Kamu tak harus menyukaiku, kamu tak wajib membalas perasaanku. Biarlah, biarkan hanya aku yang mencintaimu.
Kalian pasti mengerti bagaimana perasaanku, jiwaku yang sepenuh hati menyukai Awang. Sebenarnya memang aku yang salah. Seharusnya aku sadar, statusku hanyalah sekedar mantan. Mantan ya mantan, seharusnya aku tak boleh cemburu. Tapi, apakah salah jika aku masih menyimpan rasa padanya? Bukahkan ini manusiawi? Kenapa seolah-olah semua menyalahkan aku?
Kalaupun dunia mau menyalahkanku silahkan, memang Tuhan yang ingin aku masih mencintainya.
Ketika Awang memandangu dengan perasaan penuh tanya membuatku biasa saja. Yang aku khawatirkan adalah pandangan dari gadis yang ada di depannya. Memandangku dengan tatapan tajam namun tetap anggun sambil memasang senyum.
Gadis itu menepuk pundak Awang kemudian berbalik dan pergi. Awang tersenyum menggangguk, kemudian mendekatiku "Nilam, kamu kok heboh?" Awang berusaha tersenyum, namun dengan jelas aku tetap bisa melihat aura wajahnya yang merah padam menahan malu.
Aku malu. Bingung. Rasanya ingin menangis. Kepalaku serasa hancur, tapi masih utuh. Aku hanya menunduk.
Semua yang memandang telah berlalu pergi. Siswa lain mulai melaluiku. Ramai terasa di raga, namun sepi terasa di hati.
"Aku tau kamu masih menyukaiku, aku mohon bersikaplah biasa saja" Awang memandangku. Kali ini dia mengkritik. Detik berlalu, ia kemudian melewatiku menjauh.
Menahan rasa, sangat pedih. Perih rasanya di hati. Sungguh, jika bisa jujur. Aku sangat rindu padanya. Aku ingin dia yang dulu, aku ingin bertemu dengan perasaan seperti dulu. Namun, dulu adalah dulu.
***
Waktu berlalu setelah pertemuan itu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun, lebih banyak berjuang dalam penat. Ingin rasanya mengucapkan maaf karena telah mengganggu Awang, namun untuk bertemu dengannya saja saat ini rasanya terlarang.
Chat di sosmed? Rasanya gemeteran. Ponselku lebih memilih untuk bergetar hebat kemudian ngeblank daripada melihatku yang hanya stalking sosmed Awang.
Meski hatiku berduka, kulihat Awang biasa saja. Ia tetap mengganti profil BBMnya mengupdate lagu-lagu yang dia dengarkan. Terkadang juga membuat story di sosmed yang lain. Ahh, mengingatnya hanya membuat perasaanku memburuk.
Andai saja sakit hati bisa diobat. Aku terlalu egois untuk mengatakan tidak pada perasaanku yang mendalam.
Aku tau gadis yang berbicara dengannya waktu itu. Tak kenal dekat. Hanya pernah mendengar namanya disebut-sebut oleh orang sana sini.
Talita. Gadis yang lumayan populer karena kemampuan otaknya. Pintar, pernah mendapat peringkat 2 OSN Kimia tingkat Nasional. Wajahnya biasa saja, namun lesung pipitnya ketika tersenyum bisa mengakibatkan diabetes akut. Tingkahnya sopan, dia ramah. Talita lulusan dari pondok pesantren, ucapannya baik. Jarang kudengar namanya jelek. Anak dari ketua DPR Provinsi. Kurang apa? Talita yang memang pantas bersanding dengan Awang.
Kadang aku cemburu. Aku tak pernah cemburu jika Awang dekat dengan gadis-gadis genit, namun kali ini aku cemburu karena Awang menemukan gadis yang sholeh. Gadis yang baik, memang benar. Awang memang seharusnya bersama Talita, Awang memang tidak ditakdirkan untukku.
Aku tidak meminta Tuhan untuk menjauhkan Awang dari Talita. Aku tidak mendengus sebal karenanya. Aku berusaha belajar ikhlas. Karena setiap kejadian sudah diatur
Malam ini, di bawah sinar rembulan. Kak Galang masih berusaha untuk membujukku agar tidak marah. Mama biasa saja, karena memang aku dan kak Galang sering bertengkar.
10 detik kak Galang berteriak memintaku keluar. Mendodoki kamarku, katanya sih mau diajak makan ice cream.
20 detik kemudian. Mataku tersita oleh sebuah pandangan dimana layar ponselku menyala berkilauan. Terang. Bergetar bernada. Yang membuat kasurku ikut bergetar.
Kuraih ponsel itu, kulihat sebuah kontak meneleponku.
Daniel ?
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ludah - Ludah Rasa
RomanceObsesi yang tak pasti membuat seseorang bisa mengakhiri kisah cintanya dengan alasan sederhana. Namun, bagaimanakah komentar yang dilontarkan oleh hati? *terbit setiap hatiku tersakiti