Cerita 27 - Bardam

77 7 0
                                    

Aku langsung merasa kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku tak menyadarinya lebih cepat? Kenapa aku baru sadar saat aku sudah sampai di lantai tiga? Kenapa aku harus berkutat dengan pikiranku sendiri sebelum berlari? Kenapa aku tak berlari lebih cepat ke sini? Kenapa!?

Rasa kesalku membuat lututku lemas dan aku jatuh berlutut di tanah. Aku meninju-ninju tanah untuk melampiaskannya sampai tanganku terluka dan sedikit mengeluarkan darah.

Aku benar-benar kesal. Saking kesalnya hingga hampir saja kumengeluarkan air mata.

Namun, tiba-tiba aku mendengar suara yang kukenal di belakangku.

Aku langsung menengok ke belakang dan memandangi orang tersebut dengan mata yang mulai berair. Ia hanya berdiri terkejut di situ sambil melihatku sampai ia mulai membuka mulutnya.


"—Gils? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aya— Ah, Profesor Abimanyu."


Aku kira John yang datang dan menyapaku. Tapi ternyata orang tersebut adalah Profesor Abimanyu. Aku memang ke sini dengan tujuan bertemu Profesor Abimanyu, tapi tak bisa kupungkiri kalau kujuga ingin bertemu dengan John. Apalagi setelah melihatnya dari dalam gedung tadi. Meskipun aku pun tak begitu yakin orang yang kulihat tadi benar-benar John atau bukan.


"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Oh. Tadi aku mau ke tempat Profesor, tapi aku nggak sengaja— ah, nggak apa-apa. Apakah Profesor sedang senggang? Ada yang mau kutanyakan."

"Oh, kalau begitu ayo naik ke ruanganku."


Aku tak berani menyeritakan bahwa aku melihat John tadi. Aku tak ingin terlihat lemah karena dianggap masih belum bisa melupakan kematian orang tuaku. Aku ingin terlihat kuat di depan orang lain.


Setelah sampai di ruangan Profesor Abimanyu, aku bertanya soal Latihan Saitama yang diberikan oleh Paman Gatot Kaca. Profesor Abimanyu pun tersenyum melihatku. Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang senyumnya itu aneh seakan ia sebenarnya ingin tertawa. Tapi pada akhirnya Profesor Abimanyu pun mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan oleh Paman Gatot Kaca, kalau ini hanyalah latihan untuk menguatkan fisikku agar aku bisa menggunakan sihir tingkat atas.

Meskipun berat, aku pun menerima jawaban itu.

Setelah berharap kalau latihan ini bisa membuatku sekuat Saitama, tapi kurasa itu memang tidak mungkin. Haha.

Aku berbincang-bincang dengan Profesor Abimanyu sebentar lalu langsung kembali ke asrama. Setelah aku tahu bahwa tak ada cara lain untuk bisa menguasai sihir tingkat selain dengan memperkuat fisikku, aku tak mau menunda-nundanya lagi.


***


Sesampainya di asrama, aku menghampiri hutan kecil di belakang asrama universitas Bode untuk menemui Ivan dan yang lainnya. Aku ingin bilang pada mereka kalau sementara aku tak akan ikut latihan bersama mereka. Dengan tubuhku yang masih sekecil ini, dengan melakukan latihan sesuai perintah Gatot Kaca saja pasti sudah akan membuat tubuhku sangat kelelahan. Bagaimana mungkin aku menyisihkan tenaga untuk berlatih bersama teman-temanku? Karena itu aku memutuskan untuk berlatih sendiri untuk sementara. Paling tidak satu sampai dua minggu sudah cukup untuk membuatku terbiasa dan bisa kembali berlatih bersama mereka lagi.

Saat aku sampai di hutan kecil belakang asrama, Ivan, Bardam, dan Luna sudah mulai berlatih. Aku tak ingin mengganggu mereka, jadi aku hanya berdiri bersender di salah satu pohon di sana menunggu mereka menyelesaikan sesi latihannya. Biasanya kami berlatih dalam beberapa sesi dan diantara sesi itu kami istirahat sambil mengobrol. Jadi kurasa tak akan lama jika hanya menunggu satu sesi latihan.

Kali ini giliran Bardam.

Aku melihat Bardam sedang menembakkan senapannya ke arah Ivan. Ivan bersusah payah menghindarinya sambil berlari-lari bersembunyi di balik pepohonan. Tapi terlihat jelas bahwa Bardam berada di atas angin. Ia sama sekali tidak memberikan Ivan kesempatan untuk menyerang balik.

Tapi kemudian dari atas pohon muncul Luna yang menghunuskan pedangnya ke arah Bardam.

Bardam sepertinya menyadari kehadiran Luna dan mencoba menangkis serangannya dengan senapannya, tapi serangan Luna masih terlalu kuat hingga Bardam pun terlempar. Sepertinya barusan Luna tidak menyerang asal, melainkan dengan salah satu teknik pedang tingkat dasar. Dengan mengimbuhkan mana ke dalam pedangnya, serangannya menjadi beberapa kali lebih kuat.


Ketika Bardam mencoba untuk bangun, Ivan sudah berada di belakangnya membentangkan kaki di samping kepala Bardam. Seakan-akan ia ingin menendang kepalanya, tapi berhenti sebelum mengenainya.

Dengan ini, latihan pun selesai.


Bardam dapat menggunakan senapannya dengan sempurna. Semua tembakannya selalu tepat sasaran. Tapi ia tetap memiliki kekurangan. Pertama, ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertarung jarak dekat. Ketika lawannya berhasil mendekatinya, ia hanya bisa menggunakan senapannya untuk menangkis serangan lawannya tersebut seperti yang terjadi barusan. Di beberapa latihan sebelumnya, ia pernah mencoba untuk memukul lawannya dengan senapannya, tapi cara memukulnya terlalu ceroboh dan malah membuat celah untuk lawannya menyerang.

Kedua, meskipun ia memiliki bakat sihir tanah, tapi mana yang dimilikinya terlalu sedikit. Ia harus beristirahat sekitar sepuluh menit untuk memulihkan mananya setelah menembakkan sekitar 30 peluru sihir. Di saat ini lah sebenarnya kelemahan Bardam yang paling fatal ketika harus menemui pertarungan yang sesungguhnya.

Dua kelemahan itulah yang ingin ia perbaiki dengan latihan ini.


Baru saja kuberpikir untuk menghampiri mereka, Luna menyadari kehadiranku dan mereka pun berjalan ke arahku. Akhirnya aku pun langsung mengutarakan maksud kedatanganku pada mereka tanpa menunggu lebih lama. Bahwa aku ingin berhenti dari latihan ini untuk sementara.

Di luar dugaan, mereka pun langsung mengerti. Mereka meng-iya-kan keinginanku untuk berlatih sendiri tanpa pikir panjang. Aku cukup terkejut melihat reaksi mereka yang spontan ini. Kurasa daripada dibilang mereka mengerti, mungkin lebih tepat jika dibilang mereka tidak peduli. Mungkin mereka merasa jika aku tak ikut latihan, maka mereka bisa menjadi kuat lebih cepat dibanding aku. Dan aku tahu kalau itu membuat hati mereka senang. Meskipun mereka tidak mengutarakannya secara langsung, tapi aku tahu itu yang ada di pikiran mereka.

Teman-teman menyebalkan.


***

Kehidupan Kedua (Buku 3)Where stories live. Discover now