4] Kesempatan yang Tiba-tiba

316 36 14
                                    

Alhamdulillah. Setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya bisa post lagi. Berkat kalian yang masih sudi membaca. Berkat kalian yang masih sudi menunggu. Part ini aku dedikasikan untuk kalian. Terima kasih banyak. :)

Ah, sekadar saran sih, karena fakum lumayan lama, buat me-refresh cerita (barangkali udah lupa terakhir sampai apa, adegan mana), temen-temen boleh baca part terakhir. Tapi ya, nggak juga gapapa sih. hehe. Udah ada yang mau baca ini juga udah Alhamdulillah banget. :)

Terakhir, silakan dinikmati. Yang mau kasih krisan boleh, lho. Yang mau kasih vote dan comment-nya juga silakan. Yang nggak suka, tolong jangan mbully, ya. Hehe.

Salam, :)

Berdoa sampai lelah, sampai punah semua rasa ingin berganti ikhlas. Tentu karena Allah selalu tahu yang terbaik, jua waktu-waktu yang tepat untuk memberi segala.

======================================

Sinar lampu neon yang menggantung di tengah atap kamar perlahan pias. Terkalahkan sinar-sinar pagi yang ribut masuk melalui celah jendela yang setengah gordinnya sudah dibuka sejak subuh tadi.

Sepasang mata cantik itu mengerjap-ngerjap; silau. Jelas, Naya terganggu dengan sinar mentari yang menembus masuk itu. Ia tertidur dengan posisi duduk—masih dengan balutan mukena—di atas sajadah dengan kepalanya menyandar pada sisi ranjang. Namun perlahan kesadarannya pulih. Ia bangkit dari posisi tidur yang membuat lehernya sedikit sakit.

Matanya berembun. Entah seberapa banyak tangisnya yang tumpah dalam semalam. Yang Naya ingat hanya matanya terus menangis selama ia terjaga. Dipotong saat kesadarannya hilang setelah shalat subuh tadi. Makanya Naya buru-buru mencari pegangan saat berdiri. Nyaris ambruk karena matanya jadi agak sedikit berkunang-kunang.

Naya melongok ke arah jam yang sudah menunjuk nyaris ke angka sembilan. Ya Allah. Mas Damar.

Dengan tergesa-gesa, Naya merapikan dandanan. Meski kepalanya masih sedikit pening, tapi sesegera mungkin Naya mencari suaminya—yang mungkin sudah berangkat kerja sejak pagi sekali.

"Eh, Nyomud sudah bangun,"—Bi Wati muncul dari balik dapur dengan membawa sapu—"Selamat pagi, Nya."

Sapaan Bi Wati menyambut ketika Naya hendak masuk ke dapur. Naya hanya mengangguk dengan sedikit tersenyum. Ia kecewa sebab Damar sepertinya sudah berangkat ke kantor. Ia tak menemukan Damar di mana-mana. Tidak di kamarnya, tidak di ruangan tamu, juga tidak di ruang makan yang tak jauh dari dapur. Bi Wati bilang, tuannya itu sudah berangkat sejak pagi tadi. Juga tak lupa dengan sarapan nasi goreng kesukaannya—Bi Wati buru-buru menambahkan ketika melihat air muka Naya berubah cemas. "Bibi yang masakinnya sendiri, Nya," lanjutnya lagi.

Barulah Naya bisa sedikit lega. Pundaknya yang tegang kini meluruh di sandaran kursi makan.

"Pantas saja, Nyonya pucat begitu," gumam bi Wati. "Bibi bikinin teh manis anget ya, biar segeran."

Naya sedikit kaget. Belum sempat mengiyakan, Bi Wati sudah lenyap ke dapur dan kembali dengan segelas teh—yang mungkin manis—di nampannya. Naya berterima kasih setelah gelas teh itu mendarat di atas meja.

"Tadi teh Tuan nyuruh bibi panggil dokter kalau nyonya nggak bangun juga sampai jam sebelas nanti," Wati mulai bercerita. Naya mengerutkan dahi saking bingungnya. Entah karena kepalanya sedang pusing atau karena ia baru bangun tidur sampai kalimat Bi Wati masih sulit untuk dicerna maksudnya. "Tuan tadi bilang katanya nyonya lagi sakit. Bibi gak berani bangunin dulu, katanya mungkin nyonya butuh tidur lebih lama."

Lantai atas rumah ini memang khusus milik Damar dan Naya. Bi Wati sendiri hanya ke atas untuk membersihkan ruangan. Lebih dari itu, tak ada yang berlama-lama ada di sana—termasuk supir pribadi Damar—jika tanpa ada kepentingan atau perintah sang tuan.

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang