadi kuat.

Tapi, meskipun aku sudah menerima catatan ini sejak kemarin, aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca.


***

Push-up 100x

Sit-up 100x

Squat 100x

Lari 10km

Lakukan ini setiap hari sampai kusuruh berhenti!

***


Kurasa tanpa perlu kujelaskan pun, kalian sudah tahu kenapa aku tidak percaya dengan catatan ini. Ini adalah latihan yang dilakukan Saitama*!

Membaca catatan ini membuatku menjadi galau. Bukannya aku tak percaya pada Paman Gatot Kaca. Tapi apakah ini benar-benar cukup untuk membuatku bisa menguasai sihir tingkat atas? Kalau hanya begini saja, bukankah seharusnya kini sudah banyak orang yang menguasai sihir tingkat atas?

Tapi dengan statusnya, aku tak seharusnya meragukan apa yang diberikan oleh Gatot Kaca. Bagaimana mungkin ia membohongiku?

Aku terus berkontemplasi apa yang sebaiknya kulakukan.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Profesor Abimanyu setelah kuliah hari ini selesai.


***


Setelah seluruh kuliahku hari ini selesai, aku segera berlari menuju ruang dosen untuk menemui Profesor Abimanyu.

Ruang dosen ada di gedung sebelah tempat kuliahku tadi berlangsung. Aku segera memasuki gedung tersebut dan menaiki tangga menuju lantai empat tempat ruangan Profesor Abimanyu berada.

Namun, saat baru mencapai lantai tiga, aku tak sengaja melihat dua orang sedang berbincang-bincang di samping gedung ini dari jendela. Aku langsung terhenti dan mataku terpaku melihat kedua orang tersebut. Aku tak tahu mereka siapa, salah seorang di antaranya mengenakan jubah penyihir yang biasa digunakan oleh dosen universitas Bode. Kurasa ia adalah dosen di sini.

Tapi yang membuatku terpaku ialah orang yang satunya. Dari tempatku berdiri saat ini, aku tak dapat melihat wajahnya, namun aku rasa aku mengenalnya. Ia mengenakan jubah seperti petualang dari padang pasir, jadi aku tak tahu pasti, tapi ukuran tubuh dan gaya berdirinya mirip sekali dengan orang itu. Rambutnya pendek berwarna coklat dan memiliki gaya rambut yang sama dengannya.

Membayangkannya saja sudah membuatku merinding dan mau menangis. Tapi bukan berarti aku tak ingin menemuinya. Justru saat ini aku ingin sekali menemuinya. Bagiku saat ini, menemui orang tersebut jauh lebih penting daripada menemui Profesor Abimanyu.

Tapi aku masih ragu.

Aku tak seharusnya bisa menemui orang tersebut saat ini. Ia seharusnya tak ada di sini. Bagaimana mungkin itu adalah dia? Jika ia ada di sini, pasti ada sesuatu yang aneh. Atau mungkin... ah, tidak. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal ini. Aku tak seharusnya berkutat di pikiranku sendiri. Yang sekarang harus kulakukan adalah aku harus menemuinya terlebih dulu. Aku rasa semua pertanyaanku akan bisa terjawab jika aku bisa menemuinya secara langsung.

Tanpa pikir panjang aku pun memutuskan untuk berlari kembali turun dan menemuinya. Aku bersegera keluar dari gedung ini dan menuju sisi samping gedung tempat kumelihat kedua orang tadi.

Namun begitu kusampai, mereka berdua sudah tidak ada lagi di situ.

Aku terlambat.

Aku melewatkan kesempatanku untuk bisa menemui orang yang paling ingin kutemui.

Aku... telah melewatkan kesempatan bertemu dengan John.


***


*Nama tokoh utama dalam serial komik One-Punch Man karya ONE.

Kehidupan Kedua (Buku 3)Where stories live. Discover now