T U M P E N G

170 4 0
                                    


Bagaimana caramu menyikapi waktu yang diberikan Tuhan?

Kutanyakan padamu soal cara pandangmu terhadap pendapatku atas pertanyaan di atas. Setengah mati aku menjelaskan apa yang ada di pikiranku—kesal sekali karena aku yang harus menahan canggung luar biasa hanya karena sebab kamu menatapku, atau lebih tepatnya menyimak. Entah kamu sadar atau tidak, aku harus menatap jendela kaca di sampingmu untuk mengalihkan pandanganku. Kamu yang polos mungkin tidak sadar. Tapi otakku masih sepenuhnya sadar. Tuhan pasti sedang tersenyum melihat kelakuan hambanya satu ini.

Orang bilang, jatuh cinta itu menguatkan. Apanya? Aku menjadi hamba yang semakin lemah akibat hati yang ketergantungan pada makhluk mortal lainnya. Astaga, Tuhan.

"Kita andaikan nasi tumpeng saja ya." Untuk lebih memudahkan arah maksudku, aku memutar otak dengan cepat. "Kalau ulang tahun dan ada tumpengan, akan ada potongan pertama yang khusus kan? Katakanlah untuk orang yang paling disayang."

Kutatap lagi kamu.

"Misalnya ayah kamu."

"Oke, lalu?"

Aku menghela napas dulu. Jantungku kadang sulit diajak kompromi. Padahal aku dan kamu sedang tidak membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi—lebih ke urusan agama dan pengabdian pada Sang Pemilik Kehidupan. Ya, jadi mari kita andaikan dengan ayahmu. Aku tidak yakin jantungku akan baik-baik saja kalau aku mengambil perumpamaan 'perempuan yang kamu cintai'. "Jadi, potongan pertama tumpengnya, kamu berikan ke ayahmu. Ayahmu jelas nggak akan menuntut kamu ngasih semua nasi tumpengnya buat beliau, kan?"

"Paham. Lalu?"

"Nah, kurasa Tuhan juga begitu. Tuhan memberikan kita dua puluh empat jam untuk hidup selama sehari dan sebagai bentuk kasih sayang, sudah sepatutnya manusia mengabdikan sepotong yang paling khusus untuk Tuhan. Bukan sisa-sisa."

Kamu tersenyum.

Aku semakin kikuk. Kamu benar-benar menyebalkan kalau memberi respons pada ceracauanku yang kadang tak teratur. "Kita lihat saja, berapa banyak manusia yang memberikan waktunya untuk Tuhan dalam bentuk jam ibadah itu, dilakukannya setelah kelar urusan dunianya. Sholat ditunda-tunda. Dunianya jadi nomor satunya." Kutarik napas lebih dalam. "Bukankah lebih bagus kalau manusia mengalokasikan waktunya khusus untuk Tuhan, sebagai bentuk cintanya untuk Tuhan?"

Lalu aku memberinya pengandaian satu per dua puluh empat.

"Katakanlah kita, para manusia ini, komitmen menyediakan satu jam saja dari keseluruhan dua puluh empat jam yang dianugerahkan Tuhan."

"Jadi menurutmu perlu?"

Aku mengangguk. "I think. Maksudku, hanya satu jam akumulasi dari seluruh jam ibadah. Sholat, mengaji, berdoa, tapi dahulukan seperti yang dijanjikan. Ayahmu pasti juga tidak ingin kamu menyerahkan satu tumpeng penuh itu ke beliau, kan? Kurasa Tuhan juga tidak akan memintamu memberikan dua puluh empat jam untuk-Nya. Tidak mungkin Tuhan meminta kita duduk di masjid dua puluh empat jam, kan? Berikan satu jam, dan dua puluh tiga sisanya, gunakan untuk seluruh keperluanmu terutama yang dituntut oleh kehidupan duniamu. Bukankah begitu?"

Kamu memandangku dengan tatapan yang teduh.

Hingga rasanya aku tidak ingin bicara lagi.

"Kalau aku ya, teh, kalau aku ini ya, aku nggak berminat mengeksklusifkan satu per dua puluh empat itu." Kamu tersenyum. "Aku nggak bilang bahwa cara itu nggak perlu. Karena kalau kamu mengeksklusifkan satu jam itu untuk Tuhan, Tuhan pasti juga merasa senang. Senang pada bentuk cinta hamba-Nya."

Bibirku bungkam.

"Aku pribadi, dua puluh tiga jam sisanya, juga kuberikan pada Tuhan. Meski bukan dalam bentuk sembahyang khusus seperti yang kamu jelaskan. Tapi dalam semua lini tindakan yang kulakukan. Sebisa mungkin aku melakukannya." Mengingat dan mencintai Tuhan di setiap detikmu.

Aku tertawa kecil. "Ya kalau itu aku juga tahu. Satu jam ibadah kan bukan berarti dua puluh tiga jamnya digunakan untuk panen dosa. Tentu saja, dua puluh tiga jamnya diisi dengan terus mengingat Tuhan." Aku gemas padamu.

"Nah itu tahu."

Kuanggukkan kepalaku pelan. Kutatap parasmu sekali lagi, berusaha menekuri detailnya dalam ingatanku. Sebagian orang berilmu akan mengatakan bahwa aku berdosa besar, menatap wajah lelaki yang bukan halalku. Dan aku beristigfar untuk itu. Namun ketika aku melakukannya, di detik-detik itu pula aku mengagumi Tuhan yang mengirimmu sehingga kini kamu berada di hadapanku. Dan aku bertakbir untuk itu.

Sungguh, aku meyakini bahwa dialog atau pembicaraan kita ini terwujud atas kehendak Tuhan.

Detik ini, bukan masuk satu per dua puluh empatku.

Apakah ini artinya, aku telah menjalankan dua puluh tiga seperti caramu?

...

Katakanlah: "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS Al An'am: 162)

Dialog untuk TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang