K E T I G A

1.1K 12 2
                                    



Menggunjing sama dengan memakan bangkai saudara sendiri. Siapa yang tidak ngeri?

"Kamu sedang bertanya."

Dan aku tersenyum. Semoga Tuhan tidak marah padaku. Sebisa mungkin aku tak menyebut nama orang-orang yang sedang kubicarakan. Tapi aku yakin kamu pun tahu siapa yang kumaksud, mengingat polemiknya lumayan ribut di masyarakat. Terlebih, sang istri pertama marahnya bukan main sampai harus menulis cuitan panjang di media sosial—menggalang banyak komentar sana-sini.

Poligami memang isu sensitif di masyarakat. Bahkan sebagai perempuan, kupingku geli mendengar omelan ibu-ibu yang berkata, 'Nikah lagi kok gak izin istrinya!'

"Secara syariat, memang laki-laki tidak perlu meminta izin untuk menikah lagi." Kamu tidak menoleh padaku, memilih sibuk dengan tugasku yang sedang kamu cek. "Secara syariat."

"Lalu?"

"Secara syariat dia tidak salah. Tapi, syariat adalah hukum yang paling dasar. Menjalani hidup tidak sesederhana itu. Poligami tidak cuma perkara syariat. Ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan," jelasmu sembari (akhirnya) menatapku. "Pernikahan itu adalah komitmen dua orang. Laki-laki harus mempertimbangkan apakah dia sudah adil dan mampu. Dan kamu tahu yang disebut mampu? Termasuk kemampuannya dalam mendidik istrinya."

"Jadi, dua-duanya berdosa?"

Kulihat kamu terdiam sesaat. Mengetuk palu bahwa manusia lain berdosa adalah sesuatu yang riskan mengingat kamu tahu, kamu pun punya segunung tanggungan dosa.

Aku menunggu.

Kamu terlihat menghela napas diam-diam. "Aib itu aurat."

Kepalaku terangguk pelan.

"Aurat itu bukan hanya sekadar kain-kain yang terjulur di tubuhmu. Aurat adalah segala sesuatu yang tidak sepatutnya kamu tunjukkan kepada orang lain. Termasuk aibmu. Aib suamimu."

Aku tersenyum tipis. Sedikit banyak, aku menertawai diriku sendiri. Ketika aku membaca artikel tentang masalah itu, aku tak menelitinya lebih jauh. Panas dan miris sendiri melihat cercaan-cercaan pro dan kontra yang membanjiri kolom-kolom komentar. Aku menyayangkan tersebarnya kalimat-kalimat buruk di media sosial. Yang kupikirkan hanyalah, kasihan. Kasihan karena urusan seprivasi itu harus jadi konsumsi masyarakat. Dengan secuil ilmu yang kumiliki, aku memilih diam.

Tapi di hadapanmu aku duduk dan membuka mulutku, meminta pendapatmu seolah apapun jawabanmu, aku akan mendapat sebuah cahaya di sana—tambahan ilmu, kilahku. Karena aku hanyalah sebuah tong kosong, yang hanya akan menambah riuh jika aku ikut berdiskusi dengan orang-orang yang belum memiliki pemahaman lebih dalam. Syariat saja belum tentu, apalagi yang lebih mendalam lagi. Kami akan menjadi tong-tong yang saling bersahutan.

Kamu, cahaya.

Yang saking silaunya, kamu tidak mampu melihat apa yang ada di sekelilingmu. Aku. Yang diam-diam telah kuluruhkan segala tegak jiwa angkuhku. Kita duduk berhadapan, dengan pikiran yang penuh, yang rahasianya tidak kita ketahui satu sama lain, kecuali diri kita sendiri dan Tuhan. Tuhan ada di dekat kita. Kuharap Tuhan memaafkanku. Kuharap Tuhan memaklumi kesunyian yang canggung di antara kita.

Mungkin Tuhan duduk di dekat kita, diam menyimak dialog antar umat manusianya—sama seperti rekan-rekanmu di meja lain yang tak berminat mengintervensi pembicaraan kita soal hidup di dunia yang hanya sementara. Sepetak ladang permainan dan canda gurauan belaka. Yang bisa jadi sia-sia jika kita terjebak dalam segala menggiurkannya tipu daya dunia. Bukankah begitu, Tuhan?

Tuhan memang duduk di dekat kita. Dan kuyakini dalam prasangka baikku, Ia lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Menyaksikan pada iris mataku, terpantul bayang sosokmu.

Saja, bukan yang lain.


...

"Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Al Mujadilah [58] : 7)


Dialog untuk TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang