III

42 2 0
                                    

Diktator.

Tiran.

Pembunuh.

Monster.

Tentu saja mereka menyalahkannya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Tentu saja harus dirinya yang menjadi kambing hitam.

Satelah terbunuhnya Marat, Danton dan Desmoulins ikut menyusul sang Dokter dengan kehilangan kepala mereka. Robespierre telah berusaha untuk menyelamatkan sang Jurnalis, namun diluar dugaan, Desmoulins sendiri menolak untuk diselamatkan.

Camille Desmoulins, yang sempat menghabiskan masa kecil dengannya. Camille Desmoulins yang sempat menggebu-gebu meneriakkan revolusi dengannya. Camille Desmoulins yang percaya diri membubuhkan nama Robespierre tertua sebagai pendamping dari Horace, putranya.

'..Robespierre ku tersayang, kawan lamaku semasa sekolah, ingatlah apa yang telah diajarkan sejarah dan filosofi: Bahwa cinta lebih abadi ketimbang rasa takut..'

Bukan perkara mudah bagi mereka untuk memutuskan hal ini, tapi Desmoulins sendirilah yang memilih masa depannya mengikuti sosok korup Georges Danton dibawah pisau guillotine. Meneriakkan nama perempuan yang amat ia cintai di dunia.

Lucile sang janda Desmoulins, tentunya ikut menyusul sang suami kurang lebih seminggu kemudian. Setelah sebelumnya segala permohonannya pada Robespierre sama sekali tak didengar.

Dengan mata berbinar, perempuan itu berkata
"Tak lama lagi aku akan bertemu dengan Camille ku tersayang."

Sungguh sebuah ekspresi kehebatan cinta yang menggugah hati banyak orang.
Meskipun begitu, demi keberlangsungan revolusi, mereka tak punya banyak pilihan. Bukan dengan senang hati seorang Maximilien Robespierre menyerahkan nyawa temannya atas nama Kebajikan dan Terror.

Robespierre melirik sosok muda Saint-Just yang sedaritadi ikut terdiam, namun dahinya mengkerut dan mata kelabu dingin itu terpaku menatap ketiadaan, menunjukkan bahwa ia sedang hanyut dalam pikiran apapun yang ada dalam kepala cemerlangnya.

Tidak biasanya ia merasa segundah ini. Tidak seharusnya percik keraguan ia tujukan pada seorang Antoine Saint-Just.
Namun Robespierre sudah tak mengenal dunia dihadapannya ini lagi.

Dia tak takut akan kematian, namun bekunya revolusi bisa dengan mudah digunakan oleh mereka yang haus tahta dan harta. Segalanya akan kembali menuju ruang hampa, dan jerih payah mereka beberapa tahun terakhir ini akan sia-sia.

---

Dalam mimpinya, pemuda itu sedang berjalan di sebuah padang rumput yang ikut menari disisir angin. Sejauh mata memandang segalanya terlihat bak sulam emas, dan terkesan hangat akibat senja.

Hanya sebentar ia mampu menikmati suasana, saat topi yang ia kenakan tiba-tiba ikut terbang bersama angin. Ia mencoba mengejar dan meraih, namun ia justru terjatuh.

Saat Antoine Saint-Just membuka kedua kelopak mata, ia menemukan napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi dahi, leher, dan punggungnya.

---

Le Bas kembali mengabari Saint-Just tentang Robespierre yang semakin hari semakin lemah hingga dengan terpaksa ia tak bisa muncul di Komite.

Mulai berkembangnya teori-teori konspirasi internal tentang Robespierre membuat Saint-Just khawatir. Tentang bagaimana kekuasaannya dan Montagnards yang sangat kuat sejak runtuhnya Girondins dan para Dantonist.

Bagaimana orang-orang mencemooh ideologinya, dan fanatisme pada Rosseau.
Semua omong kosong, dan sebaran kebencian. Mereka ingin kekuasaan Robespierre, menganggap tribunalnya tak lebih dari sesuatu yang telah lama membusuk —bau busuk kediktatoran.

"Dibandingkan dirimu, seekor anjing bahkan lebih layak menjadi moderat. Dibandingkan dirimu dan Robespierre, eksekusioner adalah malaikat yang lebih pengampun!" Seru Lindet padanya.

Saint-Just beranjak.

"Kau akan menyesali kata-katamu itu, citoyen. " Tanggapnya dingin. Ia pergi menerobos kerumunan, meninggalkan Couthon yang malang.

Dia tahu cepat atau lambat hal ini pasti terjadi, dan jika harus memilih antara kepalanya atau kepala Robespierre...

Lirih sendu Lucile Desmoulins terngiang di kepalanya.

Aku tak perlu rasa kasihan seperti kalian, dimana kematian kalian akan terkenal karena keburukan, kalian akan dihantui perasaan bersalah karena apa yang telah kalian lakukan.

Saint-Just menggelengkan kepalanya frantik. Dalam situasi yang berbeda, ia pasti akan merasa jijik dengan dirinya yang makin sentimen.

Hearts of the TerrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang