Setelah Gelap Datang

695 83 3
                                    

Seorang teman pernah mengatakan padaku bahwa manusia telah mencuri dunia untuk dirinya sendiri. Ia bilang, kita telah mendinginkan kamar-kamar kita sambil membuat bumi semakin panas, juga telah mencuri cahaya bintang ke dalam rumah kita sendiri. Waktu itu aku tidak menganggapnya serius. Pemabuk seperti dia bisa mengucapkan apa saja dan kata-kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar puitis. Namun sekarang sepertinya ia benar, aku mulai bisa merasakannya sendiri.

Dari depan jendela di lantai dua puluh ini, saat aku menunduk ke bawah aku bisa melihat "bintang-bintang" berkilauan, sementara langit di atas sana gelap segelap-gelapnya, sebagian tertutup awan, sebagian tertutup asap. Entah sejak kapan kita membuat dunia menjadi sesilau ini. Mungkin sejak Nikola Tesla dan Alpha Edison membuat listrik menjadi kebutuhan? Mungkin jauh sebelum itu? Aku tidak tahu pasti. Aku hanya tahu, bahwa temanku itu memercayai kegelapan sebagai asal dari segala sesuatu. Ironis, sebab teman laki-lakiku itu bernama Nur.

"Kamu bilang, kegelapan bukanlah lawan dari cahaya, bahwa kegelapan hanya kondisi ketiadaan cahaya? Ya, aku setuju," ucap Nur padaku. Waktu itu aku sedang menunjukkan sebuah cerita inspiratif yang kudapat dari internet. Ia melanjutkan, "Kegelapan memang sebuah kondisi ketiadaan cahaya. Kegelapan adalah kondisi awal dari segala sesuatu, adalah esensi dari diri kita yang paling dasar, ke dalam kegelapanlah kita akan kembali."

Seandainya aku seorang fanatik yang emosional, si sok dalem itu mungkin sudah kurajam karena menyebarkan ajaran sesat. Tapi dia beruntung karena aku hanya tertawa mendengar kata-katanya itu yang—berbeda dari biasanya—ia ucapkan dalam keadaan sadar dan mimik serius.

Aku berusaha menguji ucapannya. "Kalau kita berasal dari kegelapan, lalu kenapa kita takut pada gelap? Sewaktu mati lampu, kita selalu mencari lilin; sewaktu terjebak di dalam lorong gelap, kita selalu mencari jalan keluar. Kenapa?"

"Karena kita sudah melupakan asal kita," jawabnya tenang, tidak terpengaruh sama sekali, "Memang, kita takut pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Tapi terkadang, bahkan seringnya, hal yang tidak kita ketahui itu sebenarnya adalah sesuatu yang sudah lama kita lupakan."

Nur mengajukan serangkaian pertanyaan retoris. "Kenapa manusia takut pada kuburan? Bukankah kuburan itu berisi orang mati yang dulunya juga hidup seperti kita? Mengapa manusia modern takut pada kemenyan, pada tembang kuno, pada boneka jelangkung, pada rumah tua, pohon keramat? Kita takut pada hal yang telah kita lupakan. Semakin lama kita melupakannya, semakin kita takut kepadanya. Itulah kenapa rasa takut terbesar kita datang dari kegelapan, dari asal kita sendiri."

Bila saat itu aku ingin berdebat dengannya, aku bisa saja mencari celah dari semua argumennya itu. Tapi aku paham, semua ucapannya itu bukan untuk dikonsumsi akal sehatku. Bahkan aku pun tidak sanggup menggunakan akal sehatku ketika Nur, pada akhirnya, kembali pada kegelapan.

Pemuda itu tewas setelah meledakkan diri di sebuah pembangkit listrik yang berujung dengan padamnya listrik di sebagian wilayah Jakarta. Kasus itu sempat menggemparkan seluruh surat kabar, bahkan aku sempat ditahan dan diinterogasi satuan polisi antiteror. Satu-satunya yang bisa kutunjukkan pada mereka adalah sebuah pesan singkat bertuliskan "aku akan kembali ke asal, aku tidak takut lagi pada kegelapan".

Sekarang, setiap kali terjadi pemadaman listrik, aku selalu teringat pada Nur. Aku merasa bahwa ia selalu mengawasiku dari sudut-sudut ruangan yang gelap, lalu ia akan melambaikan tangan ke arahku dan mengajakku bergabung dengannya. Tapi aku tak bisa, Kawan. Aku belum mengingat asalku, aku masih takut pada kegelapan. Itulah sebabnya aku selalu menyiapkan lampu darurat di samping tempat tidurku untuk berjaga-jaga.

Taksi yang membawaku pulang dari kantor terhenti di tengah jalan. Sudah jam sembilan malam, tapi jalanan masih dipenuhi oleh mobil-mobil yang merayap pelan. Lampu-lampu yang menyorot dari mobil-mobil itu membuat kota terasa seperti siang. Suara klakson sesekali terdengar, menghentakkan kesadaranku yang hampir terlelap. Aku menyuruh supir taksi untuk menghentikan perjalanan. Kubayar sejumlah uang seperti yang tertera di argo, lalu aku keluar dari taksi dan berjalan kaki. Kulepaskan sepatu hak tinggi yang membuat langkahku kikuk, kumasukkan ke dalam tas, lalu kuganti dengan sandal jepit.

Setelah Gelap DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang