Sebulan lebih telah berlalu hingga Robespierre memutuskan untuk kembali muncul di publik dan meminta podium. Antoine Saint-Just tentu saja berjalan bersamanya. Semua mata terarah pada mereka.
Dia tampak sakit.
Robespierre, di puncak podium, menarik napas.
"Aku, yang terlahir sebagai budak dari kebebasan, dipanggil tiran. Aku, yang telah hidup sebagai martir bagi Republik, dipanggil diktator. Mengapa? Siapa yang menebar kebohongan ini..?"
---
Barras dan Bourdon menyorakkan tuntutan pada nama Robespierre, Couthon, dan Saint-Just sebagai perusak revolusi, dan tentu saja mereka melakukannya!
Vivé Robespierre! Vivé Robespierre!
Hôtel de Ville akan menjadi perlawanan terakhir mereka, karena para tikus-tikus serakah itu tak pantas mendapatkan Robespierre tanpa perlawanan.
Saint-Just memandang dari lantai atas bangunan itu, sembari menyiapkan pistolnya.Le Bas tampak sibuk mengatur pasukannya. Sungguh ironis mengetahui para tentara itu sana akan berhadapan dengan tentara yang berseragam sama.
"Kau masih bisa menyerahkan diri pada mereka, dan melihat matahari terbit esok hari, kawanku."
Pemuda itu terlonjak kaget dan segera berbalik kearah sosok Couthon di kursi rodanya, yang tampak pucat karena segala kesemrawutan yang mereka alami hari ini. Sepucuk pistol juga tampak menggantung aman di pinggangnya.
Mengetahui Saint-Just tak memberikan respon lebih kecuali perubahan ekspresi di wajahnya yang tampak lebih keras dari biasanya, Couthon melanjutkan.
"Kita semua tahu akan ada pertumpahan darah tak lama lagi, dan kau, citoyen Saint-Just, masih punya harapan—"
"Kau tahu dengan terang mengenai harapanku itu, citoyen Couthon." Sergah Saint-Just.
Manik kelabu yang dingin beralih ke sosok Maximilien Robespierre yang sibuk dalam pembicaraan keluarga dengan Augustine, saudaranya.
Robespierre tertua tampak tak kalah berantakan dibanding mereka semua. Setelah apa yang seperti selamanya, tampaknya dua Robespierre sampai pada sebuah kesimpulan, dan mereka saling berpelukan.
Mata hijau gelap Maximilien Robespierre bertemu dengannya, dan setelah Augustine pergi entah kemana, Saint-Just melangkahkan kakinya mendekati sosok itu.
"Sebuah kehormatan mengetahui kau masih mau berdiri bersamaku hingga titik ini." Ujar lelaki yang lebih tua itu.
"Kau berbicara seolah ini adalah akhir dari segalanya."
Bukankah memang ini akhirnya?
Robespierre tidak menjawab. Mereka saling bertukar pandang, karena tahu kata-kata tak dapat dirangkai untuk menyampaikan isi hati keduanya.
Saint-Just menyarungkan pistolnya, dan meraih tangan kanan Robespierre, meremasnya lembut. Matanya tak memutus kontak dengan lelaki itu saat ia perlahan mengangkat telapak tangan itu, dan menciumnya.
Ini sama sekali tak terduga.
"Begitu?" Lirih Robespierre, meskipun Saint-Just tak melontarkan sepotong kalimat apapun. Tapi ia mengerti, ia sangat mengerti. Benar-benar melankolis.
Robespierre tersenyum, dan Saint-Just ikut membalas senyuman itu.
---
Suara medan perang adalah sesuatu yang sangat familiar bagi Louis Antoine de Saint-Just. Benturan antar bayonet, letusan pistol disertai aroma mesiu dan darah, jeritan-jeritan mereka yang berhadapan dengan maut. Mencekam.
Dengan panik Saint-Just menyisir diantara kerumunan yang mengamuk menghancurkan semua yang ada dalam ruangan. Dia mencari sosok Robespierre, dia harus menemukannya.
Seseorang menghantamnya ke lantai, yang lainnya mengamankan pistol yang ia genggam. Dia terus meronta, namun ia kalah jumlah.
Tidak, tidak, tidak. Dimana Robespierre?!
Mereka menyeretnya keluar dari Hôtel de Ville. Sepanjang perjalanan ia dihadapkan dengan rasa takut jika salah satu dari tubuh tak bernyawa yang mereka lewati adalah Robespierre.
---
Seseorang menembaknya, namun meleset. Alih-alih menghancurkan kepala, tembakan itu mengenai rahang bawahnya. Mereka harus membaringkannya dan membalutkan perban mengelilingi kepalanya.
"Beri dia jalan. Biarkan dia melihat bagaimana kondisi Raja nya yang telah jatuh sekarang." Ujar seseorang dengan nada sarkas, disusul beberapa tawa tertahan.
Robespierre mengadah, ia mendapati sosok Antoine Saint-Just menatapnya dengan ekspresi campuran amarah dan kesedihan. Pemuda itu meraih telapak tangannya, dan berulangkali menggambar lingkaran disana dengan jempolnya. Gestur dengan tujuan menenangkan.
---
Maximilien Robespierre tak pernah hadir dalam proses eksekusi guillotine, kecuali, tentu saja proses eksekusinya sendiri. Warga Paris melemparkan bunga-bunga kedalam kereta yang membawa mereka. Secara ironis, tentu saja.
Mereka menganggap dirinya dan Saint-Just lah sebagai terror. Dua sosok radikal tanpa hati —bukan kebusukan dalam jiwa korup Barras dan Bourdon—mereka yang kini berhasil menjatuhkannya. Revolusi membeku, dan Prancis akan dengan mudah dikuasai seseorang yang opurtunis.
Mereka dibariskan sebelum menaiki panggung guillotine. Tangan mereka terikat di belakang. Saint-Just tentu saja berdiri disampingnya. Sosok Couthon yang malang tergeletak bak seonggok kayu, tak ada kursi untuknya.
Saint-Just tak mengatakan apapun, namun ia menyempatkan diri untuk mengecup pipinya. Robespierre hanya dapat membalasnya dengan tatapan sendu.
Dan mereka bilang ia tak punya hati?
Jika saja, jika saja. Tuhan memang benar-benar menyaksikan. Akankah Dia mempertemukan kembali mereka yang saling mencinta?
-END-

KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts of the Terror
Ficción históricaMereka bersorak: Liberté! Égalité! Fraternité! Ou la mort! Kemudian memenggal sang pencetus ideologi. Jika banyak yang menganggap jatuhnya Maximilien Robespierre sebagai akhir dari Rezim Teror, mereka salah. Kejatuhan ini justru sebuah persembahan u...