Karena Cinta

53 4 5
                                    

“Hayo, ngelamun mulu!” Sinta, gadis cantik karyawati baru di bagian stok gudang yang baru masuk tadi pagi.

“Eh, ngagetin aja nih Kak!” kilahnya seraya membetulkan posisi duduknya.

“Ngeliatin Iqbal?” ledekku.

“Iqbal? Ah enggak.” Sinta menutup laptop setelah memastikan laporan stoknya telah berhasil dikirim  ke kantor pusat melalui email.

“Terus siapa?” bisikku penasaran.

“Cowok yang agak gondrong itu siapa sih? Lucu banget.” Sinta menunjuk seseorang.

Ah, lelaki itu? Ada yang aneh dengan Sinta. Tidak seperti karyawati lain yang begitu tergila-gila pada Iqbal.

“Itu Afan. Kenapa?” jawabku agak heran.

“Lucu. Manis.”

“Hah?” aku heran dengan teman baruku ini. Dari sekian banyak lelaki, kenapa Afan? Iqbal itu lebih tampan dibandingkan dengan Afan. Iqbal itu idaman karyawati di kantorku. Afan memang berteman baik dengan Iqbal, tapi sifat mereka sangat berbeda. Afan itu lebih terkesan urakan. Penampilannya asal, kulitnya gelap dengan badan kurus menjulang. Afan juga pemabuk.

“Nanti kamu pulang aja duluan, biar laporan malam aku yang bikin. Oke?”

“Sip.” Sinta menyahut sambil membereskan buku stok dan bersiap pulang.

Begitu jam kantor selesai, Sinta langsung pergi. Sedangkan aku masih berkutat dengan laporan malam hari. Saat itulah terlihat sosok Afan, lelaki yang kata Sinta lucu. Ah, ini mirip sebuah ejekan halus. Sepertinya Sinta perlu cek mata, jangan-jangan matanya kurang vitamin.

“Belum pulang?” sapanya.

“Masih beresin laporan. Oiya, ada salam dari Sinta. Anak baru.”

“Becanda aja.”

“Serius.”

Terlihat dia tersenyum lalu bergegas keluar ruangan.

***
Besok sorenya, aku menemukan Sinta memandangi Afan. Ah, anak ini. Sepertinya benar-benar sedang jatuh cinta.
“Disalamin sama Afan.”

“Eh, apaan?” Sinta memandangku penuh harap.

“Disalamin. Kemarin ketemu pas kamu udah pulang.”

“Ah, serius?”

“Iya....” jawabku santai sambil mulai menghitung stok di laptopku.

Terlihat Sinta tersenyum manis. Entah apa yang ada dipikirannya.

“Sin, kamu suka Afan itu apanya sih?” tanyaku.

“Nggak tau. Aku bingung, tapi dia manis. Beda dari yang lain.”

“Oooh. Tapi sekedar mengingatkan nih ya nggak ada maksud apa-apa, Afan itu suka mabok dan sepertinya pemakai. Ini sih kata temen-temen yang lebih tau dia.”
“Nggak, aku yakin dia baik untukku. Feelingku sih bilang gitu. Tapi entah....”

“Oke.”

Itu terakhir kali kami berbincang tentang Afan. Karena selanjutnya, Sinta seperti menghindari obrolan tentang Afan. Dan di suatu malam, saat aku masih berkutat dengan laporan malam ku, tak sengaja mataku menangkap sosok yang sangat kukenal. Dia Afan. Terlihat lemas di pojok ruangan depan kantorku, yang terlihat dari ruanganku karena hanya disekat kaca. Aku menghampirinya.

“Fan, hei....” aku mencoba menyapanya. Tapi dia hanya tersenyum samar. Aku melihat matanya tampak memerah. Sepertinya dia mabuk.

“Fan, Sinta itu naksir kamu. Kamu nggak pengen dapetin cewek cantik yang alim macam dia?” ucapku pelan. Aku duduk di sampingnya. Bau alkohol.

“Mana pantes Nov, aku dan Sinta jelas beda. Mana mungkin sih dia suka sama berandal kaya aku hah, becanda kamu?” sahutnya lemah. Aroma alkohol jelas menusuk hidung. Aku beranjak berdiri.

“Heh, denger! Sinta suka kamu apa adanya. Tolong hargai itu, jodoh siapa yang tau?”

Aku melangkah menjauh menuju ruanganku kembali dan meneruskan laporan.

“Thanks nasehatnya.”

Aku kaget karena Afan tiba-tiba sudah di sampingku. Aku hanya tersenyum dan berharap Afan bisa berubah lebih baik.

***

Aku tahu, dalam diam Sinta tetap mengharapkan lelaki itu. Lelaki yang jauh dari kata baik dan layak untuk seorang Sinta yang berhijab. Aku tahu, dalam setiap munajatnya ada nama lelaki itu. Cinta itu jelas terasa auranya.

“Sin, bulan depan kemungkinan aku pindah ke Jakarta.”
“Hah? Aku sendiri ngurusin stok segini banyak?”

“Ada gantiku pasti. Tenang....” ucapku sambil merapikan buku-buku stok yang habis ku baca.

“Aku pasti kesepian. Ah, jadi sedih gini.”

Aku memeluknya. Entah, aku merasa sangat dekat dengan teman baruku ini.

“Semoga ada orang lain yang bisa jadi lebih dari sekedar teman kerja. Biar kamu nggak kesepian.”

“Hai, udah waktunya sholat. Ayo, siapa yang mau jamaah?”

“Afan?” aku dan Sinta menoleh ke sumber suara dan berseru hampir bersamaan. Afan hanya tersenyum. Dia mengenakan kopiah putih dan sarung. Cocok.

“Ayo, keburu abis waktu sholat.”

Aku dan Sinta saling pandang lalu mengikuti Afan yang sudah berjalan lebih dulu keluar ruanganku. Ada kebahagiaan di hatiku, terlebih Sinta.

“Doamu terjawab.” Sinta tersenyum. Aku ikut bahagia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang