Kalla POV
"Ini sangat nyaman kalau ditinggali bersama keluarga. Halamannya juga luas, bisa untuk bermain anak-anak atau pesta barbeque." Sudah seperempat jam aku berceloteh ria dengan konsumenku.
"Bisa kalau catnya diganti?"
"Tentu saja bisa. Kami juga akan mengusahakan kalau anda menginginkan semacam tema-tema khusus untuk mendekor rumah beserta furniture-nya."
"Entah kenapa saya sangat tertarik dengan yang ini." Wanita di depanku menunjuk gambar rumah yang paling mahal yang kutawarkan. Dari gayanya saja sudah ketahuan kalau konsumenku ini berasal dari keluarga kaya raya.
"Anda sangat pandai memilih, saya juga akan memilih yang itu, sayangnya uang saya tidak akan pernah cukup untuk membelinya." Aku tersenyum.
"Tunggu sebentar, saya harus menunggu tunangan saya dulu. Katanya dia sedang terjebak macet. Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum kembali membahas pilihan rumah."
"Tidak masalah." Kami pun memesan makanan berhubung ini sudah mendekati jam makan siang.
Kami bercakap-cakap bersama membahas apa saja yang terpikirkan. Aku juga membahas tentang Stella kepada wanita cantik yang umurnya paling hanya terpaut beberapa tahun dariku. Entah lebih muda atau lebih tua, kami terlihat seperti teman sepermainan yang seumuran. Goal ku hanya satu, membuat wanita di depanku yakin untuk membeli rumah dan aku bisa menjemput Stella di sekolahnya. Stella sudah masuk sekolah, bukan sekolah dengan kegiatan belajar, lebih berupa tempat di mana anakku bisa bernyanyi dan bermain bersama teman-temannya.
"Jangan panggil ibu, saya merasa tua. Gisel saja. Jangan terlalu formal, aku tidak terbiasa dengan bahasan seperti ini. Anggap saja aku temanmu." Gisella ternyata tidak suka dengan keformalan yang dari tadi tercipta. Memang Bahasa bisnis berbeda dengan Bahasa sehari-hari yang santai. Sejak awal aku hanya ingin memberikan kesan professional kepada konsumen baruku.
"Oke, Gisel. Aku mengerti." Aku pun sebenarnya lebih suka pembicaraan yang santai. Aku hanya khawatir kalau pelangganku ini merasa tidak dihargai.
"Aku lama-lama bosan terus menunggu tunanganku. Entah apa yang membuatnya datang begitu terlambat."
"Tapi pasti datang, kan?"
"Sudah di jalan, katanya. Nah, itu dia." Gisel menunjuk ke arah pintu masuk.
Mulutku menganga, merasa tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku mencoba menetralkan gejolak dalam ragaku.
Tunangan Gisel adalah Romeo, dari sekian juta peluang yang ada di dunia ini, aku benci terhadap peluang yang membawaku bertemu lagi dengan bekasku itu. Aku mencengkeram rok-ku dan tersenyum kepada Romeo dan Gisel.
Dunia sungguh sempit. Aku menghela napas diam-diam dan meminum jus apelku. Buktikan kalau Kalla sudah tidak memiliki perasaan apa-apa kepada mantannya. Aku tahu kalau percakapan kami kedepannya akan sangat kaku dan tidak menyenangkan untuk hatiku.
"Sayang, ini Kalla yang akan membantu kita memilih rumah."
"Rumah? Kau tidak salah?" Romeo menaikkan sebelah alisnya, seperti tidak suka dengan ide Gisel.
"Kalla Rei." Ucapku tegas sambil mengulurkan tanganku.
"Romeo Evans." Dia menjabat tanganku dan duduk di sebelah Gisel tanpa memandangku.
"Aku ingin memiliki rumah." Gisel bergelayut manja tepat di depanku.
Aku tidak cemburu, aku masih jengkel dengan Romeo yang menurutku begitu bajingan. Mereka seperti sedang berdiskusi. Aku memberikan mereka waktu tanpa menyela mereka. Aku mengaduk-aduk minumanku sambil melihat gambar-gambar rumah dan apartemen yang menjadi produk yang harus kujual.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
RomanceKalla tidak pernah tahu kalau selama ini Romeo hanya berpura-pura mencintainya. Ketika perasaan Kalla ternyata bertepuk sebelah tangan, ia memutuskan untuk berhenti dan memilih merasakan sendiri rasa sakitnya. Cinta kini sudah berubah menjadi benci...