Romeo POV
Lega.
Rasanya lega hingga aku ingin menangis terus-menerus karena rasa bahagia. Lelaki seperti diriku tidak akan sudi menangis kalau bukan karena kesalahan fatal. Aku manusia, aku memiliki perasaan sama seperti yang lainnya. Aku takut kalau Kalla tidak mau memaafkanku, aku takut Kalla tidak sudi membuka sedikit hatinya untukku. Pelukan Kalla yang tiba-tiba membuatku mengerti kalau aku masih diberi kesempatan untuk memperbaiki segalanya.
Aku tidak tahu kalau aku serindu ini kepada wanita yang sudah lama sekali tidak kupeluk. Aku tidak sadar kalau sudah banyak hari yang terlewat. Andai aku tidak terlalu naif dan bodoh, aku tidak akan menyesal seperti ini. Kalau aku tidak mementingkan egoku sendiri, aku tidak akan membuat anakku dan wanita yang kucintai hidup menahan air mata. Dari dulu aku memang sudah mencintai Kalla. Sebelum menjadikan Kalla sebagai taruhan, aku sudah mencintainya. Aku mencintai perempuan yang menggenggam erat tanganku sembari mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Aku sudah mencintai gadis yang mengecup bibirku ketika aku ketakutan di tengah gudang yang mengerikan.
"Apa kau memaafkanku dan memberiku kesempatan sekali lagi?" Aku berbisik takut-takut. Aku khawatir kalau apa yang kupikirkan tidak benar.
Kalla Rei mengangguk dengan muka merah dan mata bengkaknya. Masih ada isakan di sana, dia banyak menangis karena kesalahanku. Aku memberanikan diri merangkum pipinya. Aku memujanya, aku bersumpah tidak akan membuat Kalla menderita. Sudah cukup ia mengalami hari-hari yang sulit.
"Jangan menangis. Aku tidak suka air matamu." Aku berbisik, suaraku tercekat dan tidak bisa berbicara lebih lantang seperti biasa.
"Mulai sekarang, kau tanggung jawabku, Stella juga."
Kalla terisak dengan air mata yang tidak mau berhenti dari tadi. Mulai sekarang aku tidak akan berbuat bodoh lagi. Aku akan bersungguh-sungguh lagi.
"Kenapa baru muncul sekarang?"
"A ...... aku, aku ...... " Kepalaku menghantam lantai, Kalla baru saja meninju pipiku dan ia menampar wajahku. Ia memukuli dadaku lumayan keras. Aku membiarkan Kalla melampiaskan kemarahannya kepadaku, sudah sepantasnya Kalla Rei marah besar kepadaku.
"KAU BRENGSEK, ROM!" Kalla memukul kepalaku, menarik rambutku hingga rasanya ada beberapa rambut yang ikut tercabut dari kulitku. "KENAPA KAU DIAM SAJA? DIMANA MULUTMU?" Kalla mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam tubuhku. Ia menangis meraung, mengumandangkan sumpah serapah terlampau keras, dan pada akhirnya ia memelukku dan menangis di dadaku. Begini lebih baik dengan kemarahannya yang baru saja ia tunjukkan kepadaku.
"Maafkan aku, Kalla." Aku mengelus rambutnya.
Kerasnya lantai kayu tidak membuatku ingin cepat-cepat bangkit. Permadani kasar yang kutiduri adalah saksi di mana aku merasakan kalau cinta pertamaku sudah kembali ke tempatnya. Kalla tidur berbantal tanganku, masih di lantai, kami terlalu lelah untuk beranjak. Tidak ada percakapan yang terjalin setelah Kalla dengan brutal menganiaya tubuhku. Ini tidak menyakitkan, tapi melihat Kalla menangis membuat hatiku tersayat-sayat.
Aku memeluk dan menghirup aroma dari rambutnya berkali-kali. Aku tidak tahu kalau aku memiliki kerinduan sedalam ini. Sudah lama sekali kami tidak sedekat ini setelah Kalla meninggalkan kantin kampus kurang lebih lima tahun yang lalu.
Flashback On
"Hai, aku datang lagi." Kalla kecil berbisik dengan keceriaan yang tergambar jelas di wajahnya.
"Aku ingin pulang." Aku merengek sambil menahan tangisku.
"Jangan berisik." Kalla menengok ke kiri dan ke kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
RomanceKalla tidak pernah tahu kalau selama ini Romeo hanya berpura-pura mencintainya. Ketika perasaan Kalla ternyata bertepuk sebelah tangan, ia memutuskan untuk berhenti dan memilih merasakan sendiri rasa sakitnya. Cinta kini sudah berubah menjadi benci...