Sebuah Wawancara

344 61 6
                                    

"Pak Arga, silakan masuk."

Seorang wanita berambut pendek melongok dari dalam ruangan. Arga bangkit dari kursinya sambil tersenyum. Tubuhnya masih sedikit menggigil, bajunya basah terkena hujan, dan AC ruangan ini seperti tak kenal kompromi. Kalau saja ia memutuskan untuk berteduh setelah turun dari bus tadi, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Namun apa boleh buat, ia tidak mau terlambat menghadiri jadwal penting ini.

Setelah memanggil Arga, wanita itu segera masuk kembali ke dalam. Arga mengikuti wanita itu sambil menjinjing tas ranselnya yang tampak ringan dan lusuh. Ia mendorong pintu yang sudah setengah terbuka itu. Pada bagian depan pintu ada papan kecil bertuliskan huruf-huruf timbul "HRD". Gigi-gigi Arga mengatup keras ketika melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tak mengira bahwa ruangan itu ternyata dua kali lebih dingin daripada ruangan lobi, mudah-mudahan ia tak kena flu karena ini.

"Perkenalkan, saya Riana. Silakan duduk, Pak," ujar wanita itu sambil menjabat tangannya.

Arga segera duduk di kursi berwarna hitam yang berseberangan dengan Riana, lalu menatap wajah wanita itu dengan sangat hati-hati.

"Bapak pasti sudah mendapat telepon dari rekan saya, kan?" tanya Riana sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam map.

"Iya, sudah, Mbak."

Dua hari yang lalu ia memang ditelepon oleh staf HRD yang mengabarkan bahwa ia telah diterima di PT Gunatama Informatika. Perusahaan itu memang bukan perusahaan besar, tapi ia tidak punya pilihan lain karena hampir semua surat lamaran yang ia sebar lewat pos dan internet tak ada yang dibalas. Kalau pun ada satu atau dua yang memanggilnya, Arga selalu gagal dalam tes tertulis. Mendengar pemberitahuan itu, tentu saja Arga dan istrinya sangat senang. Bagaimana lagi ia harus membiayai hidup dan membesarkan anaknya kalau terus menjadi pengangguran?

"Silakan Bapak baca dulu. Kalau Bapak memang sudah setuju dengan poin-poin tersebut dan jumlah gaji yang kami tawarkan, Bapak boleh langsung tanda tangan di sini."

Arga mengambil beberapa lembar kertas yang disodorkan Riana. Isinya adalah perjanjian kontrak kerja selama setahun serta besar gaji dan tunjangan yang akan ia dapatkan. Ia memang sudah sempat bernegosiasi lewat telepon maupun saat pertama kali wawancara setelah tes. Gaji yang ditawarkan lumayan besar untuk ukuran lulusan SMA dengan kemampuan pas-pasan sepertinya. Ia tidak ingin banyak protes, bisa mendapat kerja saja baginya sudah luar biasa.

"Bagaimana?" tanya Riana.

"Iya, saya setuju," jawab Arga. Ia segera mengambil pulpen di atas meja dan menandatangani surat dua rangkap itu.

Perasaannya lega ketika ia mengangkat ujung pulpen dari permukaan kertas, sekarang hidupnya sudah mulai membaik, minimal mertuanya bisa berhenti memaki-makinya sebagai pengangguran. Saat kertas itu berpindah ke jari lentik Riana, telepon di atas meja berdering nyaring.

"Iya, Pak? Iya, orangnya masih di sini. Sudah tanda tangan. Ke ruangan? Sekarang? Baik, Pak, baik."

Riana menutup telepon, lalu memasukkan kembali surat perjanjian itu ke dalam map. Sementara itu, Arga masih terbuai dengan perasaannya sendiri. Ia ingin sujud sukur, tapi ia malu. Mungkin nanti saja kalau sudah pulang ke rumah, pikirnya.

"Terima kasih, Pak Arga. Bapak akan mulai bekerja pada hari Senin besok, sekalian juga akan saya berikan kartu pengenal dan beberapa peralatan lainnya nanti," Riana berdiri sambil menyodorkan tangan ke arah Arga, "Selamat bergabung."

"Terima kasih, Mbak," jawab Arga sambil menjabat tangan Riana.

"Oh ya, sebelum Bapak pulang, Bapak ikut saya dulu, ya? Tadi Pak Direktur nelpon, katanya ingin bertemu."

Setelah Gelap DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang