Celah

24 1 0
                                    

Sore menjelang malam. Senja menyingsing di birunya langit, sungguh kombinasi yang sangat menakjubkan. Aku dan Dhava masih sibuk dengan beberapa bahan makanan yang harus kami masak untuk dinner. Makanan yang di bawa ibu tadi sudah habis kami lahap untuk makan siang. Sesempatnya Dhava dan aku membeli sedikit bahan makanan di suermarket dan memasakanya di  rumahku. Kami berencana membahas tentang Chandra dan bagaimana Chandra bisa kenal dengan Leon. Tentu saja sebelumnya kami sudah menghubungi Chandra dan mengundangnya untuk makan malam dirumahku secara tidak formal. Dan hasilnya Chandra setuju.
“Vha, bisa sisihkan buah melon dan mangganya ke kulkas gak?” Tanyaku yang sedang membuat adonan pudding untuk dissert.
“Ofcourse, anything beib.” Again si romantic Dhava dan segala kemanisannya.
“Oh~~, sweet beib.” Ujarku sambil menepuk dagu manusia species aneh ini. Ia pun memasukkan beberapa buah yang sudah kupotong kedalam kulkas sedangkan aku sedang menuangkan pudding kedalam cetakan.
“Mejanya udah platting beb?” Tanya Dhava beralih ke meja yang sudah kutata dengan beberapa piring dan sedikit hiasan bunga dan berbagai makanan khas jogja. Rasanya sedikit kemampuanku kutuang dalam sesi makan malam ini.
“ Yeah, can you chek it again beib.” Seperti biasa aku sudah terbiasa dengan kehadiran Dhava.
“Its, perfect beib.” Dhava seraya menata kursi lebih rapi dan aku meletakkan menu terakhirku di atas meja.
“Ok, its good kalo gitu aku ganti baju dullu Vha, kamu pake baju itu aja atau mau ganti. Di atas masih banyak baju Alex, kayaknta sih muat sama kamu.” Tawaran ku mungkin sedikit aneh, namun aku rasa itu akan berguna dalam situasi ini.
“Ok, please, kalo nggak keberatan.” Mendengar ucapan Dhava akupun menuju kamar dan menggeladah kembali baju-baju suami ku. Diasana saat lemari pakaiannya terbuka sungguh wangi yang kuinginkan dan kurindukan semerbak berhembus padaku dan seolah bisikan manisnya merambat di telingaku dan berkata.
‘miss me my love?’ spontan aku menjawab lirihan itu dengan pelan.
“so much love~” serasa Alex mendekapku dan seolah ia masih di sekitarku. Tak mau larut aku menyadarkan diri dan kembali pada kenyataan membawa beberapa pakaian yang pantas untuk digunakan Dhava dalam jamuan makan malam ini.
“Nih, kayaknya muat deh sama kamu.” Ujarku, memberi sedikit senyum pada Dhava. Dhava langsung menuju kamar tamu. Sedangkan aku sudah siap dengan balutan drees casual dan rambut di gulung keatas. Sedikit aksen rambut berjatuhan memberi efek santai. Dan polesan makeup sederhana dan high light yang memberi kesan simple yang begitu anggun. Tak berselang lama Dhava keluar dari kamar dengan baju yang kusodorkan tadi sambil memasang kancing di bagian lengan sedangkan kerah dibiarkan terbuka. Sekilas aku melihat Alex disana. Bahu bidangnya, tingginya hampir sama dengan Dhava. Bahkan membuatku tertipu sejenak merasa Alex menghampiriku.
“How i look?” pertanyaan itu membangunkanku lagi. Kutarik nafas dalam dan menghelanya, sedikit senyum bertengger di bibirku.
“ Amazing.” Dhava terseyum simpul dan meneruskan merapikan rambutnya namun tampaknya ia sedikit kesusahan mengancing maset lengan kanannya.Aku pun menghampiri si manusia mandiri ini dan menawarkan bantuan.
“may I?” Ia berhenti dan membiarkanku mengambil alih ketidak sanggupannya itu. Ia menatapku dalam. Aku tak mengerti apa magna tatapannya yang tampaknya lebih sendu dari biasanya. Jalan fikiran manusia ini sungguh rumit.
“What?” Tanyaku malah membuatnya senyum lebar.
“Nothing, just, youre so wow~” yah satu kebiasaan Dhava yang sungguh membuatku terhibur juga geli, Apa lagi kalau bukan gombalan manisnya.
Tak selang berapa lama bel berbunyi. Tentu saja kami tau siapa yang datang tamu yang sengaja kami undang, Chandra. Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Yah disana berdiri seorang pria yang tampaknya seumuran dengan ku bersama seorang gadis yang tampaknya sedikit lebih muda dariku.
“Selamat malam”ujarnya dengan sedikit senyum. Dhava menghampiriku menyambut tamu kami.
“oh, selamat malam”  Ujarku dan Dhava hampir bersamaan.
“Pak Dhava.” Pria ini menyodorkan tangan dan bersalaman dengan Dhava.
“ Ia pak Chandra” Sahut Dhava.
“Dan Nyonya.” Ucapan pria ini tergantung.
“Dhea” Ujarku ia sedikit kaget namun ia melirik ke arah Dhava.
“Saya temannya saudara Dhava.” Sedikit menjelaskan, di iringi anggukan Dhava.
“ Oh, perkenalkan saya Chandra dan tunangan saya Nada.” Dhava menyalimi Nada dan aku memeluknya untuk sejekap.
“ Oh senang bertemu dengan anda.” Dhava dan tatakramanya.
“kalau begitubagaimana kalau kita beralih ke meja makan saya rasa kita semua sudah lapar bukan.” Ajakku sambil mengiringi mereka menuju ruang makan.
Kami pun memulai acara makan malam kami ini dengan sedikit hidangan pembuka yang ku suguhkan.
“ Oh, nyonya Dhea, anda tinggal sendiri di rumah ini?”pertanyaan yang membuka suasana.
“ Yah begitulah, sesekali asistensaya menginap disini.” Ujarku sedikit menjelaskan.
“ Sungguh menakjubkan tinggal sendiri di rumah yang besar seperti ini.” Ujarnya menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya.
“Cukup panggil Dhea saja pak Chandra.Begitulah, saya rasa buakn tanpa kesulitan tinggal di rumah ini, tapi saya rasa nyaman saja.” Jawaban yang apa adanya adalah satu jawaban yang tepat untuk pertanyan itu.
“lalu bagaimana dengan suami dan anak-anak?” Sedikit getaran di bagian jantung namun sepertinya sedikit terbiasa.
“Di sini masalahnya pak Chandra. Saya rasa bapak sudah tak asing lagi dengan mendiang saudara Alex bukan, dan nyonya Dhea ini adalah istri beliau.” Belum sempat kujelaskan rasanya Dhava lebih sigap dalam bidang ini.
“ oh, tentu saja saya kenal. Beliau sungguh teman yang menkjubkan. Dan saya turut berduka cita dengan kepergian beliau.” Tampaknya orang ini cukup kenal dengan Alex. Aku hanya sanggup mengangguk dengan ucapannya. Kami pun beralih dari makannan pembuka kemenu utama dan kusajiakan beberapa macam makanan di tahap ini.
“Sebenarnya, dalam hal ini kami tidak ingin membahas soal Alex, tapi saya dengar Pak Chandra kenal dengan Leon?” pak Chandra sedikit terkejut. Aku mulai ragu ia mau membuka tentang keberadaan Leon.
“Magsud kalian Leon Hands Fhadil?” Tanya pak Chandra memastikan.
“Ia beliau yang saya magsud.” Ujar Dhava, tampak pak Chandra berfkir dan tunangannya menyentuh lengannya sambil memberi tatapan penuh arti. Pak chandra juga membalas sentuhan tunangannya itu. Aku dan chandra bertanya-tanya apa yng terjadi pada Leon sebenarnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi pak?”tanya ku lebih penasaran lagi.
“ Sebenarnya saya mengenal leon sejak dua tahun lalu. Leon dulu tinggal di Venesia italia. Ia kuliah di salah satu universitas ternama di Venesia. Dengan mengandalkan beasiswa penuh ia berhsil lulus S2 di sana. Bersamaan dengan saya yang juga anak rantau. Bedanya saya bersekolah dengan biaya dari orangtua saya sedangkan leon mencari uang dengan caranya sendiri dan bergantung dengan beasiswa. Sebenarnya mengherankan bagaimana bisa ia sampai ke Venesia hanya bermodalkan paspor, vissa dan secarik ijazah.” Di sana pak chandra sedikit bernostalgia dengan memori nya bersama Leon. Bukan pertanyaan bagiku Leon sampai di Venesia. Karena Leon memang manusia dengan ambisi meluap dan kenekatan yang melampaui akal sehat. Sempat aku berfikir ia akan pergi lebih jauh dari Venesia.
“Disana aku menemuinya sebagai pelayan sebuah resto. Aku tau bayarnnya tidak besar tapi ia cukup tekun bekerja. Aku selalu datang ke sana tiap hari dan selalu ia mengajakku bercerita karena kami sama-sama orang indonesia. Hingga suatu hari dia di pecat hanya karna seorang pelanggan mengeluh. Aku tau gadis itu Cuma ingin alamat email Leon. Tapi Leon bicara jujur dia tidak punya alamat email. Gadis itu menumpahkan kopi di wajahnya. Seperti di film-film.’ Aku hampir terbahak melihat ekspresi Leon saat itu. Ia malah di pecat membuatku gusar dan memarahi manager resto itu membawa Leon bersamaku tinggal di apartement yang sama. Aku tak tahan lagi melihat ia di perlakukan seperti budak di setiap tempat ia bekerja.” Chandra menyeka sedikit air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Aku tidak enyangka pak Chandra memiliki kisah yang begitu mendalam bersama Leon namun, bagaimana bisa ia tidak mengenal aku. Atau setidaknyatidak tau Alex dan Leon adalah saudara.
“Selama di Venesia sangat jarang aku mendengar ia bercerita tentang keuarga atau semacamnya, bahkan bisa dibilang tak pernah mendengar tentang keluarganya, sampai-sampai saya merasa dia ini anak yatim piatu. Namun yang pasti dia pernah berkata dia ergi keVenesia demi orang yang ia cintai.” Sejenak aku merasa sedikit pilu. Aku tau yang ia magsud namun sebagian diriku bertanya apa benar yang dia magsud itu aku?
“ Ku pikir tunsia bukanlah kota yang kecil. Bagaimana bisa ia mencari satu orang di kota yang cukup luas ini. Namun tak pernah kulihat ia membuat gerakan mencari atau semacamya. Malah ia hanya berusaha bertahan hidup dengan kehidupan yang sama hingga ia selesai kuliah. Tak mencari siapapun. Bahkan tidak untuk mencobanya. Aku mulai bertanya-tanya apa dia menyerah atau putus asa. Hingga aku bertanya kembali padanya apa yang ialakukan dan kenapa tidak mencarinya. Leon hanya berkata ‘ aku ke Venesia untuk orang yang kucintai bukan mencari orang yang kucintai Chandra’ sesaat itu Leon tersenyum dan baru kali itu aku melihat senyum pasrah Leon. Dan aku sadar ia bukan ingin mendekat pada orang yang ia cintai malah sebaliknya ia ingin meninggalkan orang yang ia cintai demi kebaikannya.” Ucapan Chandra sekali lagi membuatku meneteskan air mata untuk leon. Dhavamenggenggam erat tangan ku.
“ Lalu kalau boleh tau, kami ingin tau keberadaan leon saat ini pak Chandra. Itu juga jika pak Chandra berkenan memberitahu.” Dhava mengambil alih pertanyaanku yang sudah tak sanggup kulontarkan. Kali ini pak Chandra menatap tunanganya penuh arti.Seakan meminta izin. Tampaknya ini keputusan yang cukup berat.
“Sebenarnya kami tidak tau pasti keberadaan kak Leon. Namun yang pasti beliau sedang berada di Jerman saat ini, beliau bilang, beliau sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan pameran yang sudah di rencanakan dengan beberapa seniman di Venesia yang ia kenal sebelumnya. Juga ada beberapa tugas yang sedang ia jalankan di sana untuk rancangan produk baru di sebuah prusahaan empat ia bekerja sekarang.” Ujar Nada tunangan Chandra. Mendengar sebutannya pada Leon agaknya mereka begitu akrab. Sedikit rasa iri menggeliat di hatiku.
“beliau ada di Jerman?” Dhava begitu tertarik dengan ucapan nada mengenai Jeman.
“Ia Leon sekarang sepertinya sedang ada di Jerman dan sedang mengusung rencana besar perusahaan yang ia ikut jalankan. Namun tepat di mananya kami kurang tau. Karena dalam misi ini agaknya Leon sangant berhati-hati bahkan kami juga mempertanyakannya. Namun informasi tentang Leon masih dapat kami terima dari rekan kerjanya yang berada di Hamburg. Semua email bahkan akun lainnya ia tutup sementara waktu.” Ya tuhan kebetulan macam apa ini. Sejenak aku berfikir kami tidak akan di pertemukan lagi.
“Kalau begitu ada jalan lain kah kami bisa menemui Leon kami akan melakukan segala cara, tolong pak.” Ujar Dhava sedangkan aku hanya dapat memasang tampak mengiba agar diberi jalan keluar oleh Chandra.
“Tentu saja, jika anda bisa ke Jerman dan mencari leon. Saya akan memberi kontak Dwi rekan kerja Leon yang sedang berada di Hamburg hingga tiga hari mendatang. Dan saya akan mencoba meminta bantuan agar kalian bisa di pertemukan dengan leon walau kemungkinannya cukup kecil namun jika tidak di coba kita bisa rugi.” Chandra tampaknya sudah memperhitungkan kemungkinan kami bisa bertemu dengan Leon.
“Baiklah, kami bisa menyusul ke Jerman secepat mungkin, jadi tolong beri kami kontak yang bisa kami hubungi itu.” Seperti biasa. Rasanya ini kedua kali kejadian seperti ini terulang. Chandra memberi kami secarik kertas persegi panjang yang aku yakin seratus persen adalah kartu nama orang yang benama Dwi itu.
“Saya harap kalian bisa beremu dengan Leon secepatnya.” Ujar Chandra memberi senyuman yang cukup manis pada kami.
“Saya cukup berduka atas kepergian pak Alex, beliau  sungguh orang yang pekerja keras juga bisa di percaya. Tak satupun pekerjaannya yang sia-sia. Bahkan hingga kepergiannya. Setiap orang yang ikut membangun usaha dengannya memperoleh setidaknya sedikit keuntungan walau banyak yang berhianat dan menarik kembali semua donasi mereka namun mereka terlalu mudah mendapat keuntungan kenaikan harga saham dengan investasi Alex. Diapunya karakter menyenangkan walau cukup pemalu. Namun terkadang sifat pemalunya itu cerminan kepercayaan dirinya. Banyak yang tersirat dalam senyumannya. Dan banyak kebaikannya yang tertanam di hati banyak orang.” Senyumanku sedikit tergantung saat Chandra berkata seperti itu. Aku teringat bagaimana suamiku ini bertingkah manja padaku. Mengingat segala kebalikan yang di katakan chandra padaku dan hanya padaku ia tunjukkan.

***

Tak lama kemudian kami mengakhiri percakapan panjang kami. Chandra dan tunangannya pulang begitu juga Dhava. Tinggallah aku sendiri di rumah luasku. Aku teringat pertama kali aku dan Alex menapaki rumah baru kami saat itu. Rumah yang cukup sederhana dengan satu kamar tidur satu ruang tamu dan dapur juga kamar mandi sederhana.
“Wellcome di istana kita sayang.” Alex sepertinya senang dengan rumah baru kami bagaimana tidak setidaknya kami memiliki tempat berlindung sendiri tanpa bergantung dengan orang tua.
“ Suka gak?” Tanya Alex sambil mendekapku dari belakang.
“Banget!!!” Ujarku sambil membalik badan dan mengecup bibirnya dan memeluknya erat.
Kami pun mulai beberes dengan banyak peralatan rumah tangga yang kami beli walau masih banyak yang plastik tentunya tidak ngutang. Kami menata ruang tau dengan satu set kursi tamu sederhana dan sebuah TV juga beberapa piala yang kami kumpulkan semasa sekolah. Memajang lukisan-lukisan masa kuliah dan sederet foto.
“Yang lihat nih, ini pas acara kita nikah kok ada Tika sih?” Keluhku sambil memasukkan foto kedalam album.
“Loh, emang kenapa? Nih ada Dhava juga di bingkai foto pernikkahan kita.” Alex nampaknya santai dengan perkataannya.
“Ish, Dhava mah beda dia udah jadi temen aku dari kita SMA sayang.” Manjaku enggan memasukkan foto Tika dalam album. Alex selsai memajang foto yang sudah di bingkai.
“Nah trus, Dhava juga mantan kamu kan?” Alex duduk di sebelahku dengan menghadap arah yang berlawanan.
“tapi kan aku sama dia udah nggak kayak dulu lagi, dia udah jadi temen kita kan sedangkan  Tika nggak bakalan mau temenan sama aku sampai mati sekalipun.” Alex menatapku dengan setius walau senyum kecilnya bertenger di bibirnya tampaknya dia memperhatikan setiap ucapanku dengan pasti. Aku hanya diam melihat Alex yang menatapku seperti itu jauh dalam hatiku aku takut Alex akan menceramahiku karena Tika dan Dhava.
“Sayang”ujarnya dengan senyum yang sama, dengan cemas aku mengangguk. Lalu ia mengecup keningku dan memelukku dengan hangat.
“I love you” Biskannya yang lirih semakin membuat aku bertanya. Sungguh lelaki yang menarik walau sedah lama aku mencintainya selalu ada kejutan kecil darinya. Tak sepatah katapun ku ucapkan dan hanya memeluknyadan menenggelamkan wajahku di dadanya yang bidang.
“Walaupun sering cemburuan” candanya yang realistis selalu berhasil membuatku malu juga senang. Semakin kutenggelamkan wajahku karena malu sedangkan Alex hanya tertawa lepas sambil memelukku dan mengelus gemas kepalaku. Sungguh suamiku yang manis juga hangat. Seperti seduhan coklat hangat di malam hari. Semua kebiasaannya yang membuat aku begitu merindukannya. Caranya tertawa, memelukku dengan hangat, menciumku dengan lembut, memanjakanku dengan caranya sendiri. Sifat manjanya saat dia flu, atau rengekannya saat dia lelah, suara nafasya saat tidur, harum tubuhnya saat dekat denganku, suara langkahnya saat menghampiriku, setiap katanya yang begitu melekat dengan hidupku. Semuanya tetap disini meski ia bahkan tak dapat ku sentuh lagi.  Semua bayangan itu berlanjut hingga aku terlelap.

Promise You
 
Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang