Cerita 33 - Aku Juga

94 10 2
                                    

"A—Apa itu tadi?"


Bardam terlihat sangat terkejut dan pandangannya pun tak bisa lepas dari tempat para Anjing Bercula yang tergeletak di tanah. Ehm, meskipun sebagian di antaranya tak benar-benar tergeletak di tanah karena masih tertancap di stalagmitku.

Tapi Bardam terlihat gemetar. Senapannya lepas dari genggamannya dan terjatuh di tanah begitu saja. Bardam pun terlihat tak kuat lagi menahan berat tubuhnya dan ikut duduk terjatuh ke tanah.


"Gils... Ka—kau... Kau tak punya afiliasi dan bisa menguasai semua elemen sihir. Kau juga punya mana yang sangat besar. Dengan itu saja, kau sudah punya bakat untuk menjadi salah satu penyihir terhebat di Venus. Tapi kini kau pun bisa mengeluarkan sihir tanpa mantra. Meskipun kau tak bisa sihir tingkat atas, tapi dengan ini saja kurasa kau sudah bisa dianggap penyihir terhebat."


Kurasa mengeluarkan sihir tanpa mantra itu bukanlah sesuatu yang bisa diterima oleh akal orang biasa di dunia ini. Sepertinya aku harus memikirkan alasan agar mereka bisa menerima karunia yang kumiliki ini.


"Ehm... Ini sebenarnya adalah jurus baruku. Aku mencoba teknik yang diajarkan oleh seseorang yang kukenal. Jadi aku hanya perlu menyebutkan nama jurusku untuk mengeluarkan sihir."

"Kau benar-benar monster."


Dan meskipun aku sudah mengutarakan alasan yang kurasa cukup logis, aku masih dibilang 'monster'. Sama halnya dengan Bumi, dunia ini cukup kejam. Aku seperti ingin menangis dalam hati.


"Apakah kau menggunakan lingkaran sihir di tanganmu? Ah, tapi tidak mungkin. Beban yang dikeluarkan lingkaran sihir terhadap wadahnya itu terlalu besar. Kalau kau menggambar lingkaran sihir di tanganmu sendiri, hanya dengan satu sihir tanganmu bisa hancur berantakan."

"A—Aku cuma..."

"Apakah ini kekuatan yang kau dapatkan dari dewa?"

"Eh?"


Aku belum menjelaskan apa-apa tadi, berarti ia hanya menebak-nebak saja. Tapi tebakannya langsung benar. Intuisi Bardam sangat tajam. Mendengar tebakannya yang langsung tepat sasaran itu, aku langsung panik.

Salah satu kelemahanku, aku tak pandai menyimpan rahasia.

Sama seperti ketika aku ketahuan pura-pura di depan kelas Pak Arthur dulu.

Karena rasa panik takut rahasia ini ketahuan, aku pun langsung melihat kanan-kiri untuk mengecek apakah ada orang lain yang mendengarnya atau tidak. Ya, tak lama setelah itu aku pun sadar bahwa yang kulakukan ini justru meng-iya-kan apa yang dibilang oleh Bardam. Tapi aku melakukannya dengan spontan. Apa boleh buat.

Setelah memastikan tak ada orang lain yang mendengarnya, aku menjadi cukup lega dan menghela na... AH!


Elf yang dikejar-kejar Anjing Bercula tadi!


Ia yang tadi berlari ke arah kami dan meminta tolong. Logikanya, karena ia yang meminta tolong, seharusnya ia masih di dekat kami dan memerhatikan! Kalau dia mendengar apa yang dikatakan Bardam tadi, aku bisa...


"Duk!"


Baru aku berkeinginan untuk mencari Elf tadi, kakiku seperti menendang sesuatu. Dan saat kumelihat ke bawah.

Elf itu sedang pingsan tepat di antara aku dan Bardam.


"Sepertinya begitu melihat kita akan menolongnya, ia langsung terjatuh dan pingsan."

"Ah, baguslah."

"Jadi, yang kukatakan itu benar?"


Ugh, setelah panik seperti orang bodoh tadi, aku merasa apa pun alasan yang akan kukeluarkan akan menjadi percuma.

Apa boleh buat. Aku sepertinya harus berbicara jujur. Aku hanya bisa berharap Bardam akan menyimpan rahasia ini sebagai temanku.


...


Agar tak didengar orang lain, kami pun memutuskan untuk berbincang-bincang di kamarku.

Bardam menggendong Elf yang pingsan tadi dan menyenderkannya di tembok tempat latihan dekat pintu keluar. Setelah itu, barulah kami keluar dan kembali ke asrama.


Aku pun menceritakan bagaimana aku bertemu dengan dewa Api di kuil tadi dan ia memberitahuku kalau aku sudah mendapatkan karunia dewa untuk bisa mengeluarkan sihir hanya dengan mengucapkan nama jurusnya.

Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian sepenuhnya. Aku memang tak pandai menjaga rahasia, tapi bukan berarti aku tak bisa memilih apa yang bisa kuceritakan. Meskipun aku tidak bohong kalau aku mendapatkan karunia dari Agni dan semi-dewa yang lain, tapi aku tak menceritakan seluruh kejadian yang terjadi tadi, seperti sebenarnya aku juga bertemu dengan Bhumi dan bahwa karunianya adalah mengeluarkan sihir dengan mengucapkan nama elemen mereka.

Dan sudah jelas kalau aku tak bilang kalau aku sebenarnya reinkarnasi dari planet Bumi.


Tapi ada satu hal yang janggal. Mendengar kisahku, Bardam tak terlihat terkejut.

Ada waktu-waktu saat ia terlihat sedikit kaget, tapi begitu saja dan ekspresinya langsung kembali normal. Aku kira mendengar ada Manusia yang mendapat karunia dari dewa akan membuat ia tercengang. Tapi sepertinya tidak begitu.

Bardam tetap duduk diam di kursi dekat pintu kamarku sambil menatapku.

Tak lama kemudian, ia sedikit menghela nafas dan mengambil buku yang ia baca tadi siang dari kantong dalam bajunya.


"Hmm... Karunia ya."


Ia berbicara sambil membalik-balik halaman di buku itu. Pandangannya tetap tanpa ekspresi.


"Ya, mungkin ini memang sulit dipercaya. Tapi aku tak berbohong."


Aku takut Bardam tak percaya padaku. Pandangannya benar-benar tanpa ekspresi. Seakan-akan ia tak merasa ini adalah sesuatu yang mengejutkan, atau... ia tahu kalau aku masih menyembunyikan sesuatu.


"Aku percaya."

"Eh? Kau percaya kalau aku mendapat karunia dewa?"


Jadi, ia mempercayaiku? Tapi itu tetap tidak menjawab kenapa ia tidak terkejut. Meskipun ia percaya karena aku adalah temannya atau karena alasan yang lain, tapi bukankah mendengar kalau ada orang yang mendapat karunia dewa itu seharusnya adalah sesuatu yang mengejutkan? Kenapa ia mudah sekali percaya?

Tapi kemudian Bardam mengalihkan pandangannya dari bukunya ke arahku. Lalu ia pun tersenyum.


"Tentu saja. Karena... aku juga."    


***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 05, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kehidupan Kedua (Buku 3)Where stories live. Discover now