Senja menyingsing menjelang magrib, seisi lorong ini bergemuruh dengan hentakan kaki yang susul menyusul saling berkejaran di iringi isak tangis. Kaki ku yang melemah ini berlari mengejar roda yang bergulir di depan sana sebuah ranjang dorong rumah sakit membawa orang yang sudah 9 tahun mengisi hidupku. Aku mulai bertanya apakah ia akan kembali menemaniku atau ini terakhirkalinya aku melihatnya dan mendengar suaranya.
2 bulan langkahku mulai bejalan pasti kembali, aku sadar aku takbisa mengurung diri di duniaku sendiri. Aku mulai melihat kembali ke jendela dunia baru dan meninggalkan dunia ku yang lalu. 21 maret 2020 jalanan bandung penuh sesak dengan perayaan kampanye besar-besaran. Seperti biasa aku menemui mertuaku di akhir pekan. Namun ada yang membuatku bingung harus berbuat apa sehabis membaca sebuah pesan masuk di group percakapan di telpon genggam milikku."....... reuni bersama angkatan 2015..."
Ratusan masyarakat berbondong-bondong memenuhi jalanan menyaksikan capres mempromosikan dirinya sendiri. Jujur saja aku cukup tidak tertarik dengan urusan semacam ini. Bukan berarti aku tidak memperdulikan bangsaku, namun aku rasa sama saja, rasanya muak dengan politik yang menyekik kehidupan manusia yang bertahan hidup di negara ini. Setidaknya aku tau rasanya bertahan hidup dalam himpitan politik sekelilingku. Sungguh melelahkan jika dibahas terlalu dalam. Namun sedikit ketertarikan saat aku menoleh kearah jendela mobilku, seseorang di sana. Seseorang yang rasanya mirip dengan kenanganku. Ku tatapi lamat-lamat pria berbaju biru di sebrang sana, namun iapun menghilang. Aku sadar aku tidak menghayal hanya saja masih sakit rasanya. Jalanan berangsur merenggang dan aku kembali menuju rumah mertuaku.
Kakiku berjalan memasuki pekarangan mertuaku yang sudah renta ini sungguh wanita yang luar basa. Wanita yang sudah memasuki usia 60-an ini masih aktif menggerakkan tubuhnya dengan gerakan yoga. Aku selalu mengagumi sosok wanita tangguh ini. Dengan mata tertutup dan tubuh dalam gerakan penutup, aku tau ia sadar dengan kehaadiranku." Hai ibu, bagaimana kabar ibu?" tanyaku santai duduk bersila di depannya.
"Rasanya aku baik-baik saja, bagai mana denganmu?" ujarnya sambil mengelus perutku yang datar.
"Cukup baik ibu, ibu sudah makan belum?, ini aku bawakan sedikit makanan untuk kita makan bersama." Aku menyodorkan kotak makanan berwarna hijau muda di depannya.
" Kemarilah, aku tau kau sungguh kelelahan." Ia menarik tanganku dan membaringkan kepalaku di pangkuannya. Aku tau, ia sadar bagaimana sakitnya perasaanku. Sejenak aku menumpahkan kerinduanku terhadap ibuku.
"Ibu esok hari minggu bukan?"
"Ia begitulah, ada apa?"tanya ibu dengan santai lagi.
"Aku ingin bertanya ibu, boleh tidak aku pergi reuni?" Mertuaku ini mengernyitkan dahi dan berganti senyuman.
" Tentu saja anakku, kau boleh pergi kemana saja kau mau, tapi janji jaga dirimu baik-baik." Tangannya mengelus kembali peruku yang datar.Hari ini sungguh membuat ku merasa nyaman, sinar matahari yang hangat dan hembusan angin yang ramah selalu berhasil membuatku melupakan sejenak semua masalah dalam hidupku. Sembari kami menyantap makanan aku bercerita tentang aku dan Alex semasa kuliah dulu. Semua kisah kami yang teramat menyenangkan hingga akhirnya semua itu terasa mimpi.
" Hahaha, ia bu , Alex sering tidur di pojokan perpustakaan bu, aku sering menjahilinya dulu." Sungguh senang rasanya mengignat kegilaan ku saat itu.
"Ku rasa Alex bukan anak yang suka molor di sembarang tempat." Tampak ekspresi ibu mertuaku yang sungguh kaget. Mengingat anaknya yang amat bersih dan teiti.
"Ia ibu, aku sering memasukkan pincil ke lobang hidungnya. Hahahaha." Pecah tawaku tak dapat ku bendung lagi.
" Sungguh mengejutkan kalau begitu. Ku kira anak itu tidak memiliki sisi aneh sedikitpun, ternyata Alex juga sesembrono itu." Ibu juga ikut tertawa dengan ku.
" Aku dan Leon suka menjahilinya. Hahaha, haha..., hah~" Sedikit demi sedikit aku mulai berhenti tertawa. Ibu mertuaku tertegun mlihatku, aku sadar tatapan itu, tatapan yang amat meng iba.
" Bagai mana kabar Leon?" Ibu tampak ikut bersedih mendengar nama tersebut. Aku juga tau betapa rindunya ibu dengan Leon.
" Entah lah ibu, terkadang aku juga bertanya-tanya." Air mataku perlahan berderai menahan sesak dan sakitnya denyutan di dadaku yang begitu mengganggu. Ibu menarikku dalam dekapannya.
" Entahlah siapa yang seharusnya yang lebih merasakan sakit di antara kita Dhea, tapi aku tau sakit itu tidak menyenangkan." Ibuku mertua ini , dekapan ini , sangat kuat dan tangguh.
Sore juga sudah bertamu ke kota yang cukup luas ini, senja menyingsing di balik tingginya gedung pencakar langit. Tubuhku yang lelah ku hempaskan ke kasur empukku. Namun aku sadar ada malaikat kecil sedang tumbuh di rahimku. Ku elus perut datarku.
" Maaf nak, bunda tidak sengaja. Yang sabar ya nak, bunda juga lelah." Ujarku mengajak malaikat kecil itu berdialok sepihak. Aku memandangi figura yang terpajang di dinding kamarku yang rasanya semakin luas semenjak dua bulan terakhir ini. Figura suamiku Alex yang mengingkari janjinya akan menemaniku sepanjang hidupku. Aku mencoba menahan rasa rindu ini namun sayang tetesan demi tetesan mengalir lembut dari pelupuk mataku.
" Hai pemohong tampanku?, apa kabarmu di sana?, apa kau cukup bahagia sehingga aku kau abaikan?" Ujarku menahan sesak udara yang keluar masuk dari rongga pernafasanku.
"Seyummu yang kulihat hanya itu saja dari kemarin, mana tawa lepasmu yang dulu?, aku merindukannya." Rasanya sakit sekali menatap senyuman manis milik suami ku ini.
" Aku rindu pelukan hangatmu. Membelai wajahmu, menciummu, mencumbumu. Hah~, aku merindukanmu." Aku semakin menjadi, bagaimana tidak sesaknya amat hebat mencekik kerongkonganku.
" Mana janjimu pemohong?, mana kata-kata manismu yang mudah kupercaya itu?, sungguh mengecewakan." Aku mengusap mataku yang penuh dengan air mata. Tangan dinginku itu perlahan menuju perutku dan membelainya.
" Kau tau?, kita menantinya sekian lama, kau dan aku menginginkannya, memperjuangkannya, dan saat ia tiba mengapa harus kau yang pergi?, kenapa?" Histeris, sungguh, aku tak sanggup dengan menahan tangis ini lagi. Aku lelah, aku pusing dan akhirnya aku terlelap.
Pagi harinya sebelum sebersit cahaya mulai merambat mengisi hari, aku pun terbangun memulai aktivitasku. Mencuci piring, memasak, dan mencuci piring. Semua pekerjaan itu ku selesaikan sebelum jam sembilan. Tangan ku dengan cermat mengusap cream di wajahku. Riasan yang tak begitu berlebihan ku aplikasikan di wajahku. Dress biru membalut tubuhku yang masih ramping dan rambut ikal yang ku gerai bebas sepinggang juga hils stiletto hitam di kakiku tidak lupa aksesories yang ku padukan dengan tas Chanel hadiah ulang tahun pemberian suamiku. Dan yang tak pernah kulupakan adalah cincin kawinku yang masih kugunakan hingga sekarang.
" Perfect, Saatnya menuju tempat reunian. Gimana yah penampilan mereka yang sekarang?" Hatiku bertanya-tanya. Tanpa pikir panjang aku pun berangkat ke lokasi yang mereka tentukan. Setelah beada selama 30 menit dalam pejalanan akhirnya aku sampai di sebuah cafe ala Italy di persimpangan menuju kantorku. Aku melihat rombongan yang sibuk dengan candaan di sebrang sana di balik kaca jendela cafe. Aku sudah dapat menebak kalu itu mereka yang sedang membuka kembali memory yang tertanam dalam sejak lama. Dengan langkah pasti aku memasuki cafe itu.
"Dhea?, itu Dhea kan?, Dhea sini cepet!!" Panggil seorang teman yang tak asing bagiku. Cleo si ratu gossip di angkatanku. Aku pun menghampiri mereka dengan sedikit gugup.
" Wah, Dhea sama sekali nggak berubah yah?" Ujar Tika yang dulu menganggapku adalah musuh bebuyutan. Mantan pacar suamiku, tepatnya hampir jadi mantan pacar suamiku.
" Hai Tika gimana kabar kamu?" Aku sudah terbiasa dengan tatapan dan carannya bebicara yang sampai sekarang rasanya tidak beubah sama sekali.
" Gak berubah apanya, Dhea makin cantik sekarang." Itu Fandy ketuaangkatan kami.
" Ah sama aja kok, sama cantiknya kayak dulu." Rafi, Raja gombal di kelasku.
"Ia Dhea makin cantik, semenjak jadi istri orang." Suara dan logat ketus itu aku sangat mengenalnya dia adalah mantan pacarku waktu di SMA sampai 3 tahun lamanya kami berpacaran.
"Oh, hai Dhava, apa kabar?" Dengan senyum ia menjawabku dan menghamiri kursiku seraya membawa kursinya duduk di sebelahku.
" Bagaimana kabar si kecil?" Tanya nya sembari menatapku dengan menopang dagu runcingnya. Manusia blasteran Korea-Indo ini selalu menggoda ku hingga kini walaupun aku sudah bersuami. Sampai Alex juga akhirya terbiasa dengan tingkah anehnya ini.
" Baik saja." Ujarku sambil mengelus perut.
" Wah, Dhea kamu lagi hamil?" Tanya Cleo dengan hebohnya membuat orang-oang menatap ke arahku.
" Hmm~, begitulah." Ujarku melempar senyum manis pada mereka.
" Wah selamat yah" Satu persatu ucapan meghampiriku.
"Oh ia gimana dengan Alex ku dengar dia meninggal, aku turut berduka Dhea." Vero yang sejak tadi diam mengejutkan semua orang.
"Tak apa aku sudah ikhlas." Ujarku menahan denyutan di dadaku.
" Wah ku ingat kalian baru 3 tahun menikah setelah 6 tahun berpacaran." Faby tampak antusias. Begitupula dengan manusa di sebelahku yang menatap penuh dengan rasa iba.
" Humm~ kukira begitu, setidaknya aku mengalami banyak masa menyenangkan saat besamanya, kepergiannya sudah ada yang atur. Aku juga tidak merasa begitu kesepian. Masih ada Ibu mertua dan peri kecilku di sini." Sungguh aneh rasanya namun itu juga cara yang ampuh menghibur diri sendiri.
"Gimana kalau aku yang jadi ayahnya?" Lagi-lagi Dhava menggodaku.
"Berhentilah bicara makan makananmu." Ujarku menyumpal mulutnya dengan sepotong roti sanwich buah.
"Hei bung, belum move on yah?" Rafi yah, dia mengolok-olok kami berdua.
" Hahaha, lalu bagaimana dengan Leon?" Ku kira itu pertanyaan yang menarik sekaligus menyakitkan. Karena aku juga mempertanyakannya. Namun Dhava menatapku intens aku tau ada hal yang aneh saat itu.
" Pulang nanti bareng aku aja." Dhava tiba-tiba bertingkah serius. Aku hanya menatapnya dengan snyum hambar dan rasa yang bertanya-tanya.
Seiring makanan yang tersuguh berangsur habis kami pun mengenang banyak kenangan yang tak jauh rasanya dengan coklat. Bagai mana tidak, Begitu manis juga menyisihkan sedikit rasa pahit. Kenagan yang ada bersama orang yang sebagian besarnya juga tak tampak di hidup ku lagi. Belum lagi setidaknya ada seseorang yang hanya dapat kukenang dan bahkan untuk mengharapkannya kembali aku pun tak punya hak lagi. Penampilan cantik ini bahkan tak bisa menyembunyikan pahit ku yang telah di beri pemanis oleh cerita yang mengesankan. Hingga akhirnya waktu sudah termakan banyak. Kamipun mengusaikan semua percakapan ini.
Entah kenapa, mentari yang tadinya terik meredup dan berubah menjadi mendung. Tetesan-tetesan hujan mulai menderu dan berjatuhan secara perlahan. Dhava menghampiriku dengan sebuah payung yang berada di genggamannya dan sebersit senyuman manis di bibirnya.
"Ayo kita pulang." Aku hanya senyum sambil mengernyitkan alis.
Ia menuntunku dengan payung yang melindungiku dari hujan. Aku tau ia seromantis romeo. Tapi itu memang sifatnya. Aku menunggu apa yang ia ingin bicarakan bahkan di dalam mobilpun ia tak berucap apa-apa. Mungkin berat baginya memberi tahuku. Gombalan yang ia utarakan mungkin sudah membuat aku kenyang menggatikan semua makanan yang ingin aku santap. Tapi kali ini bukan gombalan yang ia ingin utarakan namun suatu fakta yang ia sendiri juga bingung bagai mana mengungkapkannya. Bagaimana tidak aku mengetahuinya. Aku mengenalnya bukan baru kemarin sudah 14 tahun lamanya kami saling kenal.
" Dhea, kamu masih mencintai Leon?"Tiba-tiba pertanyaan yang tak kusangka akan ia utarakan berhasil membuat nafasku berhenti sejenak. Aku tak mengerti apa yang ada difikirannya aku tak berucap apapun dan hanya menatapi wajahnya dari samping. Ia hanya bertanya begitu saja tanpa bertanya apapun lagi.
"Dhava, hentikan mobilnya." Ujarku dengan wajah datar penuh pertanyaan yang mengusik. Iapun menurutinya. Mobil itu berhenti di sebrang trotoar kota yang entah kenapa tampak lengang saat itu.
" Aku serius, apa kamu masih cinta sama Leon?" Wajah yang sangat penasaran itu bertanya dengan antusias. Aku tak mengerti namun aku mencoba untuk tenang.
" Kok tiba-tiba nanya gitu sih?" Aku mengontrol suasana hati ini dengan susah payah. Kualihkan pandanganku. Namun tatapnnya masih mengusikku.
" Hmh~, aku sudah bilang aku serius Dhea, kalau ia jawab ia jika tidak jawab dengan jelas." Kurang jelas apa lagi pertanyaan Dhava itu. Aku bingung, lalu harus aku jawab apa. Sebenarnya sederhana menjawabnya namun sulit bagiku menjawabnya.
" Dhava, boleh aku tahu apa alasanmu bertanya?" Kelah ini entah bagaimana aku mendapatkannya Dhava mengerutkan dahi.
"ha ha ha ha" Suara tawanya yang begitu suram terdengar seperti tercekik.
"Begitu sulitkah untuk menjawab pertanyaanku?, aku hanya memberimu dua caption, 'Ya' atau 'Tidak', kok malah nanya balik sih?" Dahava menyematkan sedikit senyum manisnya di ujung kalimat. Kubalas senyum itu dengan senyuman yang lebih manis dan sederet gigi rapi di dampingi lesung pipi yang bertender di kedua pipiku.
"cewek itu emang aneh yah?, memperumit segala urusan aja, kayak kamu pertanyaan nya sederhana loh." Ujarnya lagi membuatku tertawa karena ekspresinya yang begitu lucu. Ku sentuh ajahnya yang sepertinya agak keram meenghadapi sikapku yang nyatanya kalem dan ngeselin.
"Kamu itu nggak berubah." Iapun meraih tanganku dan melepasnya dan ia genggam dengan wajah serius namun tak berharap.
"Sekarang jawab pertanyaan aku ok?" Aku memandangi wajahnya dengan intens dan memantapkan diri, lalu menganggukkan kepalaku.
"Kamu masih mencintai Leon?" Perkataannya itu sungguh membuat aku bertanya namun jika aku tak menjawabnya aku juga takkan tau jawaban dari pertanyaan ku sendiri. Ku genggam kembali tangannya dengan tanganku yang sebelahnya lagi.
"Ia, aku masih mencintainya." Setetes air mata itu menetes dari pelupuk mataku.
"Hhh~, bagaimana dengan Alex?" Senyum pahit itu kembali ku rebahkan di bibirku.
" Hmmm'', aku juga masih mencintainya. Aku mencintai mereka beerdua sama besarnya tapi entah kenapa aku juga tidak mengerti kenapa bisa terjadi. Tapi yah, sudahlah, keduanya bahkan tak dapat kumiliki lagi. Aku hanya butuh bersabar dan biarkan semuanya berlalu." Tampak Wajah Dhava sangat mengerti. Dan menatapku penuh arti, yang aku sendiri bahkan tak mengerti sama sekali maknanya.
"Lalu jawab pertanyaanku, apa alasannya." Dhava tersenyum teduh, ia mengusap kepalaku.
"Kalau begitu kau harus janji tak akan tersiksa lagi OK?" Dhava menggenggam erat tanganku.Aku hanya tersenyum manis tanpa menjawab.
"Leon, aku tau dia di mana." Sontak kata-katanya membuatku benar-benar hancur sekaligus bahagia. Jantungku berdetak kencang seakan beradu cepat. Air mataku semakin deras keluar mengimbangi air hujan yang mengalir di kaca mobil. Aku merasa Leon tak kan kutemui lagi namun secercah harapan timbul dalam hatiku. Apakah ia masih bisa kutemui?.
"Dhava" Ujarku tak dapat berkata-kata dan hanya semilir kata dengan suara rendah yang keluar dari mulutu yang rasanya akan terkunci. Dahava menarikku dalam peluknya.
"Aku janji akan membawamu padanya." Dhava serius dengan kata-katanya. Aku tau itu, harapan itu semakin kuat ku genggam. Aku percaya ia akan membawaku pada Leon. Peluk hangatnya masih sama dan masih ampuh menenangkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise You
RomanceAku mencintai dua oran yang seharusnya tak kucintai Aku bagai berdiri di depan dua jalur yang berbeda Aku tak tau harus mengambil jalur yang mana Hingga akhirnya keputusanku meninggalkan salah satunya dan mengambil jalur lainnya. Semenjak Alex meni...