Kisah 18

6.7K 254 3
                                    


Romeo POV

Suara tembakan itu terdengar dua kali. Kalla memelukku erat. Bukannya tadi Gisel dan ayah Kalla sudah diringkus oleh polisi? Lalu apa yang barusan kudengar?

Kalla mematung di depanku dengan mata terbelalak. Aku meraih tubuhnya yang berangsur-angsur luruh ke tanah. Beberapa orang mengerumuni kami, seseorang sibuk memerintahkan agar didatangkan ambulance secepatnya. Suara tembakan terdengar lagi karena ayah Kalla berusaha kabur. Sekarang dia tergeletak tak berdaya dan aku menatap Gisel yang tersenyum puas kepadaku. Ayah Kalla baru saja menembakku tapi Kalla menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar anaknya dan diriku tidak terluka.

"Kalla bertahanlah." Aku melihat darah yang merembes dari pakaiannya. Punggungnya mengeluarkan banyak darah.

"Mommy. Mommy." Stella menangis meraung-raung meminta ibunya membuka matanya.

"Kapan ambulance-nya datang? Cepat panggilkan bantuan!" Aku berteriak kepada orang-orang itu.

Aku merasakan menit-menit yang berubah menjadi berabad-abad. Aku berteriak-teriak agar Kalla segera diselamatkan. Ambulance datang dan aku menggendong Kalla yang tidak bergerak sedikitpun dengan punggung yang terus-menerus mengeluarkan cairan berwarna merah. Kalla bisa kehabisan darah kalau tidak segera ditolong.

Pertolongan pertama segera dilakukan, Stella dibawa oleh seseorang yang tidak kukenal. Dia menangis dan memanggil-manggil ibunya. Aku melihat petugas kesehatan yang menggunting pakaian Kalla untuk mengobati lukanya yang meninggalkan lubang di punggungnya. Aku tidak mengerti apa yang tengah mereka lakukan. Aku hanya berharap kalau Kalla akan baik-baik saja.

Aku ikut berlari ketika segerombolan orang-orang itu membawa Kalla ke ruang operasi. Aku menunggu cukup lama di depan pintu. Aku menghubungi ibuku dan mengatakan kalau Kalla ada di ruang operasi. Stella menghilang, katanya ada suster yang merawatnya di salah satu sudut di rumah sakit ini, dan aku percaya.

Tidak butuh waktu yang lama, keluargaku datang dan memberikan semangat dan doanya. Aku sama sekali belum merasa lega karena Kalla masih berada di sana. Seumur hidupku diriku belum pernah mengalami masuk rumah sakit apalagi sampai dioperasi.

"Kalla bertahanlah, untukku, untuk Stella." Aku memandang Kalla nanar.

Aku digerogoti oleh rasa menyesal yang luar biasa. Kalau saja aku bisa lebih hati-hati lagi, Kalla tidak akan mengalami hal setragis ini. Mana buktinya kalau aku akan menjaga Kalla dan Stella dengan baik? Aku bahkan membiarkan Kalla tertembak karena melindungiku. Kenapa harus selalu Kalla yang menjadi korban? Kapan aku bisa menjadi penolong untuk Kalla?

Aku benci diriku sendiri. Aku lelaki tidak berguna yang pernah ada di muka bumi ini.

"Operasinya berhasil, tapi kami belum bisa menjamin kalau pasien akan baik-baik saja, karena peluru itu hampir mengenai jantungnya, hanya tinggal 1 inchi maka pasien tidak tertolong lagi, ditambah selama dalam perjalanan peluru itu mengalami pergeseran yang membuat kami kesulitan mengeluarkannya. Kami akan mengupayakan yang terbaik untuk pasien. Kami mohon kepada pihak keluarga untuk terus berdoa agar kondisi pasien segera melewati masa kritisnya." Ceramah singkat dari dokter yang terlihat sangat lelah terlontar begitu saja.

'Kami belum bisa menjamin kalau pasien akan baik-baik saja', aku menggigit bibirku agar tidak memaki orang lain. Sudah cukup untuk hari ini, aku tidak mau memperburuk suasana yang sudah keruh.

Apa gara-gara aku menggendong Kalla hingga peluru itu bergeser? Apa aku juga yang menyebabkan tim dokter kesulitan menolong Kalla? Aku merasakan dekapan ibuku yang memelukku untuk menenangkan hatiku yang carut marut.

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang