Cerita 30 - Tanah dan Api

69 8 0
                                    

Aku hanya bisa terdiam.

Entah aku mimpi apa semalam, sepertinya hari ini aku dipenuhi dengan keburukan.

Setelah tadi menahan kantuk di mata kuliah yang sangat membosankan, aku tak sengaja melihat John dan langsung berlari menghampirinya. Tapi aku kurang cepat dan gagal menemuinya.

Lalu saat aku baru saja kembali ke asrama, Ivan dan yang lainnya menyuruhku berlari lagi untuk melihat Felix yang dibawa pergi setelah sidangnya selesai. Di situ, aku pun kembali melihat John. Tapi aku lagi-lagi gagal menemuinya dan malah jatuh pingsan.

Kali ini, aku berlari sekuat tenaga dari asrama ke Kuil ini untuk menemui Alfa karena kurasa ini sangatlah genting. Tapi setelah kusampai, manaku malah terkuras habis dan berubah menjadi sesosok makhluk yang tak kuketahui.

Dan yang paling parah dari semuanya, aku... dijitak.


Aku pun tak tahu kenapa semua hal itu tiba-tiba terkenang sekarang. Apakah karena aku dijitak? Entahlah. Lagipula, setelah dipikir-pikir, aku tak seharusnya peduli akan hal ini. Yang seharusnya aku pedulikan sekarang adalah, kenapa aku dijitak? Ah, tidak. Ia sudah menjawabnya tadi kalau ia disuruh oleh Alfa. Tapi, siapa dia?


"Aku Bhumi. dewa Tanah."

"Oh, kau Bhumi, Dewa Ta... Eh, apa!?"

"Aku tak suka bicara panjang. Kami sudah memberikan karunia kami padamu. Kalau kau ingin penjelasan, bicara saja dengan Agni, Udaka, atau Bayu."

"Hah? Hei, tunggu dulu..."


Belum sempat aku bicara apa-apa, makhluk tanah di depanku ini langsung menghilang. Tanah yang membentuk tubuhnya melebur kembali menjadi mana dan lenyap seketika.

Aku membuang manaku sampai aku menjadi lemas karena makhluk itu, tapi ia hanya menjitakku dan hilang begitu saja.

Aku masih tak mengerti apa yang baru saja terjadi.


Tadi ia bilang kalau ia adalah Bhumi? Dewa Tanah? Dan ia juga menyebut yang lainnya... Agni, Udaka, dan Bayu? Kalau aku tidak salah, itu seperti nama-nama elemen dalam bahasa Sansekerta. Aku tahu karena dalam kisah pewayangan, itu juga menjadi nama-nama dewa yang mewakili masing-masing elemen tersebut.


Tunggu.


Tadi dia bilang kalau dia adalah Bhumi, dewa Tanah? Jangan-jangan, ia memanglah dewa Tanah seperti yang kutahu. Kalau itu memang benar, berarti wajar saja kalau ia dapat menarik manaku seenaknya dan menjadikannya tanah untuk membentuk dirinya.

Apa aku benar-benar baru saja melihat dewa Tanah? Tapi kenapa perasaanku berbeda dengan saat aku bertemu Alfa? Padahal Alfa juga dewa.


Aku sama sekali tak mengerti.

Tapi aku rasa aku tak akan bisa memahaminya sendiri. Aku pun memutuskan untuk mencoba memanggil dewa-dewa yang lain.


"Uhm..."


Tapi bagaimana caranya aku memanggil mereka? Apa dengan memanggil namanya saja cukup?

Uh... seharusnya kubertanya pada Bhumi tadi sebelum ia menghilang. Kini opsi yang kupunya hanyalah mencoba.


"Ehm... Agni?"


Seketika itu, sekelilingku berubah menjadi hitam-putih dan waktu pun seakan terhenti. Meskipun aku tak yakin apakah waktu benar-benar terhenti karena di aula ini tak ada apa-apa yang bisa membuatku memastikan hal ini, tapi keadaan ini sama persis seperti saat pertama kali aku bertemu dengan Alfa.

Yang pasti, aku kembali merasakan aura menekan yang mirip seperti yang kurasakan saat bertemu dengan Bhumi tadi.

Dan benar, tak lama setelah aku merasakan aura ini, lantai di depanku kembali terlihat mendidih. Lalu dalam sekejap dari lantai yang mendidih itu keluar api yang besar dan menjulang tinggi sampai ke langit-langit aula ini.

Api itu kemudian perlahan-lahan bergerak dan berubah bentuk menjadi mirip dengan tubuh manusia. Mirip sekali dengan saat Bhumi muncul tadi.

Tapi ada satu hal yang berbeda.

Api di depanku ini muncul dengan sendirinya tanpa mengambil manaku.

Entah apa yang membedakannya, aku tak mengerti.


Setelah beberapa saat, api itu berhenti bergerak. Ia sudah menjadi sesosok makhluk seperti manusia yang seluruh tubuhnya terbuat dari api yang terus membara. Mirip sekali dengan Bhumi tadi, namun ia terbuat dari api dan wajahnya... kosong.

Berbeda dengan Bhumi yang memiliki enam mata menyala di wajahnya, makhluk di depanku ini sama sekali tak memiliki mata, mulut, maupun hidung.

Aku diam sejenak melihatnya karena ingin memastikan kalau ia benar-benar Agni, sang dewa api sebelum aku mengajaknya bicara. Tapi setelah melihat bentuk tubuhnya yang mirip sekali dengan Bhumi tadi dan cara munculnya pun mirip, aku rasa ia memang lah Agni.


Tapi, belum sempat aku mulai bicara, ia mengangkat kedua tangannya dan melihat tangannya sendiri. Ia terlihat seperti tokoh utama dalam film superhero yang baru saja mengenakan kostum baru dan ingin melihat seberapa keren kostumnya itu.

Setelah itu, ia mencoba memiring-miringkan kepalanya, menggerakkan tangannya seakan sedang senam, bahkan sampai melompat-lompat kecil.

Aku ingin berbicara dengannya, tapi rasa terkejutku karena kelakuannya ini membuat mulutku ternganga begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa.

Setelah selesai melakukan 'senam'nya, ia menatapku—atau mungkin lebih tepat dibilang mengarahkan wajah tanpa matanya kepadaku— dan meluruskan tangannya menunjuk ke arahku sambil sedikit memiringkan badannya seperti seorang rapper.


"YO MAN! AKU AGNI, SANG DEWA API YO!"


***

Kehidupan Kedua (Buku 3)Where stories live. Discover now