Kita terlalu asing untuk saling mengenali. Dia dalam pandanganku mungkin sama asing dengan diriku dalam pandangannya. Mengapa semuanya menjadi sedikit lebih runyam?
✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏✏
“Lho, Nduk. Kamu di sini, toh.”
Ibu terkejut saat masuk ke kamarnya dan menemukan Naya tengah memeluk lututnya sendiri dengan bersandar pada kepala ranjang. “Suamimu kebingungan sejak sore tadi. Nyariin kamu, Nduk. Tahunya malah di sini.”
“Maaf, Ibu ....” Naya mengubah posisinya menjadi duduk tegap di sisi ranjang. Ia tak bisa menyembunyikan sembab mata dan merah hidungnya.
Sepulang dari makam, Naya menyibukkan diri. Melakukan apa saja yang bisa ia lakukan asal bisa terhindar dari Damar.
Beruntungnya, sejak siang tadi, teman-teman dan sanak keluarga dari Bapak banyak berdatangan untuk melawat. Sebagian bahkan datang dari luar kota Jogja. Untuk itu, Naya dengan senang hati menghadapi para tamu yang menyesaki bagian ruang tamu, juga ruang keluarga rumah mereka.Ba’da maghrib, setelah para tamu sudah undur diri dari rumahnya, Naya memilih mengurung diri di kamar Ibu. Mengenang kenestapaan hidupnya setelah kepergian Yunus, lelaki hebat pertama yang Naya cintai di dunia ini. Sosok lelaki yang juga menyayanginya begitu tulus.
Ibu baru saja ikut duduk di samping Naya lalu suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar.
“Eh? Nak Damar?” Ibu terlihat terkejut saat mendapati kehadiran menantu satu-satunya itu di balik pintu.
“Maaf, Bu. Damar mau minta alamatnya bulek Sri,” kata Damar dengan sopan. “Tadi Damar telepon Ummah. Katanya Naya biasa pergi ke sana. Barangkali benar. Damar mau menyusul.”
Ibu melirik ke dalam. Menemukan Naya yang menegang di tempatnya. Jelas. Naya mendengar semua. Damar sedang berusaha mencarinya. Sedang yang dicari ada di sana. Bersembunyi di bawah atap yang sama. Jelas saja Damar tak cukup mengenal istrinya hingga tak bisa menebak betapa yang dicari sebetulnya lebih dekat dengan dirinya saat ini.
Senyum lembut ibu terbit. Diberikannya kepada Damar, lalu mengalihkan lagi tatapannya kepada Naya. Tatapan berisi perintah seolah Naya harus menemui suaminya saat itu juga.
“Nak Damar, Naya ada di sini ternyata,” kata ibu ketika Naya sudah bejalan mendekat ke arah pintu yang tiba-tiba dibukanya lebih lebar.
Naya mengangguk sebentar sebelum keluar dan hilang di balik pintu kamar ibunya.
“Mas, ma—maaf. Malam ini ... aku ... mau tidur di sini.” Susah payah ia lontarkan satu kalimatnya itu ketika sudah berhadapan langsung dengan Damar. Gadis itu bahkan hanya bisa menunduk dalam-dalam. “Aku ... mau nemenin ibu,” lanjutnya lagi dengan alasan tak logis. Jelas-jelas Nayalah yang kini butuh ditemani. Bukan ibu yang bahkan terlihat lebih tegar daripada Naya.
Dan yang terdengar selanjutnya hanya embusan napas Damar terdengar kasar.
“Terserah kamu sajalah,” tandas Damar akhirnya sebelum berbalik meninggalkan Naya yang masih mematung di tempat. Satu kalimat sarat dengan emosi dan kecewa.
Bahkan ketika punggung Damar sudah menghilang dari pandangan, Naya masih betah menunduk dengan memilin ujung jilbab yang dikenakannya. Bukan lagi perasaan kecewa, tapi sedih, marah, juga tercekat di kerongkongannya. Andai saja di rumahnya kini tak ada orang, tentu Naya sudah menjerit kencang lalu menangis sejadi-jadinya.
Nahas. Semuanya hanya bisa ditelannya kembali. Menumpuk semakin menggunung. Membuat sesak seisi dadanya semakin menjadi-jadi.
Berawal dari kecewa lantas sedih karena kepergian Bapak. Kini Naya memupuk amarah di hati kepada suaminya sendiri. Jelas untuk saat ini, Naya tak sanggup bertemu Damar. Apalagi tidur satu ruangan yang mana bukan sama sekali kebiasaan mereka meskipun dilabeli status sebagai suami-istri. Bahkan melihat Damar saja, Naya tak sanggup. Entah akan sederas apa air matanya nanti. Sebab marah—bahkan sampai membentak—sama sekali bukan caranya untuk meluapkan emosi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semu
General FictionDi antara begitu banyak ketidakpastian, pernikahan menjadi salah satunya. Ambil yang baik-baik dan buang yang buruk-buruknya, ya. Selamat menikmati kisah yang kuhidangkan. Jangan lupa keluhkan apa-apa yang dirasa kurang saat mencoba mencicipi sat...