Through Our Writing 3

3.8K 345 30
                                    

Jam-jam berikutnya aku tidak punya pilihan lain selain menghabiskan waktu liburku bersama orang-orang gila yang selama ini kusebut teman itu. Jangan salahkan aku jika menyebut mereka demikian, kenyataannya otak mereka memang lengser hingga aku sangsi sel-sel di otak mereka masih bisa berfungsi dengan benar.

Siang masih menjelang dan kedua pasangan yang berada di apartemenku sudah menyulap ruang tengahku menjadi tempat mesum. Desahan dan nafas beradu mereka mengisi ruangan yang terasa semakin pengap dan gersang. Aku curiga Suho dan Chanyeol melakukan hal konyol itu lagi, mengadakan perlombaan mini untuk membuat wanita mereka orgasme berkali-kali dan menjeritkan nama mereka. Yang terbanyak dan terlantang itulah pemenangnya, padahal yang menang hanya akan mendapat 5 dvd dan 5 manga hentai, tapi mereka selalu bertekad untuk saling unggul seolah reputasi mereka bergantung pada game konyol itu.

Jika kalian bertanya apakah aku terkejut dengan ulah bar-bar mereka, tentu jawabannya adalah tidak. Irene, Wendy, dan aku sudah saling mengenal lama, bahkan sebelum kami tergabung dalam The Darkest. Pertemanan kami bermula ketika kami sama-sama menjadi pendatang di Seoul. Tiga orang gadis desa yang mengadu nasib di Ibukota. Saat Kai menawariku masuk The Darkest, aku langsung mengajak Irene dan Wendy yang juga sama-sama hobi menulis untuk turut serta. Sayangnya dua tahun terakhir ini, Irene harus pulang-pergi Seoul-Busan karena perusahaan tempatnya bekerja memindahkannya ke kantor cabang.

Menjadi penulis yang selalu merangkai adegan panas diatas ranjang dengan kata-kata manis namun membangkitkan membuat kami tidak sungkan mengekspresikan kecintaan kami terhadap hal mature satu itu. Kami sering berbagi linkif you know what I mean—juga menontonnya bersama. Tetapi semenjak Irene dan Wendy memiliki kekasih mataku sudah sering dimanjakan dengan pertunjukan live porn gratis hingga aku tidak pernah lagi meminta link pada mereka. Dua gadis itu sama liarnya—yeah dan mereka menulis fiksi liar—mereka tidak akan segan mewujudkan fantasi nakal mereka tentang sex bersama pasangan mereka, tak peduli situasi dan kondisi.

Oh baiklah. Aku tidak akan menyangkal jika kemungkinan aku juga akan bersikap sama seperti mereka andai saja disisiku sudah ada makhuk yang bisa ku deklarasikan sebagai kekasih. Tapi kenyataannya hingga saat ini aku masih sendiri. Dan selain bermain bersama dildo merah mudaku, aku belum pernah tersentuh oleh siapapun atau apapun.

Fuck, yes. I'm still virgin.

Kalian bebas untuk tidak percaya ataupun menertawaiku sambil berkata cupu. Penulis cerita gelap dengan libido tinggi sepertiku masih perawan. Teman-temanku (re: Irene dan Wendy) bahkan The Darkest sering menggodaku karena itu. Tentu saja itu menjadi bahan candaan paling legendaris diantara mereka, apalagi saat Irene mulai menulis fiksi tentang aku dan Kai. Mereka semakin gencar menggodaku dan terus mengoloki Kai agar bersikap lembut di malam pertama kami nanti. 

Sialan memang. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak tertarik melakukan ons dengan sembarang orang.

Bagaimana dengan Kai? Aku mendengar hati kecilku berbisik dan sontak pandanganku tertuju pada laki-laki yang sedari tadi sudah menelanjangiku dengan tatapan membakarnya dari seberang meja. Well, Kai adalah kasus lain. Dia sudah menggenggam hatiku bahkan sebelum mataku bergulir menyaksikan wajah nyatanya.

Aku tahu ini konyol dan sangat tidak masuk akal, tapi kurasa aku memiliki perasaan lebih pada Kai semenjak semua orang di dunia oranye mulai menggoda kami sebagai pasangan. Atau mungkin semenjak aku membaca baris pertama pada novel yang ditulisnya? Entahlah. Aku tidak begitu yakin karena perasaan ini terasa membingungkan.

"Fuck, bisakah kalian semua berhenti?" Aku tersentak ketika suara Sehun tiba-tiba menggedor gendang telingaku, memecah napas memberat dari kedua pasangan panas diruangan ini. Pria albino itu berdiri di dekat buffet yang memisahkan ruang tengah dengan dapur, tangan berkacak pinggang dan mata nyalang menatap kesal pada semua orang. Aku mengerutkan alis. Kenapa dia juga memberi tatapan kesal padaku? Seingatku sebelum dia pamit ke toilet, aku tidak melakukan hal apapun yang dapat memicu kekesalannya.

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang