E S A I

210 3 0
                                    



Sebulan setelah penolakan yang kamu lontarkan tepat di depan mukaku, aku merasa Tuhan ingin menguji seberapa kuat aku menghadapi masalah remeh bin ecek-ecek ini. Sebulan yang lewat itu, kita kehilangan komunikasi dan aku tidak datang lagi ke kantormu. Lalu tiba-tiba pesan panjangmu masuk. Namamu yang muncul di layar ponselku kala itu, mendatangkan tremor kasat mata di ujung-ujung jemariku. Salah seorang teman dekatku (laki-laki) yang paling hobi sekali menamparku dengan logika ketika aku terlalu berimaji terhadap sikap baikmu, mengingatkanku dengan petuah simpel.

"Dia pasti berpikir, sebulan sudah cukup untuk membuatmu sadar diri dan move on dari penolakannya. Karena itu dia menghubungimu lagi."

Selama ini, terpatri dalam pikiranku bahwa lelaki adalah ciptaan yang dianugerahi sifat jahat. Bagaimana bisa kamu menolakku tapi masih membuka jalur komunikasi dengan perempuan yang telah kamu buat menangis meratap pada Tuhan karena hancur hati?

"Bukan jahat. Tapi dia gak mau kehilangan teman yang menurut dia asik, enak diajak ngobrol, baik. Kamu." Teman laki-lakiku mengungkap sudut pandangnya. "Kamu, cuma, temannya."

Logika itu kujejalkan paksa di pikiranku, agar imaji yang diungkapkan teman baik perempuanku yang bilang, 'Mungkin dia menyesal, mungkin dia merasa kehilangan, mungkin, mungkin...' tidak berkembang layaknya virus di dalam kepalaku. Perempuan menggunakan hati ketimbang akal. Maka wajar kan, aku mencari pendapat dari dua sisi?

Satunya membungahkan, satunya menjatuhkan.

Kutatap kembali pesan panjangmu.

'Sekolah-sekolah semakin subur menjamur. Menyesaki tiap-tiap desa yang membutuhkan uluran tangan pendidikan. Wajah sekolah dihias sesuai dengan visi misi pendiri, memproduksi lulusan yang laris di pasaran. Target kelulusan dimobilisasi jadi standar angka tanpa ketertegakan moral dan martabat. Calon lulusan diuji kecerdasan parsialnya. Sekalipun ia juara jujur dan santun se antero kabupaten jika angka di rapornya tidak sesuai standar tentulah predikat gagal lulus niscaya akan disandang.

Lebih lucu lagi, pendidikan modern memberikan angka pada sikap yang diproduksi oleh calon lulusan. Memang apa yang direpresentasikan oleh angka 10, 100, 1000 atau angka-angka yang lain dalam menjelaskan tingkat kejujuran, tingkat keihklasan dalam bekerja sama, tingkat kerajinan dalam mempelajari apa yang disampaikan.

Manusia jaman sekarang mengagungkan capaian angka-angka dalam berproses untuk menjadi terdidik tanpa tahu alasan apa sebab dia mencapai angka tersebut, ada tanggung jawab apa atas angka yang dicapai, atau sekedar tahu kenapa dia harus bayar mahal-mahal, duduk bertahun-tahun menempuh pelajaran ini itu tanpa tahu alasan kenapa ia harus ikut sistem itu.

Sangat tak mengherankan jika beribu-ribu keluaran dunia pendidikan jaman sekarang menyembah berhala angka-angka tanpa tahu kualitas inti dari suatu pembelajaran, capaian, serta hulu hilir pendidikan. Calon-calon lulusan begitu ramai dan beringas bersaing sekedar untuk memburu untung recehan tanpa peduli apakah jalannya itu ia tempuh dengan menggandeng atau malah menginjak kaki, badan, bahkan kepala saudaranya yang kesempatannya dikebiri oleh penyedia sistem pendidikan.

Yang berpengetahuan menjadi apatis sejati atas karut marutnya lingkungan sekitar. Yang dianngap dlahom berserikat memberdayakan dirinya agar bisa jadi maling musiman. Yang punya kesempatan coba-coba main nakal agar bisa kejar setoran. Lembaga-lembaga pendidikan dijadikan tempat perniagaan yang tak kenal mana keluarga, mana saudara, mana tetangga. Pendidikan-pendidikan tingggi diselenggarakan secara massal hanya untum mencetak lulusan apatis pengejar wabal keduniaan.

Manusia hilang martabatnya ditelan lembar-lembar ijazah dan tepokan beberapa lembar rupiah. Apakah itu hasil pendidikan jaman sekarang? Tolong jangan tambahi beban pikiran saya yang hampir pecah hanya untuk tahu besok bisa makan atau tidak.'

Dialog untuk TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang