13. Belajar

129 12 2
                                    

Lluvia sibuk memilih beberapa baju yang sempat dibelinya beberapa waktu yang lalu bersama Pelangi. Memakai, melepas, kemudian dipakai lagi. Ah, selalu saja. Kebiasaan perempuan kalau mau ketemu sama orang yang spesial, jadi pusing sendiri. Pilih baju berkali-kali, tapi akhirnya jatuh pada pilihan pertama. Baju kaus berwarna putih, celana jeans dan sepatu conversnya jadi pilihan. Ini lebih baik, ketimbang ia harus memakai rok floral yang disarankan Pelangi, tidak nyaman lebih banyaknya Lluvia tidak pede.

Jam empat, enggak pakai telat. Kalau telat gue berubah pikiran.

Perkataan Langit terngiang lagi, Lluvia melirik jam dinding hampir jam empat. Lluvia menepuk jidatnya sendiri. "Ah, telat aku." Lluvia cepat-cepat menaburkan bedak tipis ke wajah, liptint, dan mematut lagi penampilannya di cermin. "Aku siap," ucapnya. Lalu ia buru-buru mengambil beberapa buku, tas selempang kemudian melesat keluar kamar.

Di ruang tengah, Bintang baru saja tiba, pulang sekolah. "Mau kemana?" tanya Bintang.

"Mau belajar," teriak Lluvia sambil berlalu keluar pintu.

Belajar? Tumben.

Bintang berucap dalam hati, berbalik melihat adiknya sudah keluar rumah. "Dimana? Pulangnya gue jemput?" teriaknya.

"Entar aku hubungin, aku udah telat. Bye Abang.." teriak Lluvia tak kalah kencang sambil melambaikan tangan, kemudian berlalu. Lluvia menghentikan taksi, menuju kafe depan sekolah sesuai titah Langit. Ia melirik pergelangan tangannya, melihat jam. Lalu, tersadar jam tangan tidak ada di sana. Lluvia lupa, tadi ia melepasnya. Ia mengambil handphone, waktu yang ia miliki hanya tinggal lima menit lagi. Lluvia menggigit bibir bawahnya, takut kalau Langit sudah tiba dan menunggunya.

Setelah sampai, Lluvia memberikan uang lalu buru-buru keluar. Sekarang ia sudah benar-benar telat. Semua karena terlalu lama pilih baju. Ah, sial. Enggak mungkin dia bilang ke Langit terlambat karena bingung mau pakai baju apa, kan? Lluvia memejamkan mata, menggeleng, menolak telak apa yang baru saja melintas di pikirannya.

Terlalu sibuk dengan pikiran sendiri, sampai lupa kalau buku yang sedari tadi ia pegang sudah jatuh berantakan di lantai. Kebiasaan, suka nabrak orang. Lluvia mendecak pelan, menyadari kebodohannya barusan. Ia menunduk, memunguti buku-buku.

"Maaf, saya enggak sengaja." Lluvia mendongak melihat seseorang yang baru saja berbicara, dan ikut membantu memunguti buku-bukunya. "Hei, kamu yang kemarin, kan?" tanyanya, membuat kening Lluvia sedikit berkerut bingung.

"Hah?"

"Kamu temannya Pelangi, kan?"

"Ah, iya," ucap Lluvia sadar, baru mengingat orang yang ada di hadapannya sekarang. Rendy melirik sekilas tangan Lluvia yang sedang memunguti buku. Lluvia membalikan tangan, menyembunyikan tanda lahir di pergelangan tangan. Lluvia memang tidak suka tanda lahir itu diketahui orang, sedikit mengganggu penglihatan menurutnya. Lluvia buru-buru berdiri sambil mengucapkan tidak apa-apa menanggapi permintaan maafnya tadi.

"Gue Rendy," ujarnya sambil menyerahkan buku yang ada di tangannya ke Lluvia.

"Lluvia," jawabnya singkat, "makasih." Lluvia tersenyum mengambil buku.

"Untuk yang kemarin aku minta maaf." Rendy ikut berdiri.

"Enggak apap-apa, aku kok yang salah jalan enggak liat-liat. Sekarang juga," ucap Lluvia sambil tersenyum, kemudian menarik diri setelah pamit pergi. Rendy diam tertegun, kemudian keluar dari kafe. Lluvia mencari kira-kira dimana keberadaan Langit. Ia menyapu seluruh bagian ruang kafe, tapi tak ia temui sosok yang ia cari. Akhirnya Lluvia memilih duduk di kursi dekat jendela, menunggu Langit tiba.

Langit Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang