Prolog

45.8K 2.6K 19
                                    

Kadang rasa keingintahuan yang besar bisa menyebabkan bencana.
Aku bersembunyi di balik pilar agar tubuh mungilku tidak terlihat. Kantin kampusku masih sepi, karena ini masih terlalu pagi. Aku mendengarkan semuanya sejak awal.
Mereka berempat sedang asyik membahas diriku. Mungkin sudah lebih dari lima menit aku menguping pembicaraan mereka. Semakin aku dengarkan rasanya semakin menyayat batinku. Mereka keterlaluan, dan Romeo sungguh bajingan. Mereka itu sekumpulan pecundang dengan wajah malaikat.

Aku bersumpah kalau mereka tidak akan pernah mendapatkan dengan mudah wanita-wanita yang mereka sayangi. Aku berdoa semoga kesengsaraan menyelimuti hidup mereka. Aku cukup tahu, aku cukup sadar, kali ini aku salah. Romeo bukanlah lelaki yang layak untuk dicintai sepenuh hati.

“Kau sialan, Thom. Apa kataku, aku selalu terlahir menjadi pemenang. Taruhan ini membuatku melupakan cinta pertamaku.” Romeo menepuk pundak Thomas yang duduk di sebelahnya, tawanya begitu kontras dengan keadaan hatiku yang sakit luar biasa.

“Malangnya Kalla, gadis baik-baik yang harus segera kau campakkan. Kapan kau akan memutuskannya? Besok?” Vincent sok dramatis padahal sedari tadi ia yang paling keras tertawa. Aku bersumpah kau akan sulit mendapatkan pendamping hidup.

“Sudah-sudah, aku sedang berpikir. Sebenarnya aku tidak tega melihat dia menangis. Kalla sepertinya sangat mencintaiku.” Romeo berkata dengan penuh pertimbangan, meskipun aku sangat yakin kalua itu semua hanya pura-pura.

“Kenapa tidak kau pertahankan saja? Tidak ada ruginya juga. Dia cantik dan pintar. Kalla juga baik.” Gabriel mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja seperti berpikir. Dia memang selalu tampak tenang daripada ketiga temannya yang sedari tadi membahas perihal taruhannya.

“Tapi aku akan kalah dari kalian kalau aku tidak memutuskannya besok.” Romeo menyunggingkan senyum iblisnya kemudian meminum espresso yang terlihat masih mengepulkan uapnya ke udara.

Aku menekan dada dengan sebelah tanganku, rasanya ini sangat menyakitkan. Jadi selama ini aku hanya dijadikan barang taruhan oleh Romeo, Vincent, Gabriel, dan Thomas. Aku kenal mereka, sekelompok lelaki tak berotak yang kuliah di tempat yang sama denganku. Kupikir Romeo sungguh-sungguh dengan cintanya, ternyata dia tidak lebih dari sampah tak berguna. Selama tiga bulan lebih aku tertipu oleh cinta palsu Romeo. Besok adalah hari ke seratus, dan besok Romeo akan mencampakkanku. Apakah ini adil bagiku? Tidakkah dia tahu kalau diriku begitu mencintainya? Air mataku menetes.

Tragis sekali nasibku. Setelah bisa mendapatkanku pada akhirnya aku hanya dicampakkan seperti kotoran yang tidak ada harganya. Apa mereka tidak berpikir kalau aku sama seperti mereka yang masih punya perasaan.
Pantaskah aku berbangga diri, karena ternyata hargaku cukup mahal? Mereka mempertaruhkan mobil, villa, dan entah apalagi yang aku sendiri tidak ingat padahal jelas-jelas aku mendengarnya. Rasa benciku sudah menumpuk dan menjadi satu dengan penyesalan. Ada dendam yang diam-diam muncul dari dalam hatiku atas ketidakadilan ini.

Di sini aku yang bodoh karena  begitu mempercayai Romeo. Aku memantapkan hatiku, kalau lelaki tidak hanya Romeo seorang. Walaupun aku mencintai manusia tidak tahu adat itu dengan sepenuh hatiku, aku yakin aka nada pria yang akan mencintaiku dengan tulus. Hatiku sudah tidak dapat aku prediksi lagi seperti apa bentuknya setelah kebohongan yang Romeo ciptakan. Aku hancur meskipun aku memiliki ego kalau aku bisa mengatasi masalah ini.

Aku mengatur napas, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan berharap semua yang kudengar itu salah, tapi kenyataan berkata kalau kupingku masih sangat normal untuk membedakan mana yang benar dan yang salah. Kadang cinta tidak harus terbalaskan, aku menyebutnya cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Kenyataan ini membuat hatiku pedih. Ada gadis lain yang sangat dicintai oleh Romeo, dan itu bukan diriku. Aku lupa bagaimana mereka membahasnya, intinya aku tidak cukup untuk membuat hati Romeo menjadi satu-satunya milikku.
Aku mengatur napasku yang naik-turun sejak beberapa menit yang lalu. Tawa mereka sudah tidak aku dengarkan lagi. Aku mengusap air mataku yang lancang sudah jatuh tanpa seizinku. Aku mengambil gelas kosong yang bisa aku jangkau lalu mengisinya dengan air keran yang kebetulan tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku melihat bayangan wajahku yang mengerikan. Aku tidak cukup cantik bagi Romeo, perlahan rasa ini membuatku merasa rendah diri. Aku berpikir berkali-kali tentang kejadian pagi ini, aku seperti terdampar di tempat asing yang menyakiti jiwaku dan aku sendirian.

Aku melangkah mantap ke hadapan mereka, jangan kira mereka menang atas sakit hatiku yang kualami sekarang, karena kebiadaban mereka diriku terluka begitu dalam.

“Benarkah kau akan memutuskanku, ROMEO EVANS?” Aku mengangkat dagu penuh keangkuhan. Tawa mereka berempat seolah lenyap ditelan bumi. Aku memberikan senyum termanisku kepada lelaki yang sangat aku kasihi, sekaligus aku benci di dunia ini.

“Ka … Kalla?” Romeo gugup sendiri. Apa sekarang dia takut kalau aku barusan mendengar ocehan busuknya bersama gerombolannya? Apa dia belum siap menghadapi kemarahanku yang sudah hampir memecahkan kepalaku?
“Apakah taruhan kalian tidak berlaku lagi kalau detik ini aku MEMUTUSKAN teman kalian ini?” Aku tertawa sumbang menatap Romeo penuh intimidasi, “apa kau akan kalah Romeo?”

Aku melemparkan isi gelas ke muka Romeo yang duduk di depanku. Cipratannya tidak hanya mengenai wajah Romeo saja. Apa peduliku? Mereka saja tidak peduli dengan perasaanku.

“KITA PUTUS. Aku malas menunggu kau putuskan besok. Oh ya, aku sudah tidak sabar menjadi mantanmu.” Aku menjatuhkan gelas kosong ke meja mereka. Meskipun gelas itu tidak pecah, aku tahu kalau suaranya membuat mereka tidak berkedip. Aku tidak ambil pusing dengan makanan yang berantakan karena gelas itu. Hatiku lebih berantakan daripada keadaan meja mereka sekarang. Lagi-lagi aku berpikir, apa ini cukup adil untukku?

Aku tidak tahu mendapat keberanian dari mana. Apa peduliku? Aku hanya melakukan apa yang kuinginkan.
Aku melangkah seanggun mungkin ketika meninggalkan mereka yang masih terperangah dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Romeo sudah menjadi masa lalu untukku. Aku tidak tahu masa depanku akan seperti apa, intinya aku bahagia, karena Tuhan lebih cepat membuka telingaku. Paling tidak Romeo sudah gagal dengan rencananya.

Aku baru menyadari kalau aku sudah menjalin hubungan yang indah bersama Romeo selama 99 hari. Angka ganjil itu memberikan efek mistis dalam jiwaku. Aku patah hati lagi, ternyata laki-laki hanya bisa menyakiti tanpa mau mengerti.

Normal kalau diriku lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara. Aku tidak menghapusnya, karena luka ini akan terus menganga untuk waktu yang tidak bisa aku tentukan. Aku tidak ingin sakit hati lagi. Cukup kali ini saja aku tersakiti.

Tuhan, tolong aku…

Bersambung.....

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang