Nilam, jangan beli es
Sederhana, cukup untuk membuat hatiku bergetar. Awang yang masih penuh peduli. Awang yang masih suka menyapa. Dan Awang yang masih ada di dalam hati. Ketika semua orang saling berlomba melupakan mantan, tidak dengan Awang yang masih terus ada di sisiku.
Entah berapa detik kuhabiskan waktu untuknya, entah berapa saat ketika nafasku berhembus dengan namanya, dan entah berapa lama perpisahan yang sudah terjadi pada kita. Ketika rindu mulai menyerang. Keinginan untuk terus bertautan terkadang muncul kepermukaan jiwa. Namun, bagaimanapun keadaan apapun yang terjadi perpisahan tetaplah perpisahan. Seandai kata aku bisa kembali bersamanya, aku ingin. Dan aku jujur.
Perasaa yang dahulu datang, perasaan yang tak terlupakan. Tentang janji dan kisah. Ingat dan tak diingat. Antara memberi dan mendapat. Meski kutahu Awang sudah lelah denganku, tak bolehkah aku berharap?
Penyesalan selalu datang terlambat.
"Neng jadi beli es? Maaf neng banyak yang ngantri" aishh si abang malah ngusir.
Akhirnya sudah bisa ditebak, aku nggak punya nafsu buat beli es lagi. Meski dehidrasi, tapi apalah daya hati jika sudah tak punya nafsu lagi. Pulang ke rumah adalah hal yang harus dilakukan sekarang.
***
Sore menjelang malam. Belum malam tapi sudah gelap. Belum makan tapi terpaksa kenyang. Belum mandi tapi terasa wangi. Gitu kali ya perasaan ini?
Dengan gemetar, jari ini memencet perlahan tombol di layar handphone.
Iya Awang :)
Tinggal send. Tapi keringat bercucuran.Setelah perang batin yang dimenangkan rindu, pesan singkat itu berhasil aku kirim. Detik berlalu, menit berlalu, jam berlalu, kucing tetangga lewat berlalu. Tak kunjung datang balasan dari Awang.
Aku terlalu malas untuk berdampingan dengan kenyataan. Kubuka laptop. Drama Korea kesukaan menyapa.
"Nilam, mama mana?!" Suara semangat proklamasi terdengar dari balik pintu kamarku. Siapa lagi kalau bukan Galang, kakakku. Kak Galang yang disukai banyak cewe, enggak tampan sih, cuma wajahnya tuh menarik. Sebenernya ada untungnya juga punya kakak kayak dia, kebanyakan cewe yang mau ngerayu kakakku selalu baik-baikin aku. Alhasil aku bisa minta dibawain jajan kalau mereka main ke sini.
"Keluar. Katanya mau beli selang air"
"Oohh.. laper nih, mau makan di luar?" Mungkin kak Galang lagi banyak duit ya. Tumben banget.
"Enggak. Aku diet. Jangan ganggu"
"Beneran nih? Nanti nyesel loh"
"Pergi sana! Ganggu aja!"
"Ya udah padahal mau beli sate ayam di perempatan"
"Ya udah sana. Ga usah nungguin di depan pintu kamarku!"
"Bener nih? Yakin? Sekali kali lohh ini. Ini momen langka kan?"
"Aku diet! Diet ya diet!"
"Buat apa diet kalok kelaperan?"
"Pergi sana! Ga usah ganggu orang diet!"
***
Satu jam berlalu. Kepulan asap dari bakaran sate ayam menggumpal di depan mataku. Aroma khasnya yang nikmat. Membuatku semakin bergairah.
Sate ayam perempatan emang terbaik. Apalagi ibu penjualnya. Ibu penjualnya ga ramah sih, tapi anaknya cogan banget. Sayang anaknya kuliah di luar kota. Cita rasa sambelnya khas banget, entah karena aku lapar apa karena emang doyan. Tapi tiap kali makan, ketagihan mulu.
Setusuk demi tusuk kulahap tanpa sisa. Untung saja aku masih dalam keadaan terjaga, kalau tidak besar kemungkinannya tusuknya ikut kumakan.
"Abis ini, mau coba es krim di kedai baru mau? Pengen nyoba nih"
Entah kenapa aku ngerasa ada yang berbeda dari masku kali ini. Nggak biasanya dia begini. Seumur hidup yang aku tau kak Galang orang yang nyebelin dan pelit. Aku inget banget dulu pernah disuruh makan coklat kadaluarsa sama kak Galang cuma gara-gara dia nggak mau ngebuang coklat, dan bodohnya kenapa dulu aku turutin :).
Aku mengerutkan dahi, "Kakak sehat? Abis menang taruhan bola?"
Kak Galang menatapku, dari raut wajahnya dia menahan tawa namun menampakan kesedihan. "Mama belum bilang?"
"Bilang apa kak?"
Hujan membasuh kota. Airnya mengalir begitu saja tanpa suara. Telingaku memerah. Entah seperti apa ekspresiku. Tak tahan sedih, air mata yang kubendung jatuh secara paksa.
Kak Galang memelukku, mengusap rambutku "Maafkan kakak ya Nilam, kakak janji bakal sering ngunjungin mama sama Nilam"
Aku yang masih belum sadar atas apa yang terjadi. Aku yang masih kebingungan. Aku yang masih belum bisa mencerna kata-kata kak Galang, "Kenapa jauh? Apa tidak bisa di sini saja?"
"Kakak juga ingin di sini. Tapi, pendidikan kuliah di Jerman itu lebih menjamin. Lagipula kakak dapat beasiswa, mama juga nggak perlu repot mikirin biaya kuliah kakak. Kamu tau kan mama orang tua tunggal"
Hujan dengan cahaya jingga menerangi langit. Hanya orang-orang aneh yang akan makan es krim disaat cuaca dingin seperti ini. Termasuk aku dan kakakku.
Kedai es krim ini sepi, mungkin karena masih baru. Atau karena cuaca yang dingin? Jangan-jangan karena rasanya yang tidak enak? Ah tidak. Mungkin aku sedang tak punya selera sampai-sampai kubiarkan seporsi es krim banana itu meleleh tanpa kusentuh.
Mama pernah bilang, ketika aku dilahirkan aku termasuk salah satu daru bayi yang tidak mau menangis. Bahkan setelah digoyang-goyang oleh dokter aku belum menangis sampai 1 jam. Namun, ketika kakakku menggendongku, saat itulah aku menangis dengan kencang.
Ketika aku belajar berenang, kakakku yang mengajariku karena papa sudah pergi meninggalkan kami dengan wanita lain.
Ketika aku menangis, dan mengurung diri karena putus dengan Awang, kakakku yang paling bingung dan berusaha menghiburku. Ia bahkan mengumpat pada Awang lewat telepon.
Tapi, kenapa? Jauh sekali. Ke Jerman. Apakah semua yang aku sayangi ditakdirkan untuk pergi menjauhi ku? Termasuk papa. Ah papa, mengingatnya membuat hatiku terluka. Kasihan mama, harus bekerja sendirian bertahun-tahun.
***
Malam ini, aku memilih mengurung diri dalam kamar. Membiarkan pikiranku melayang. Dulu aku hanya rindu papa, kemudian Awang. Dan sekarang? Haruskah aku rindu pada kak Galang? Aku mencoba membiasakan diri. Sebenarnya kakakku belum berangkat. Ia masih ada di kamar sebelah. Tapi rasanya, seakan-akan dunia kami berbeda sekarang.
Handphone ku yang sengaja kutaruh 30 centimeter jauh dari badanku berdering. Sebuah chat masuk dengan nada yang tak menyenangkan. Sebuah nama terpapang di atasnya Awangku.
Keluar. Aku di depan
Awang? Awaaanngg? Kenapa? Ada apa? Tanpa basa-basi. Tanpa aba-aba aku keluar dari rumah tanpa memakai sandal. Kulihat Awang di depan pagar dengan payung biru.
Awang tersenyum, "Aku ingin bicara"
...

KAMU SEDANG MEMBACA
Ludah - Ludah Rasa
RomantizmObsesi yang tak pasti membuat seseorang bisa mengakhiri kisah cintanya dengan alasan sederhana. Namun, bagaimanakah komentar yang dilontarkan oleh hati? *terbit setiap hatiku tersakiti