Hari Berhujan

732 112 118
                                    

Salahkah jika suka? Bukankah rasa tak pernah tahu kepada siapa ia akan menyapa?
💧💧💧

Gadis berkacamata dengan rambut dikucir kuda sedang menyusuri lorong Bimasakti Internasional High School dengan tergesa-gesa. Dia, Lluvia Arimbi Gumelar sampai di lobi utama dan langkahnya tiba-tiba terhenti.

Hujan.

Gadis itu bergumam dan menghirup dalam-dalam aroma yang menguar saat hujan bersentuhan dengan dedaunan dan tanah kering, orang-orang menamainya Petrichor.

Gadis itu menengadahkan tangan merasakan tetes-tetes air hujan yang dingin menusuk telapak tangannya. Ia suka hujan. Hujan itu seperti mesin waktu, tetes demi tetesnya selalu membawa pesan, membawa kenangan di masa lalu.

Setiap kali hujan turun, ia selalu mengingat dan seolah bisa mendengar seseorang berbicara padanya, tentang hujan.

Hujan itu berkah, jangan pernah benci hujan. Kamu tau, saat paling ajaib dimana doa dan harapan akan terkabul? saat hujan. Jadi, jangan memaki kepada hujan tapi buatlah harapan.

Entah dari mana asalnya kata-kata itu. Satu hal yang pasti, Lluvia mengenalnya, mungkin sebuah kenangan di masa yang lalu.

Air hujan yang jatuh selalu berhasil menghipnotisnya, memandangi rinai hujan. Atau, mungkin dia sedang memandang seseorang yang saat ini berdiri di dekat post satpam sekolah, menanti hujan reda.

Laki-laki di seberang sana Langit Ioan Khalid, kapten basket Bimasakti Siapa yang tidak kenal Langit? Melihatnya saja sudah membuat lutut bergetar dan tenggorokan tercekat. Satu kata menggambarkannya Memesona.

Alis tebal, mata hitam tajam, putih, tubuh tinggi, seorang kapten basket pula. Siapa yang tidak jatuh hati, termasuk Lluvia. Lluvia mengagumi seorang Langit Ioan Khalid.

Hanya sebatas mengagumi, tanpa di lirik sama sekali. Lluvia menggelengkan kepalanya, mengusir imajinasi bodohnya tentang Langit. "Ah bodoh, mana mungkin Langit.. Ah sudahlah.." lirihnya.

"Diliatin ajah, samperin.." ucap seorang gadis yang baru saja tiba, berdiri di sampingnya.

Lluvia mendongak, menanggapi perkataan gadis itu dengan gelengen.

"Sampe nenek-nenek, dia juga enggak bakal kenal sama kamu Vi, kalau gini terus."

"Pelangi.. Doain yang bagus kek.." Lluvia memberengut. Dan, gadis di sampingnya hanya menanggapi dengan cengiran.

Kini, tetes-tetes bening itu mulai mereda, dilihatnya Langit beranjak dari post satpam, menaiki motor hitam miliknya. Suara deru motor itu berlalu. Lluvia memandangi pundak Langit yang kian menjauh.

"Aku jelek gini, mana mau Kak Langit sama aku."

"Ya ampun Lluvia.. Cinta itu enggak mesti tentang cantik. Kalau muka mah bisa dipermak, yang penting itu hati Vi. Dan, yang paling penting si Langit-Langit itu harus kenal dulu sama kamu. Kalau kamu enggak gerak, gimana bisa tu hubungan jadi erat!"

"Iya Pel, aku bakal gerak!" ucapnya penuh semangat. "Tapi...." Lluvia terdiam sejenak. Lalu menggelengkan kepala,"eng-enggak..."

Lluvia menggelengkan kepala lagi, membuang jauh-jauh pikirannya. Menundukkan wajah, dan memikirkan banyak hal, tentang ia yang hanya gadis biasa, tidak populer, tidak cantik, seperti kebanyakan fans-nya Langit, juga bukan termasuk ke dalam kategori siswi pintar.

Lluvia merasa tak pantas jika menaruh rasa pada Langit. Mustahil bisa menggandeng seorang Langit dari golongan populer Bimasakti. Namun, apakah salah jika suka? Bukankah rasa tak pernah tahu kepada siapa ia akan menyapa?

"Udah.. Enggak usah banyak dipikir, yuk pulang!"

💧💧💧

Haii...
Makasih udah baca cerita ini, semoga kalian suka ya..
Boleh tinggalkan vote dan coment.
Kritik dan saran aku bakal tampung dengan senang hati..😊
❤F

Langit Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang