Napas Kandra

405 64 7
                                    

Aku selalu iri pada orang yang bisa membaca buku di dalam bus. Bagi mereka, kemacetan satu atau dua jam bisa menjadi waktu yang berkualitas. Aku pernah mencobanya beberapa kali, baik itu menggunakan buku sungguhan atau buku digital di ponsel, tapi hasilnya selalu sama, kepalaku pusing dan perutku mual. Mendengarkan musik juga bukan pilihan yang bagus, sebab bisingnya mesin kendaraan membuatku harus meningkatkan volume hingga maksimal dan akhirnya malah membuat telingaku sakit.

Selama seminggu sejak aku pindah ke Jakarta, aku harus menghadapi kemacetan lalu lintas dengan melamun dan tidur, hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah kebiasaan baru yang bagi sebagian orang terdengar aneh: merasakan napas orang yang duduk di sebelahku.

Sudah lazim bagi penumpang kendaraan umum di ibu kota untuk saling berhimpit dengan penumpang lain. Awalnya aku menganggap hal itu sebagai hal biasa, hingga pada suatu sore, seorang wanita yang duduk di sebelahku terkantuk-kantuk dan hampir jatuh bersandar di bahuku. Dari bahu dan lengannya yang bersentuhan denganku, aku menyadari bahwa aku bisa merasakan irama napasnya. Sejak saat itu, entah sudah berapa banyak gerakan napas manusia yang kurasakan di dalam bus, mulai dari napas kakek tua yang tersendat-sendat hingga napas lembut anak kecil yang digendong ibunya.

Ada hal yang luar biasa ketika merasakan napas orang-orang itu, rasanya aku seperti bisa menyelami diri, menerka kondisi tubuh, dan membaca pikiran mereka. Aku bisa merasakan temponya; seberapa cepat mereka bernapas dan seberapa halus aliran napasnya. Biasanya aku harus menahan napas sejenak dan memejamkan mata agar bisa berkonsentrasi pada napas orang lain, barulah setelah itu aku bisa mengikuti gerak napasnya. Mengembang, mengerut, naik, turun, cepat, lambat.

Pernah beberapa kali aku mencoba menginterupsi aliran napas mereka dengan memainkan tempo napasku sendiri, tapi tak kulakukan lagi karena tindakan itu ternyata membuat mereka terganggu, bahkan ada yang bergidik geli dan langsung pindah tempat duduk.

Kebiasaan aneh itu mempertemukanku dengan seseorang yang berbeda dari manusia lainnya; seorang perempuan yang sama sekali tak bisa kurasakan irama napasnya, seorang perempuan yang belakangan kupanggil Kandra.

Awalnya aku bertemu Kandra saat berangkat kerja, kira-kira pukul tujuh pagi. Karena aku berangkat dari terminal, bus kota yang kunaiki belum terlalu penuh sehingga aku bisa mendapatkan tempat duduk kosong di sisi kiri tengah. Satu per satu penumpang berdatangan, bus nyaris penuh. Di sebuah halte, seorang wanita berkemeja lengan pendek putih dan mengenakan masker jingga masuk ke dalam bus. Sejenak matanya menyisir keadaan sekitar, kemudian ketika melihat bangku di sebelahku kosong, ia segera mendudukinya. Bagiku tidak ada yang spesial dari sosok Kandra, hanya seorang karyawati biasa yang hampir setiap hari bisa kulihat dalam kendaraan umum.

Aku tidak bisa melihat wajah Kandra dengan jelas. Selain karena ia duduk di sampingku, masker yang ia kenakan juga menghalangi sebagian wajahnya. Yang jelas, perawakannya biasa saja, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Meskipun ia mengenakan high heels, aku bisa menebak bahwa sebenarnya tubuhnya cukup tinggi. Dalam hati aku bergumam, perempuan yang memaksakan diri memakai sepatu hak tinggi saat naik bus kota pastilah perempuan yang sangat keras kepala—atau seorang masokis.

Awalnya ia duduk agak menyerong ke kanan, tapi kemudian ia bergeser ke kiri hingga lengan kami bersentuhan. Kami sama-sama mengenakan kemeja lengan pendek, jadi kulit lengan dan siku kami bersentuhan tanpa sengaja. Kesan pertama yang kurasakan, kulit Kandra sangat halus. Halus dan dingin.

Aku hampir tidak pernah berkenalan apalagi mengobrol dengan orang yang duduk di sebelahku, kecuali dalam keadaan tertentu seperti perjalanan antarkota yang sangat panjang. Aku pun tak berusaha berkenalan dengan Kandra, begitu pula sebaliknya. Sesekali aku mencuri pandang ke arah wajahnya lewat pantulan samar-samar di kaca jendela, atau berpura-pura hendak menoleh ke arah jendela di seberang. Rambutnya dibelah pinggir dan matanya menatap lurus ke depan. Ia juga mengenakan earphone di kedua telinganya dengan kabel yang terurai masuk ke dalam saku kemeja. Aku tidak tahu musik apa yang ia dengarkan.

Setelah Gelap DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang