Mana yang lebih baik dulu hadir. Cinta atau cemburu? Jika cemburu adalah tanda cinta, apakah cinta adalah bagian yang selalu mendatangkan rasa cemburu? Atau keduanya adalah persamaan dari dua kata yang berbebeda?
(っ'-')╮=͟͟͞͞💌(◞‸◟ㆀ)
💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛💛
“Tidur di sini, kamu?”
Sungguh, tak ada yang lebih dingin dari sebaris kalimat yang dilontarkan Damar di kamar yang lebarnya tidak lebih dari lima meter persegi itu. Sebuah kalimat tanya basa-basi yang diyakini Naya tak membutuhkan jawaban kecuali anggukan tipis dan samar.
Ah. Sepertinya akan percuma juga. Toh tak ada yang lebih menarik di mata suaminya kecuali apa-apa yang ada di layar benda pipih yang lebarnya taklebih dari enam inci itu.
Mati semati matinya sudah. Setelah kejadian siang tadi, jelas hubungan Naya-Damar jadi semakin merenggang. Jarak keduanya semakin membentang luas.
Sebelumnya Damar memang tengah marah sebab penolakan-penolakan yang Naya berikan. Ditambah kejadian tadi siang, rasa-rasanya Damar semakin murka.
Entah karena rasa bersalah atau sikap patuh seoang istri pada suaminya yang sedang Naya junjung tinggi. Naya setuju untuk pulang ke Jakarta lebih cepat dari yang direncanakan. Hari ketujuh setelah kamatian Bapak. Naya setuju untuk pulang setelah tahlil biasanya dilakukan.
Untuk itu, di sanalah ia kini. Membereskan barang-barang untuk masuk ke dalam kopernya semua.
Di kamarnya itu, keheningan semakin merajai. Damar sibuk memainkan gawainya dengan santai sambil bersandar pada kepala ranjang. Sedang di sisi ranjang yang lain, Naya tengah membereskan baju-bajunya dan baju-baju suaminya yang akan dibawa pulang besok.
“Mas,” Naya akhirnya mengalah untuk membuka suara terlebih dulu.
“Aku minta maaf soal tadi siang.”
Entah seharusnya kata maaf itu wajib diserukan Naya atau tidak. Jelasnya, atas dasar sifat keperempuannya, Naya merasa Damar murka karena itu.
Ia masih ingat saat-saat ia terjepit di waktu ketika Ummah tiba-tiba keluar rumah. Raut wajahnya penuh keheranan melihat Fatir memunggu karpet di atas bahunya sedang Damar duduk—tidak terlihat santai—di tempatnya. Naya merasa telah melukai harga diri suaminya apalagi diperjelas dengan kediamanan Damar yang setelah kalimat maaf itu terucapkan, ia masih enggan untuk bersuara.
“Mas—“
“Sorry, aku harus angkat telepon,” sergah Damar cepat sambil mengacungkan gawainya yang tak lama kemudian ia tempelkan di telingan kirinya sambil menyebutkan kata halo. Setelahnya Damar benar-benar keluar dari kamarnya.
Naya yang nelangsa hanya dibuatnya melongo. Kesal. Marah. Sedih. Merasa bersalah. Bercampur. Berputar-putar perasaannya kini.
Dasar ambekan! Gerutunya, kemudian segera dipukulinya pelan mulutnya sendiri. Astaghfirullah, Nay!
***
Jakarta sebelum pagi. Naya kaget sekaget-kagetnya saat wajah pulas Damar menjadi satu-satunya pemandangan yang ia lihat ketika membuka mata untuk pertama kali.
Berniat menjauh mundur, Naya malah nyaris terjungkal dari ranjangnya, membuat Damar sedikit terusik. Menggeliat kecil lalu terlihat pulas lagi.
Perhatian Naya segera teralihkan kepada benda pipih berwarna hitam di atas nakas yang telah membuatnya terbangun di tengah malam menjelang pagi ini. Bunyi yang dihasilkan dari getar ponsel beradu dengan kayu jati yang diukir cantik.
Oh benar. Di kamarnya yang di Jogja, dan kamarnya di rumahnya sendiri. Ralat. Rumah Damar yang sudah menjadi rumahnya juga setelah menikah dengan Damar, tak ada barang-barang antik semewah ini. Di mana lagi kalau bukan di....Sebentar. Naya tiba-tiba ingat di mana ia berada sekarang. Setibanya di bandara Soekarno Hatta, nyaris tengah malam tadi, Pak Amir membawa mereka ke rumah orang tua Damar sesuai dengan permintaan keduanya mertuanya.
Barangkali lelah telah merajai keduanya semalam hingga lupa bagaimana cerita keduanya bisa tiba-tiba tidur. Satu ranjang.
Baiklah. Ini memang bukan kali pertama bagi mereka tidur bersama. Tidur bersama dalam arti yang sebenarnya. Secara mereka adalah sepasang suami istri juga.
Maksudnya, Naya-Damar tak pernah sampai sekelepasan ini. Sedekat apa pun cara tidur kedunya, pasti tak pernah lebih dekat daripada menyimpan satu guling di tengah keduanya. Jika tidak saling memunggungi, biasanya mereka akan mengambil bagian ranjang yang sama-sama paling ujung. Oh, yang benar saja. Ranjang di kamar Damar ini adalah tipe king size yang lebar luar biasa. Tetapi Naya benar-benar mendapati dirinya amat dekat. Di tengah ranjang, dan.... sisa banyak di bagian sisi keduanya.
Naya menggerutu di hati pada dirinya sendiri. Bagaimana akan canggungnya dia bila sampai Damar membuka matanya saat itu juga.
Jadilah di sini mereka sekarang. Kamar Damar yang segalanya terlihat mewah.
Hmmm, sebentar lagi. Naya jadi lupa dengan bunyi ribut dari gawai suaminya tadi. Jika saja benda itu berhenti menimbulkan suara gaduh, sudah barang pasti Naya akan abai saja. Tetapi kelihatannya yang menelepon sepagian yang masih gelap ini memiliki urusan mendesak dengan suaminya sehingga mau-tidak-mau, Naya berusaha membangunkan Damar yang terlihat sangat kelelahan.Sekali-dua kali tepuk dan panggilan 'Mas' terdengar lembut berkali-kali Naya upayakan. Yang dibangunkan malah bergumam tak jelas. Membuat Naya, terpaksa—dengan lancangnya—mengambil alih ponsel Damar yang jelas-jelas bukan sama sekali jadi kebiasaannya.
5 missed call from Luvi.
Luvi siapa?
Luvi yang mana?
Sedang menimang-nimang nama Luvi ini nama milik seorang lelaki atau perempuan, satu pesan mampir di layar notifikasinya.
1 message from Luvi
Kamu tidur? Balik Jakarta belom, sih? Aku kangen, tahu.
Dengan atau tanpa cinta, suatu rumah tangga jelas sudah dibangun Naya dan Damar. Seberapa keras pun ia ingin abai, menafikkan tiga kata terakhir yang tak sengaja ia baca sekaligus membuat hati serta matanya perih dalam waktu bersamaan, ia tak bisa begitu saja lupa.
Dipandangi pulas wajah lelaki yang telah menjadi imamnya itu dalam jarak sedekat ini, membuat banyak pertanyaan tumbuh subur dalam pikiran Naya yang semakin tak bisa benar-benar kembali jernih lagi.
Apa yang kamu lakukan di belakangku dan status pernikahan kita ini, Mas?
Lalu merebaklah air mata dari sepasang matanya, yang dari sana, kesedihan seolah tak pernah habis.
.
.
.
Cjr, 05 Okt '18.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semu
General FictionDi antara begitu banyak ketidakpastian, pernikahan menjadi salah satunya. Ambil yang baik-baik dan buang yang buruk-buruknya, ya. Selamat menikmati kisah yang kuhidangkan. Jangan lupa keluhkan apa-apa yang dirasa kurang saat mencoba mencicipi sat...