MENUHANKAN PERUT

307 3 0
                                    



Hanya Tuhan yang tahu betapa piciknya aku.

"Lalu mereka bercerai."

Aku mengangguk merespons tebakanmu yang kamu lontarkan sembari tertawa kecil. Antara miris atau memang menertawakan kisah-kisah manusia di dunia sekarang. Kamu sendiri yang bilang, bagaimana manusia mampu meniagakan iman dan Tuhan, memaksakan diri bekerja demi stabilisasi kekayaan. Amit-amit benar godaan iblis. Hebat benar dalam upayanya membutakan manusia sebagai bentuk janjinya pada Tuhan ketika ia merutuki Adam dahulu itu.

Tatapan matamu tak lagi meredup, disihir oleh membosankannya kertas-kertas tugas yang kuminta kamu merevisinya. Kuterka, kamu pasti ingin menertawakan topik diskusi yang kubawa. Lihat, kan? Betapa piciknya aku yang cari-cari topik agar bisa berdialog denganmu. Bagaimana tidak, dengan santainya aku mengutip berita yang sedang tren sekarang dan bertanya, 'Menurutmu bagaimana?'

Pasangan yang terlihat islami, lalu dihajar prahara ketika sang suami kembali ke panggung sandiwara demi menggelitik perut orang-orang yang butuh hiburan. Sang istri tak rela dinafkahi dari hasil pekerjaan yang bagi wanita bercadar itu, bertentangan dengan keyakinannya pada ilmu rezeki. Lalu bejibun umpatan mengalir di layar media. Mereka berlomba-lomba bilang, 'Perempuan tidak tahu diuntung. Suami cari rezeki bukannya didukung!' atau sekadar umpatan singkat yang menusuk, 'Istri durhaka!'

Ngeri benar. Sedikit banyak aku berharap wanita itu kehabisan kuota, agar ia tak perlu mendapati liarnya dunia maya yang sedang menghakiminya karena bertahan dengan keyakinan yang ia gigit sekuat jiwanya—bahkan meski harus dibayar dengan perceraian.

"Saya nggak suka, sama komentar-komentar yang ironisnya juga dilontarkan oleh sesama perempuan." Aku menggerutu tanpa sadar. "Jadi, menurutmu bagaimana?"

Kamu tersenyum. "Gampang lah."

Aku diam.

"Berarti dia masih menuhankan perutnya."

Ah, iya.

"Banyak orang yang masih menuhankan perutnya daripada menuhankan Tuhan. Karena banyak orang yang lebih takut lapar daripada takut nggak sembahyang." Kamu menarik napas santai. "Ya gimana, dunia ini kelihatan. Tuhan?"

Tapi aku dan kamu sama-sama tahu, kita bisa sama-sama mati kalau sampai Tuhan marah karena dialog setengah ngelantur ini. Atau hanya aku saja yang takut seperti itu. Karena kamu selalu bilang, Ar-Rahman, Ar-Rahim.

"Tuhan tahu apa niat kita."

Aku mengangguk, menyenangi kebijaksanaan dan keluguanmu yang selalu muncul di saat yang bersamaan. Diam-diam, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa agar kisah-kisah yang begini ini akan menjadi caraku mendapat pelajaran. Kamu bilang, agama ini telah mengajarkan kita untuk makan secukupnya—berhenti jika dirasa cukup. Tapi manusia memang dilengkapi dengan hawa nafsu dan keserakahan. Jika uang seribu sudah cukup, tapi ada kesempatan untuk mendapatkan dua ribu, tiga ribu, apa manusia akan berhenti di angka seribu begitu saja dalam satu kali pikir? Terlebih jika perut masih sanggup menampung. Kamu tertawa. Cukuplah soal rezeki ini, kita berusaha semampunya. Aku pernah mendengar ada tiga hal yang sudah ditulis (ketok palu) sejak jauh sebelum manusia dilahirkan: Rezeki, Jodoh, dan Mati. Sungguhkah yang pertama dan kedua?

Kutatap wajahmu sekali lagi.

Mungkin aku akan menanyakannya lain kali.



...

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. (ar-Rum [30] :7)

Dialog untuk TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang