2] Kerinduan Ingin Pulang

534 46 10
                                    

"Aku tidak pernah tahu bahwa menikah akan terasa mirip seperti kehidupan di balik jeruji besi. Terkekang. Sendiri. Menunggu entah hari itu akan dapat kunjungan atau tidak. Sama halnya aku menunggu bunga cinta akan tumbuh atau bahkan tak akan pernah tumbuh di ladang hatinya." –Nayyatul Husna

====================

"Nyonya muda, ini Bibi bawain teh anget." Wati tiba-tiba datang, mengusik ketenangan Naya yang sejak pagi tadi duduk santai di balkon samping kamarnya. "Dari pagi teh, Bibi liat nyonya muda melamun terus. Makanya Bibik bikinin teh kesukaan nyonya. Sok atuh diminum dulu."

Naya tersenyum maklum dengan sikap Bi Wati yang terlihat cemas. Dan lagi, sebenarnya Naya tidak suka dengan panggilan 'Nyonya Muda'. Pernah beberapa kali ia menolak dipanggil begitu. Tapi Bi Wati tak pernah mengacuhkannya. Tetap saja memanggil Naya dengan sebutan seperti itu.

Bi Wati adalah satu-satunya asisten rumah tangga di sini. Ia orang kepercayaan keluarga Broto –papanya Damar—yang memang bekerja di sana sebelum Damar menikah. Lalu dikirim ke sini untuk membantu Naya mengurusi segala pekerjaan rumah. Bersama Pak Amin, supir kepercayaan Papa juga, yang sakarang ikut bekerja sebagai supir pribadi Damar.

"Makasih ya, Bi," ucap Naya tulus sembari menarik cangkir teh yang ditaruh di atas meja. Menyembunyikan keresahan hatinya melalui senyuman.

Bi Wati hanya balas mengangguk lalu pamit, membawa kembali nampannya ke dalam. Menahan diri untuk tak bertanya, meski sudah dibuat penasaran dengan sikap nyonya-nya hari ini. Bersamaan dengan itu, senyuman yang Naya pasang lepas kembali; hilang. Pikirannya berkecamuk. Ponsel yang sedari tadi ditaruh dekat-dekat –di atas meja, bagian sisi yang lain—pun masih tak berdering juga. Ia menunggu lagi. Melempar fokusnya dari cangkir teh ke atas langit. Menatap riak awan yang berceceran di atas sana. Langit biru, yang tiba-tiba memunculkan sosok paling dirindukan. Dan mulailah, beberapa kilatan kejadian nampak kasat mata, terpampang. Memutar layaknya sebuah film yang sedang dimainkan.

***

Peristiwa penting sepanjang sejarah. Akhirnya bisa Naya wujudkan tepat waktu: empat tahun masa kuliahnya. Perasaan suka cita terpancar dari wajah-wajah dalam bingkai foto berlatar hitam. Di satu studio foto yang Naya datangi setelah acara wisudanya selesai. Seminggu lalu, bersama Ibu, Bapak, dan kudua adiknya: Uki dan Ratih.

Rencana masa depan sudah Naya tulis di halaman akhir buku catatannya sejak dua tahun lalu. Lulus kuliah, bekerja, dan menikah. Betapa senang akhirnya ia bisa mulai berpetualang dengan rencana-rencananya itu.

Naya membuka kembali halaman terakhir buku catatannya. Lalu beralih fokus pada layar laptop yang sedang menampilkan laman internet berisi informasi lowongan pekerjaan.

Suara ketukan pintu mengambil alih perhatian Naya. Belum sempat menyahut, pintunya sudah terbuka dan menampilkan Uki di sana.

"Mbak Nay, ditunggu Bapak di ruang tengah," kata Uki menyampaikan pesan.

"Sekarang?"

"Iya."

Naya segera keluar, menyusul Uki yang sudah hilang dari balik pintu kamar. Di ruang tengah, Bapak sudah duduk di kursi kebesaran. Ibu, Uki, dan juga Ratih ikut bergabung di kursi lain yang lebih panjang.

"Duduk, Nduk," pinta Ibu sambil menepuk-nepuk kursi sebelah kiri yang sepertinya memang sengaja dikosongkan. Naya mengangguk dan duduk di samping Ibu.

"Ada apa, Pak, Bu? Kok sepertinya serius?"

Bapak dan Ibu malah saling melempar pandang. Membuat Naya jadi semakin bertanya-tanya.

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang