Nenek Sari

403 61 3
                                    

Di tepi jalan itu, terkadang ada seorang nenek yang duduk sambil bermain kecapi. Kadang ia muncul sore hari, kadang pagi hari, tapi ia selalu mengenakan kebaya lusuh yang entah sudah berapa lama tidak dicuci. Aku tidak mengenalnya dan tidak pernah bicara dengannya, tapi penjaga warung di seberang jalan mengatakan bahwa nenek itu bernama Sari. Sewaktu masih menjadi buruh pabrik dulu, aku sering berpapasan dengan Nek Sari saat pulang kerja. Kadang aku memberinya uang kalau kebetulan di kantong celanaku ada uang receh, kadang hanya sekadar tersenyum ringan.

Menurut penjaga warung yang mengaku pernah mengobrol dengannya, Nenek Sari datang ke Jakarta ketika usianya masih dua puluh tahunan. Sama seperti kebanyakan orang yang mengadu nasib di Jakarta, dulu ia mengira bahwa kemewahan dan kenyamanan hidup di Ibu Kota bisa dimiliki oleh siapa saja. Ia baru menyadari kesalahan berpikirnya ketika beberapa tahun kemudian usaha tambal ban milik suaminya terpaksa gulung tikar, lalu rumah gubuknya dibongkar paksa oleh aparat. Kemalangannya semakin lengkap ketika anak laki-lakinya mati ditembak petrus lima belas tahun yang lalu dan tak lama setelah itu suaminya pun kabur entah ke mana, Nenek Sari akhirnya tinggal sebatang kara (mungkin "tinggal" bukan kata yang tepat, sebab ia tidak punya tempat tinggal).

Ia pernah ditampung di yayasan panti jompo selama beberapa saat, tapi kemudian memutuskan keluar karena masih ingin mencari suaminya. Aku tidak tahu apakah ia pernah menyesali keputusannya untuk hijrah ke Jakarta atau apakah ia pernah merindukan kampung halamannya, tapi konon, kecapi tua yang ia gunakan untuk mengamen adalah peninggalan orang tuanya yang ia bawa dari desa saat masih muda dulu.

Aku tidak tahu apakah semua kisah itu benar atau tidak, sebab terus terang aku curiga kalau si penjaga warung itu menambahkan bumbu pada ceritanya. Satu-satunya yang paling aku percayai adalah bahwa nenek renta itu kini kesepian dan menderita. Penderitaan yang ... mungkin akan segera lenyap bila aku mengiyakan tawaran Pak John tadi malam.

"Mereka butuh tumbal," ucap Pak John sambil mengisap rokok kreteknya, "dan kita harus menyediakannya. Bukan, bukan kita, tapi elu."

Pak John, lelaki berumur sekitar empat puluh tahun yang kukenal dari seorang teman, adalah orang yang selama ini membantuku menyambung hidup. Enam bulan lalu aku terkena PHK dan resmi menjadi pengangguran. Semenjak saat itu aku melakukan pekerjaan apa pun yang bisa kukerjakan, mulai dari tukang ojek, tukang sol sepatu, pengamen, hingga menjadi tukang potong ayam. Dari pekerjaan tukang jagal itulah aku mengenal Pak John. Hari ini, hari di mana anakku sedang sakit keras, Pak John memberikan tawaran yang menggiurkan sekaligus mengerikan.

"Maksud Bapak, tumbal ... seperti kepala sapi atau kerbau, begitu?" tanyaku, sambil menunggu Pak John mengangguk, tersenyum lebar, lalu menepuk pundakku. Namun ia tidak melakukan itu. Ia malah memejamkan mata dan menggeleng.

"Orang, Rip!"

Aku mengembuskan napas keras, berusaha untuk tertawa, aku masih mengira bahwa Pak John sedang bercanda. Senyum di bibir Pak John tak juga terkembang, sorot matanya malah semakin tajam.

"Gua nggak tahu bagaimana cara menjelaskan hal semacam ini dengan halus." Pak John bersandar di dinding gang, saat itu kami baru pulang dari apotek 24 jam, Pak John membelikan obat untuk anakku. Dia bilang itu adalah terakhir kalinya dia mau membantuku dengan cuma-cuma, selebihnya aku harus mencari uang sendiri. Kami masuk ke sebuah gang yang sempit dan gelap, lalu ia menyalakan rokok yang menjadi satu-satunya sumber cahaya selain kilatan lampu mobil dari jalan raya. Tak akan ada orang yang lewat, ia meyakinkanku, semua rumah warga sudah sepi, termasuk mushola yang hanya berjarak lima meter dari sini.

"Maksud Bapak bagaimana?" tanyaku. Sebenarnya di kepalaku sudah muncul berbagai dugaan, tapi aku menepisnya satu demi satu. Aku tidak ingin memercayai dugaan buruk terlalu awal.

Setelah Gelap DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang