Perasaan

36 0 0
                                    

Malam telah bertamu, hamparan bintang yang samar-samar terlihat di langit yang memerah  ditutupi bias lampu kota. Riuh suara kendaraan sedikit jauh dari rumah. Namun nampak jelas di sana banyak lampu yang menyala di sebrang sana. Aku dan Laty duduk di balkon sambil menikmati sepiring cookies dan secangkir susu. Sedari tadi kami hanya membicarakan planing yang akan di lancarkan dua bulan ke depan.
“ Mbak, gak buka bingkisan itu?” Laty melirik kearah bingkisan dari Raihan yang ia serahkan tadi pagi.
“ Udah tadi, tapi kayaknya sih bakalan aku balikin.” Ujarku sambil menyeruput susu di gelasku.
“ Loh, kenapa mbak?” Laty agaknya penasaran.
“Yah, nggak etis aja. Rasanya aku nggak  bakalan sopan jika menerima hadiah tanpa alasan.” Memang benar namun dalam hatiku ada magsud lain. Yang lebih tepatnya penolakan secara tegas yang di lontarkan secara halus.
“ Mas, yang ngasih ganteng loh mbak.” Laty nampaknya menggodaku.
“ Yah, ganteng juga buat apa coba Laty?” Memangnya apa gunanya. Aku juga tidak tertarik.
“Yah, sudah. Toh mbak juga masih punya pak Dhava.” Kali ini aku tau Laty mulai mencocok-cocokan aku dan Dhava.
“Punya apaan kayak barang aja deh.” Aku melirik handphone yang sedari tadi sepi tanpa notif.
“Bukan loh mbak, Pak Dhava itu orang nya guanteng, ramah trus kayaknya sih sayang banget sama mbak.” Ucapan Laty membuatku sedikit merenung. Memang benar Dhava begitu menyayangiku. Namun aku juga ragu, Dhava memang penyayang dan baik ke semua wanita yang ada diatas permukaan bumi ini. Lagi pula aku sudah melukai hati Dhava. Mana mungkin Dhava masih menganggap aku seperti dulu.
“ Laty, hati ini masih dimiliki orang yang sama.” Timpukku dengan linangan air mata. Laty tampak terperangah menatapku dengan mata besarnya.
“ Aku masih berat melepas Alex, aku masih berusaha memulihkan lukaku. Selama luka ini belum pulih mungkin berat untuk aku menerima orang lain Laty.” Laty mendekati ku dan mengelus-elus punggungku.
“Yaudah mbak, jangan nagis lagi kasian si kecil, ibunya nggak boleh stress.” Ujar laty yang agaknya cukup mengerti soal hal beginian.
“ Hum, kamu tau banget Laty. Padahal sendirinya masih jomblo.” Laty menatapku dengan dahi yan mengkerut.
“Mbak ngejek yah?” Laty melipat lengan di dada.
“ Ya habis, udah umur 24 masih jomblo juga. Kapan kawinnya?” Ejekku nampaknya laty sedikit kesal dan menggelitikiku.
“ Mbak,aku bukan jomblo tapi singgle terhormat.” Ucanya sambil berusaha menggelitikiku.
“Mau jomblo mau single tetep aja sendiri” Senda gurau kami cukup menghiburku. Meskipun hati masih bingung. Begitu banyak yang ia rasakan. Tawaku terbahak namun air mataku tak mau berhenti mengalir. Ia deras, tak terbendung. Bingung antara benar dan salah. Apakah aku begitu egois mencari Leon. Apakah jalan ini benar antara akudan Dhava. Aku bingug namun yang pasti hati ini masih menetap dengan satu orang yang sama, Alex.


***

Malam semakin larut, aku dan Laty berada di kamar. Laty sudah tidur duluan, sedangkan aku masih terjaga. Aku melangkah menuju balkon sambil memeluk erat kemeja suami ku. Sunyi, yang ada hanya warna merah temaram karena bias lampu kota di langit. Suara gemuruh kota samar-samar terdengar dari jauh. Serangga-serangga seperti berbincang saling sahut-menyahut. Aku penasaran topik apa yang mereka perbincangkan dengan begitu meriah. Tak tinggal angin juga menyapaku dengan hembusan sejuk. Seraya ia berhembus semilir bisikan menghampiriku.
“Hai sayang.” Suara yang akrab di telingaku. Suamiku yang begitu kurindukan. Serasa ia berdiri tepat di sebelahku. Aku tau dia di sana, namun aku tak ingin berpaling menghadapnya.
“Hai juga.” Dengan ramah aku menyahuti sapaannya.
“ Kok tumben jam segini belum tidur?” Tanyanya sambil menghadap padaku. Aku masih bergeming tak ingin memalingkan wajah kearahnya.
“Biasanya kamu yang duluan  tidur dari pada aku.” Ujarnya lagi. Hembusan angin membawa serta aromanya. Seakan ia benar-benar di sebelahku.
“Ia nih, kayaknya Dhea kena insomnia deh.” Sambil menarik nafas panjang aku menjawab tak ingin Laty terbangun.
“ Lah, insomnia? Sejak kapan?” Alex dengan logatnya yang sama.
“ Sejak waktu itu, kamu pergi.” Ucapku dengan suara yang seakan berbisik.
“ Aku gak pernah ninggalin kamu kok.” Alex terasa mendekat aku semakin tak ingin memalingkan wajah kearahnya. Hangat, aku tak menyangka akan merasakan ini lagi. Pandangan ku jauh mengarah ke kota yang terasa jauh namun begitu dekat. Semakin jauh rasanya kesadaran ku di curi oleh angan-angan yang terasa nyata.
“Kamu pergi, kamu biarin aku sendiri di sini.” Aku memegangi pembatas balkon. Alex tak berbicara ia hanya diam menatapiku seakan begitu menarik melihat aku begini.
“ Kamu ninggalin aku dan anak kita.” Suara angin begitu halus merambat di telingaku. Alex masih di sana mendengar keluhanku. Aku masih tak ingin melihatnya, karena aku tau jika aku melihat kearahnya semua ini akan berakhir.
“Dhea~” panggilnya seakan ingin ku lihat. Aku masih enggan.
“Sayang~” panggilnya lagi aku tak menyahut. Tak sadar ia sudah begitu dekat denganku. Aku tak mendengar suara langkahnya dan ia sudah dibelakangku memelukku. Dan itu terasa nyata. Aku hanya bisa diam dan menagis dengan pelan. Hangat , Alex memelukku dan itu terasa hangat.
“Jaga anak kita baik-baik yah~, jaga diri kamu juga. I love you honey~” Di kecupnya kepalaku dan itu nyata. Aku merasakan tangannya mendekapku aku masih takut untuk berpaling. Tangannya menggenggam tanganku aku takut melihat kearah nya. Aku ingin membalas pelukannya. Aku ingin dan memberanikan diri.
“Alex~” Aku membalik badanku dan semuanya hilang. Alex hilang, dia pergi lagi. Hangat pelukannya seketika musnah. Suaranya tak terdengar lagi. Seketika semuanya dingin. Angin berhenti menyejukkan namun kini membekukan. Suara serangga tak lagi seindah sebelumnya namun begitu riuh, seakan mengejek dan mencercaku. Aku terdiam dan membatu disana. Melihat kerarah kamar yang hanya di terangi lampu temaram, dan aku sadar kembali. Walau ingin kembali berkhayal namun aku tau Alex sudah pergi, lagi.

Promise You
 
Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang