Bimbang

27 2 2
                                    

Pagi ini aku ada jadwal untuk mengunjungi butik.  Sederet schadule yang sudaah tersusun rapi di tableth ku sudah kuatur dan mulai kujalankan satu-persatu. Seumpuk pekerjaan ini ku bagi sebagaimana pembagiannya. Mulai memilih bahan yang cocok dengan design yang sudah kusiapkan. Menyesuaikan garnitur yang cocok dengan plating dan beberapa pembagian pola dengan kariawan. Semuanya ku kerjakan dengan giat untuk hari launching desingn terbaruku. Sebagai wanita hamil dan seorang single parent aku tak bisa begitu saja berdiam diri. Aku juga harus berjuang demi anakku dan juga masa depan bisnisku yang sudah kami bangun dari dasar. Karena aku tau tak satupun orang yang bisa memperjuangkannya selain aku.
“ Buk, bagian lengan ini di pecah dengan model mawar yah buk?” Tanya Laty kariawan yang bertugas membagi copy pola pada kariawan penjahit.
“ Ia Laty, tapi di bagian kerung lengan tidak ada pecahan yang di kembangkan nanti hasilnya akan berbentuk seperti ini.” Ujarku sambil menunjukkan selembar gambar detail yang sudah aku siapkan.
“Baik buk, namun apa tidak masalah jika lengannya dibiarkan tanpa ban?”  Laty menimbang design ini dengan design lamaku yang sudah hampir kubuang.
“ Tentu saja tidak bari kita coba membuatnya jadi terlihat menawan, anggaplah lengan gaun ini jadi ciri khas design kita.” Sungguh percaya diri rasanya melihat design terbaruku ini.
“Baik buk.” Ujar Laty mulai mengemas bagian-bagian pola dan design juga detailnya untuk di serahkan kebagian produktif. 
Waktu sudah berlalu begitu lama. Pandanganku mengarah ke arloji yang melingkar di lenganku. Sudah saatnya makan siang. Akupun meraih tas dan ponselku. Dan beranjak mencari tempat yang pasuntuk makan siang. Namun tepat di ambang pintu seseorang menantiku.
“Hi sweet heard, lunch?” tanyanya sambil menunjuki arloji di lengan kirinya sambil menenteng jas yang ia lipat sembarangan. Tentu saja sebagai salah satu penikmat fashion aku terganggu dengan jas yang bertengger di lengan kekarnya.
“Hi Dhava.” Sapaku ringan sembari meraih jas yang menganggu mata itu dan merapikannya.
“ Where we gonna lunch?” Senyumnya selalu sama. Selalu seakrab dulu. Ia menyodorkan lengan kekarnya. Tentu saja kusambut kemurahan hatinya dengan sebuah gandengan.
“ Hum, just wanna eat something sweet.” Senyum kami berpapasan dan rasanya kali ini sungguh mudah.
Kami pun tiba di sebuah cafe yang berromansa italy. Aku tak habis fikir ia membawaku ke cafe seperti ini karena ia tau aku tidak begitu tertarik dengan makanan italy. Sejenak ku ikuti kemauannya. Kulihat  ke arahnya yang sedari tadi kelihatan normal dan tak bereaksi aneh. Bahkan sifat normalnya itu yang membuat semuanya terasa aneh. Ia memesan secangkir teh dan begitu juga aku. Seolah menunggu ia memandangi kearah pintu masuk dan. Walla!!, di sana seorang wanita yang cukup asing bagiku mendatangi meja kami.
“ Udah lama?” Tanya wanita yang tampaknya sudah berusia 40an ini.
“ Nggak kok mbak. Kita juga baru aja sampai.” Jawab Dhava santai aku mulai bertanya siapa wanita ini. Dhava menatap kearahku seolah mengerti.
“ Mbak ini Dhea, Dhea ini Mbak Vhanesha.”  Dhava memperkenalkannya padaku.
“ Hai mbak.” Kusodorkan tanganku ia menyambutnya. Tampaknya wanita ini cukup ramah.
“ Jadi ini Dhea yang kamu ceritakan?” Aku cukup terheran mendengar ucapan Mbak Vhanesha ini.
“Ia mbak, ini Dhea yang aku ceritakan kemarin pada Mbak.” Ujar Dhava namun aku masih tidak tau arah pembicaraan ini.
“ Kamu istri almarhum Alex kan?” Tanyanya, sungguh kali ini aku shok. Terlebih lagi ini kali pertama kami berjumpa.
“ Bagaimana mbak bisa kenal dengan suami saya?” Tentu saja istri manapun akan penasaran jika berada diposisiku.
“Saya salah satu rekan bisnis yang baru ia bangun beberapa tahun terakhir. Namun sayangnya usaha kami terkenti sebelum memulainya. Semuanya masih persiapan yang sudah hampir selesai. Numun beliau sudah terlebih dulu mengalami kecelakaan maut itu.” Ujarnya aku tau itu. Dan kali ini aku tak tau harus berkata apa.
“ Dhea aku mengundang Mbak Vanesha untuk membantumu menemukan Leon.” Aku terbelalak mendengar perkataan Dhava. Aku tau Dhava cukup pandai dalam berhumor namun kali ini perkataannya bukan main-main. Aku mencoba mencerna segala situasi ini dan mulai mendengarkan.
“Sebelumnya saya minta maaf kalau hal ini akan membuat Dhea merasa di bohongi, namun faktanya Leon tidak pergi jauh dari kalian. Sebenarnya saya sempat bertemu dengan beliau beberapa saat yang lalu. Dimana kami mengundang beberapa donatur ikut berpartisipasi dalam pembangunan project kami . Namun saya tidak begitu tau bahwa Alex memiliki kaitan erat dengan Leon. Yang saya tau Leon ikut mencalonkan diri sebagai donatur dalam bisnis baru ini. Sebagian arsip nya sudah saya lampirkan dalam dokumen ini.” Mbak Vhanesha memberikan sebuah map berwarna biru tua padaku. Dengan perlahan aku membuka map itu dan disana tertera rentetan nama donatur yang berpartisipasi dalam pembangunan bisnis ini.
“Saya menyimpan dokumen ini bukan sebuah hal yang di sengaja, kebetulan saya membewanya pulang setelah kecelakaan yang menimpa Alex, dan sejak saat itu saya di beri waktu untuk memperbaiki kembali keadaan susunan perencanaan namun gagal. Para donatur menarik kembali sebagian besar dana yang mereka donasikan. Namun ada beberapa dari mereka yang memiliki belas kasih dan tak menuntut apa-apa dan akhirnya sebagian besar hutang yang kami tanggung sudah tertutupi sedangkan sisanya kami terima dari sumber yang tak tidak ingin di ketahui identitasnya.” Cukup panjang penjelasan Mbak Vhanesha namun tak seluruhnya masuk dalam jangkawan akalku. Ia nampak sangat senang menceritakan hal ini padaku danDhava.
“ Jadi hingga kini masih ada donatur aktif yang tidak ingin dikenali identitasnya?” Pertanyaan Dhava ini juga terbersit di benakku. Bagai mana mungkin hal itu bisa terjadi, sedangkan perusahan nya sendiri telah tutup setelah beberapa bulan terakhir.
“ saya dengar hal ini masih berlangsung hingga kini namun angsurannya tidak dalam jumlah yang banyak. Hanya saja informasi yang saya dengar soal donatur ini hanya sampai situ. Namun jika anda masih penasaran masih bisa bertanya kepada bagian keungan kami Pak Geordiand.” Sungguh orang yang cukup mulia dan sangat membantu Alex jika tidak mungkinkan aku juga bisa terseret dalam masalah keungan yang rumit ini.
“lalu bagaimana dengan informasi tentang Leon?” Tanyaku yang sudah tak sabar mendengar ini. Dengan mimik wajah yang berbeda Mbak Vhanesha menggeleng. Pupus sudah harapanku.
“Magsud mbak, mbak tidak tau kabar dari Leon?” Tanya Dhava sedangkan aku hanya dapat tertunduk dan menahan tangis.
“ Saya tidak tau sepenuhnya. Namun data yang ada ditangan mu itu merupakan jalan keluar untuk menemukan keberadaan Leon. Sebelumnya aku kenal dengan orang yang mengajaknya dalam bisnis kami, Namanya Chandra. Aku tidak begitu kenal dengan leon namun Chandra aku cukup kenal anak ini. Rasanya ia masih seumuran dengan kalian dan saat ini bekeja di sebuah PT di bagian keuangan juga. Jika perlu aku akan menghubunginya dan memberimu kontaknya.” Saat mendengar penjelasan Mbak Vhanesha rasanya secercah harapan menemukan Leon akhirnya terbuka.
“ Tentu saja kami mau, tolong berikan kami kontak orang ini.”  Mbak Vhanesha memberi kami sekeping kartu persegi panjang. Aku tau itu kartu nama orang bernama chandra itu.
“Terimakasih mbak, bantuan Mbak sunggu tak dapat kami balas.” Ujarku sambil memegangi tangan mbak Vhanesha. Mbak Vhanesha mengelus kepalaku.
“Aku tidak tau perjuanganmu seperti apa, yang jelas itu pasti sangat berat. Aku berdoa agar kau selalu diberi kekuatan. Aku yakin kau bisa berjalan di atas semua ini dan pasti akhir yang bahagia akan menantimu di saatnya nanti. Aku turut berduka atas kepergian Alex. Aku sangat kenal anak muda satu itu, ia pemuda yang bersemangat dan bijaksana. Aku sangat menyukai karakter kejakerasnya. Ia selau berkata ‘aku berjuang demi anak istriku, jadi lelah sudah jadi sahabatku’ aku harap dia selalu tenang di sana.” Rasanya tetesan air mataku hampir tertumpah keluar. ‘Aku wanita kuat-aku wanita kuat’. Aku berseru dalam hati dan merebahkan senyumku.
“ Kalau begitu kami sangat berterimakasih atas bantuan mbak, saya harap dilain waktu kita bisa bersantai dengan jamuan teh dengan suasana baru. Kami sangat senang bisa berbincang dengan Mbak.” Kami serempak berdiri dan bersalaman.
“ Terimakasih mbak semoga kita berjumpa lagi.” Sebelum kami pergi kupeluk Mbak Vhanesha sejenak. Dan kami beranjak dari cafe tersebut.

Promise You
 
Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang