Prolog

732 38 94
                                    

"Kamu bisa menikmati uangku bahkan tanpa harus melayaniku di atas ranjang!" Bentak lelaki itu membuatnya nelangsa.

"Bersyukurlah karena aku masih menghidupimu secara layak. Pakai ini sesukamu!" Lelaki itu mendaratkan tangan dengan sedikit keras ke atas meja marmer. Menurunkan sebuah kartu dan secarik kertas berisikan enam digit angka yang tertulis di sana. "Tapi jangan pernah mempermalukanku dengan menjajakkan ijazah yang kamu agung-agungkan itu! Kecuali ... jika kita mempunyai status baru sebagai mantan."

Nayatul Husna sempurna menegang di tempat. Menatap kepergian lelaki itu dengan sedikit buram. Embun di matanya belum juga ingin pecah. Sekuat tenaga masih ingin dia tahan dengan sisa-sisa kesabaran.

Cerah mentari di atas langit berbanding terbalik dengan isi hatinya yang dibuat kuyu sepagi ini. Bukan badai, petir atau gemuruh laut. Hanya riak kepedihan yang dinikmatinya begitu rakus. Disesapi sendiri sebagai pengganti sarapan. Sebab hilanglah sudah seleranya pada roti, susu dan selai.

Naya tak bisa menengok. Entah sudah seberapa lebam bentuk hatinya kini.

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang