Larutan Kecap Asin

29 1 0
                                        

Aku dan sebuah pohon jambu, di depan rumah memandang lukisan bodoh yang terpapar di imajinasi. Kesepian, sungguh aku kesepian. Yang aku tahu, sesuatu bergairah yang membuatku nyaman adalah cinta. Persahabatan? Seumur aku hidup, sedetik helai bulu mataku jatuh, seringkih jalanan serdadu menggebu, tak pernah kutemui teman yang benar-benar teman sejati. Hanya Awang, dia. Satu-satunya duniaku.

Papa yang memilih pergi dengan wanita lain. Mama yang depresi bekerja sendirian. Kak Galang yang sibuk belajar guna mengurus beasiswanya. Teman masa kecilku? Biasa saja tak ada yang istimewa. Bersamaan langkanya harga minyak tanah, satu persatu mulai meninggalkanku.

Aku yang kesepian.

Ketika aku masih kecil, yang kupunya hanya "Arthur" kucing kecilku yang sudah meninggal. Ketika aku beranjak remaja, yang kupinya hanya siaran televisi doraemon, ketika aku remaja, yang menemaniku adalah Awang.

Awang selalu berkata pelan padaku, "Sabarlah". Mengusap rambutku, dan menyentuh pipiku perlahan. Ketika aku sedih, entah Awang punya CCTV atau memang Awang yang terlalu peka, ia selalu tiba-tiba melakukan hal yang menyenangkan.

Sering kulihat sinar matanya yang bersinar, ketika melihatku. Namun, sinar itu kian redup sampai kini, hingga aku menyesal. Aku menyesal menghilangkan sinar itu, aku menyesal tak bisa menjadi Nilam, milik Awang.

Memang aku yang salah.

Runtuhnya kerajaan Majapahit, hilangnya pulau Eden. Seperti hatiku, antara goyah untuk kembali kehilangan, atau hanya mitos untuk kembali mengucap cinta.

***

Aku tak kuasa berlari kembali. Tubuhku lelah oleh sifat egois hati dan pikiranku. Aku duduk bersimpuh di taman dekat pagar sekolah, kubiarkan lututku terbenam lumpur.

Langit terasa kelam, ketika ia bersinar cerah. Aku kehabisan kata untuk mengungkap atau sekedar berbicara kepada diri sendiri tentang Awang.

Krriiingg~ Krrriiingg~ krrriiinggg~

Pesan masuk. Singkat. Dari Daniel.

Nilam, Aku jemput di sekolahanmu ya.

Daniel membuat kesadaranku kembali. Segera kulari keluar dari sekolah. Mataku tertuju pada seorang yang berdiri membelakangi ku sambil tetap memakai helm.

Ahh.. Daniel.

"Woii..!!" Ku tepuk pundaknya keras disertai teriakan yang mungkin mencekam di telinganya.

Orang itu terkejut, memalingkan badannya. Menunjukkan guratan-guratan terkejut, marah tapi tak kuasa. "Iya? Mbak?"

Bgsd. BUKAN DANIEL bgsddd...!!!! Anjirr wajah gua maluu anjiirrr!! Tercoreng nih wajahh unyuk gua.

"Ehh sorr.. sorry bang sorry. Ga maksud jail bangg sorryyy, ku kira temenku" aku menunduk serendah-rendahnya sambil menahan rasa maluku. Si abang justru sibuk kebingungan sambil menyuruhku bangun.

Sambil melengos mengusap-usap wajah sembari berlari kecil, seseorang di depanku sengaja menabrak tubuhku sambil terkekeh.

"Nil.. Nill , haha, masa lupa sama Daniel tampan ini" Daniel tersenyum. Sembari berusaha membuka wajahku yang kututupi tanganku.

***bersambung***

Ludah - Ludah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang