MAHA BESAR

262 5 0
                                    



Seberapa cepat Tuhan menjawab doa umatnya?

Ada barisan kalimat yang berputar dalam ruang pikiranku. Kalimat yang mendesak ingin terlepas dari lisanku setiap aku merindukan saat-saat menghadap pada Tuhan. Kupinta pada-Nya, 'Berikanlah petunjuk-Mu, pertanda baik-Mu, karena hamba berprasangka baik pada Engkau, Wahai Tuhan semesta alam.' Diikuti baris-baris tipikal yang akan diucapkan perempuan yang takut jika terjadi perdebatan dalam kepalanya—antara ingin terus memikirkan Tuhan, namun justru bayang wajah hamba lain malah terus-terusan muncul—berlarut-larut dalam waktu lama. Apalagi kalau sampai ujungnya, berakhir macam lagu Kasih Tak Sampai. Kerugian yang serugi-ruginya kerugian.

"...Tapi coba kita selami adakah mereka tidak mengimani lafal Allahu akbar dalam hidup mereka ketika mereka konsisten mengayuh becaknya, menggerakkan sapunya, atau mendorong gerobaknya sembari percaya bahwa Tuhan itu Maha Besar bahkan jauh lebih besar dari segala macam masalah perut yang mereka hadapi..."

Aku merindukan seorang hamba yang mengingat namaku saja kuragukan. Rahasia Tuhan yang lebih mudah kubayangkan jawabannya sebagai tidak. Aku menamakannya sebagai perlindungan terhadap diri sendiri.

Tapi ketika aku memilih menenggelamkan diriku dalam kemustahilan itu, pesan panjangmu itu masuk ke dalam ponselku. Pesan panjang yang berisi kritikanmu terhadap keadaan dunia, kebijaksanaan manusia, dan jalinan kasih untuk Tuhan. Tulisan dan lisanmu yang terlahir dari jiwamu selalu dapat menyihirku dalam kecanduan yang seolah tak terselamatkan. Maka ketika tampilan ponselku masih menunjukkan bahwa kamu sedang daring (dalam jaringan alias bahasa awamnya: online), aku memanggilmu dalam satu kata balasan dalam jendela percakapan kita.

"Iya," responsmu setelah kupanggil.

Aku tersenyum. "Aku mau tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu."

Tak kutambahkan lagi kalimatku. Sengaja. Aku ingat betul, bagaimana sahabatku yang selalu menjadi teman bicaraku gemas sendiri dan meminta aku mengonfrontasimu—meminta kejelasan atas alasan kenapa kamu tetap mengirimi pesan-pesan panjang pada perempuan yang telah kamu tolak pernyataan cintanya berbulan-bulan lalu ini.

Tapi aku tak ingin melakukannya. Kamu masih mengirim pesan padaku dan mau bicara denganku, meski isinya membahas tentang Tuhan saja, aku sudah senang bukan main. Maka nikmat Tuhan manakah yang kudustakan?

"Nggak ada apa-apa."

Jawabanmu membuat aku tertawa seketika. Jantungku mendesir dan berdegup riuh. Kupanggil Tuhan berulang kali saking senangnya aku. Bagaimana tidak. Jawabanmu akan lebih nyambung jika aku menanyakan pertanyaan (yang sahabatku sering sekali menyuruhku melontarkannya), 'Kenapa kamu mengirimiku pesan beginian?'

Tapi masalahnya, responsmu terlalu berbau cenayang.

"Bentar, aku belum selesai bicara. Aku mau nanya sesuatu."

"Jangan. Aku nggak bisa menjawab."

Rasanya seperti tersedak membacanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, dengan bibir yang masih menguarkan tawa. Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu ketika kubilang aku ingin bicara dan bertanya sesuatu? Kenapa kamu melarangku?

Apa kamu kuatir aku menyatakan perasaanku untuk kedua kalinya?

Kamu bilang kamu tidak bisa menjawab, dan aku tidak siap ditolak kedua kalinya. Tenang saja.

"Sebentar ta. Belum juga kuketik," balasku. Kutuliskan pertanyaanku yang sebenarnya. "Makna Allahu akbar... Kenapa ya saat kita sholat, kalimat seruan itu diulang berulang kali? Maksudku, kita yang sholat ini, tau betul Allah itu Maha Besar, Maha segalanya. Kenapa Tuhan menjadikan sholat itu dipenuhi dengan kalimat itu? Di asmaul husna, maha-maha nya kan banyak. Menurutmu pribadi kenapa?"

Kamu menulis jawabanmu cukup lama. Kamu tahu kenapa aku begitu senang ketika hatiku menemukanmu? Karena di antara masa-masa yang bergulir di antara kita, setiap kali aku merindukanmu, aku ikut menantikan saat-saat menghadap Tuhan, untuk mencurahkan semuanya.

Dialog-dialog kita untuk Tuhan, mentransmisikan kebijaksanaan jiwamu kepadaku.

"Allahu akbar buatku pribadi itu lebih dari sekadar arti sempit sebuah bahasa yang hanya 'Tuhan Maha Besar'. Kenapa dalam sholat ucapan itu diulang-ulang? Karena sholat sendiri ialah pengambilan jarak antara manusia dengan dunia. Yang manusia itu sendiri akui lebih besar adalah sang maha pemilik saham, lebih besar dari apa pun di dunia. Sholat itu penyeimbangan frekuensi; usaha melepaskan diri dari gelombang yang merusak frekuensi kemanusiaan. Oleh karena itu manusia harus menghilangkan dunia dan dirinya lewat pengakuan atas kebesaran Tuhan."

Jadi sekarang aku memahami maksud arah penjelasanmu. Bahwa bukan lantas Tuhan menunjukkan sifat maha besarnya lewat sekadar lafal. Karena tanpa itupun Tuhan sudah 'besar'. Ungkapan itu dalam proses sembahyang adalah pernyataan sadar manusia bahwa manusia tersebut dan dunia ini bukan apa-apa di hadapan Sang Tuhan.

Aku tersenyum. Jadi kalau kamu bisa menjawab pertanyaanku dengan sebaik ini, pertanyaan macam apa yang kamu bayangkan sehingga kamu tadi bilang 'Aku nggak bisa menjawab'?

"I see. Tuhan Maha Besar." Kupandangi layar ponselku. Merasa cukup dengan kebesaran Tuhan yang menggerakkan jemarimu di tempatmu sana, sehingga pesan panjangmu sampai padaku—membungahkan rongga dadaku. "Lebih sulit mengimaninya dalam perbuatan daripada cuma mengucapkannya."

Dua centang berwarna biru tampak di layarku. Aku tahu kamu tak akan membalas lagi pesanku. Tapi bagiku sudah cukup. Tak mengapa. Kamu yang memulai membuka jendela percakapan. Aku yang mengakhirinya—dan berharap Tuhan menggerakkanmu lagi esok hari.

Karena aku mengimani, Tuhan Maha Besar.



...

"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. al-Baqarah [2] : 255)

Dialog untuk TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang