[2/5]

1.2K 376 75
                                    

|02 : Finding Reality|






Lagi-lagi, Seonho harus menunggu Guanlin lama. Bibirnya sudah bergetar dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada untuk menghalau rasa dingin yang kian menusuk hingga ke dalam tubuhnya.

Sejujurnya, Seonho benci menunggu. Ada waktu dimana Seonho mencintai pukul sebelas lewat sebelas, namun ada pula waktu dimana Seonho membenci angka kembar itu.

Hal itu berkaitan dengan Guanlin. Seonho benci jika harus menunggu lama dan benci jika Guanlin mengingkari janjinya. Tetapi, entah mengapa Seonho mudah sekali luluh hanya karena satu pelukan hangat dan ciuman lembut dari pemuda tinggi itu.

"Sekarang sudah pukul sebelas lewat dua-puluh dan Guanlin masih belum datang." Gumam Seonho seraya memandangi jam tangan berwarna soft brown miliknya.

Menunggu memang kegiatan yang tidak menyenangkan. Ditambah malam ini sangat hening sehingga sweater saja tidak mampu melindungi tubuh Seonho dari hawa dingin yang sudah keterlaluan ini. Nyaris membuat pemuda manis ini beku.

Bibirnya berdecak dan dirinya hampir menangis ketika sudah merasa menyerah untuk menunggu Guanlin. Tetapi, tangannya ditarik begitu tubuhnya sudah berbalik untuk meninggalkan tempat itu.

"Sayang, maaf."

Kata itu lagi. Seonho benar-benar meneteskan air matanya. Dia sudah berniat untuk memukul Guanlin yang tiba-tiba saja datang. Namun, tangannya terasa beku sehingga niatan itu tidak terlaksana.

"Kau ingkar janji lagi. Aku membencimu." Ucap Seonho dengan kepala yang tertunduk, mengindari tatapan penuh rasa bersalah dari Guanlin.

Pemuda tinggi itu menghela nafasnya panjang, lalu mengangkat dagu Seonho dan jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang turun karena kesalahannya. Guanlin memang bodoh. Manusia cenderung tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, tetapi seperti inilah Guanlin.

Sebenarnya, Guanlin sendiri benci dengan situasi ketika Seonho menangis karena dirinya. Guanlin benci ketika bahu pemuda manis itu bergetar karena dirinya.

"Maaf, aku tidak bisa datang tepat pukul sebelas lewat sebelas. Maaf, aku mengingkari janjiku lagi, sayang." Kata Guanlin dengan dua tangan yang menangkup wajah Seonho. Rasa menyesal terpancar dari wajah dengan rahang tegas itu.

Awalnya, Guanlin berpikir jika Seonho akan memarahinya atau akan memukulnya karena pemuda itu mengangkat kedua tangannya. Ternyata, tangan kedua tangan Seonho bergerak untuk mengusap kedua tangan yang tengah menangkup wajahnya.

Seonho tersenyum terpaksa. "Sudahlah, aku hanya terlalu emosional. Tanganmu sangat dingin, bahkan lebih dingin daripada tanganku. Kau terlihat pucat, Guanlin." Mulutnya bersuara dengan lirih pada akhir kalimat.

Namun, Guanlin hanya mengangguk sekenannya seakan tidak peduli. Bibirnya mengulas senyuman sendu seperti biasanya. Membiarkan Seonho sibuk menyalurkan rasa hangat dengan cara menggosok-gosok kedua tangan mereka.

"Sayang, kau harus kembali."

Aktivitas Seonho langsung berhenti detik itu juga. Air mata sudah menggenang di sudut matanya. Sepersekian detik, Seonho kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa mempedulikan perkataan Guanlin barusan.

"Sayang, kembalilah pada realita." Tegur Guanlin dengan lembut. Tetapi, Seonho membalasnya dengan satu pukulan yang cukup keras di bahu.

"Realita apa yang harus aku cari sedangkan kau sendiri tidak pernah menepati janji!" Teriak Seonho dengan suara parau, kembali menimbulkan nyeri pada hati Guanlin.






|To Be Continued|

11:11 ㅡguanho✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang