Cerita 28 - Raja

60 8 0
                                    

Belum sempat aku pulih dari rasa terkejutku dengan sikap "teman-teman"ku ini, Luna langsung berbalik badan dan mengajak Ivan dan Bardam berlatih lagi.

Aku pun hanya bisa diam melihat mereka yang terlalu cuek.

Aku menahan rasa sebalku dan berjalan ke arah lapangan asrama. Kurasa menu Latihan Saitama lebih cocok dilakukan di lapangan dibandingkan di hutan ini.

Tapi tiba-tiba aku kembali mendengar suara Luna dari belakang.


"Wah, udah jam segini! Udah saatnya."


Aku menengok dan Luna sedang melihat jam tangannya. Atau mungkin bisa dibilang gelang yang dipasang batu sihir kecil yang bisa memunculkan sesuatu seperti hologram yang menunjukkan waktu jika diberi sedikit mana.

Saat ini jam tiga sore. Tapi aku tidak mengerti apa yang dimaksud Luna dengan 'sudah saatnya'.


"Saatnya untuk apa?"

"Sidang keputusan untuk hukuman Felix berakhir."

"Eh?"

"Sudah, ayo ikut aja! Sebelum kita terlambat!"


Bardam dan Luna berlari keluar dari asrama. Sedangkan Ivan keluar dengan melompat-lompat dari batang pohon yang satu ke batang pohon lainnya seperti seorang ninja. Karena ia adalah seorang Lagartian, badannya mungkin terlihat seperti kadal, tapi aku jadi berpikir apakah ia sebenarnya seekor monyet?

Aku yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi, akhirnya memutuskan untuk ikut berlari mengikuti mereka.

Kami keluar dari asrama dan menuju ke universitas. Tapi belum sampai kami masuk ke dalamnya, sudah banyak orang-orang yang berkerumun di depan pintu utama universitas. Terlalu banyak orang di sini, sampai-sampai aku tak bisa melihat apa pun yang terjadi di depan sana. Luna dan Bardam pun sepertinya merasakan hal yang sama. Terutama Bardam, karena ia seorang Dwarf, ia tak memiliki tubuh yang cukup tinggi bahkan untuk sekadar melirik-lirik ke depan sana. Dibandingkan denganku yang masih berusia enam tahun, ia hanya sedikit lebih tinggi dariku.

Bardam kemudian menarik kedua senapan laras panjang dari punggungnya. Sekejap aku langsung panik karena aku mengira ia mau menembakkan senapannya ke arah kerumunan orang-orang ini agar ia bisa melihat ke depan sana. Tapi ternyata ia malah menancapkan kedua senapan itu di depannya secara vertikal di hadapannya. Bardam pun melompat dan berdiri di atas kedua senapan yang lebih tinggi dari tinggi badannya sendiri. Tingginya kini hampir mencapai dua meter dan ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di balik kerumunan ini.


"—Oh."


Aku langsung lega karena ternyata ia bukan bermaksud untuk menembak orang-orang di depan ini. Tapi melihatnya, aku juga jadi berpikir, bagaimana caranya agar aku juga bisa melihat ke depan sana. Dan aku juga baru sadar kalau ternyata Luna sudah berada di atas batang pohon bersama Ivan untuk melihat dari atas sana.

Tanpa pikir panjang, aku pun ikut memanjat ke pohon yang sama. Aku tak seperti Ivan atau Luna yang bisa dengan sekejap melompat ke atas pohon seperti itu. Aku juga belum bisa menggunakan sihir untuk melompat seperti yang pernah dilakukan oleh pak Arthur. Aku hanya memanjat dengan cara konvensional.

Baru kusampai di batang pohon yang kuinginkan sebagai tempat berpijak, kerumunan orang-orang itu tiba-tiba jadi ramai bersuara. Aku langsung menyegerakan diriku untuk berdiri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Kehidupan Kedua (Buku 3)Where stories live. Discover now