Lluvia berdiri di depan cermin. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun, mandi dan sudah berganti seragam. Ia mengamati dirinya dari atas sampai bawah. Kemeja putih panjang sudah melekat rapi, blazer berwarna navy sudah dipakai, dan rok flare krem yang selalu tampak cantik di matanya. Seragam ini akan terlihat sempurna untuk orang-orang seperti Rona atau Pelangi, tapi sedikit aneh kalau ia yang pakai, pikirnya.
"Aku kekurusan ya kayaknya," ucapnya pada diri sendiri, kemudian mengamati dirinya lagi. Lalu Lluvia menaburkan bedak tipis ke wajahnya, memoleskan liptint warna baby pink yang terlihat natural, sesuai untuk kulit Lluvia yang putih. Melihat dirinya di cermin, Lluvia buru-buru mengambil tisu, mengusap bibirnya.
"Ini bukan aku banget," ucapnya.
Bukan tanpa alasan, tiba-tiba Lluvia dandan. Semua atas saran Pelangi, sahabatnya. Kemarin mereka keliling mal, membeli baju temasuk beberapa bedak dan liptint untuk Lluvia. Setelah itu Lluvia melihat dirinya lagi di depan cermin, terlihat pucat. Lalu, ia memoleskan lagi liptint di bibirnya. Namun, sediki t lebih tipis. Ia meratakannya dengan ujung jari.
Tak lupa ia mengikat rambutnya, memakai kacamata yang gagangnya sudah longgar, lensanya sudah retak sedikit, tapi ia abaikan. Tidak nyaman rasanya, bila tidak memakai benda itu, walau sebenarnya Lluvia masih bisa melihat cukup jelas tanpa benda itu di matanya. Tak lupa ia memakai arloji di tangan kirinya, ia melihat ada tanda lahir berwarna hitam di pergelangan tangan kemudian tertutup saat arloji itu melingkar di sana. Setelah mendengar teriakan Bintang, Lluvia mengambil tas dan turun ke bawah. Menyapa semuanya seperti biasa, sarapan, lalu berangkat ke sekolah.
Setibanya di sekolah, ia disambut oleh wajah Pelangi yang memberengut. Kedua tangannya dilipat di depan dada, menilik setiap inci tubuh Lluvia.
"Kenapa?" tanya Lluvia keheranan. Pelangi maju selangkah meghampiri Lluvia, kemudian melepas kacamata tanpa persetujuan Lluvia. "Eh, kenapa di lepas?" tanya Lluvia bingung, sedikit kaget dengan tindakan Pelangi barusan.
"Kacamata retak gini masih kamu pake Vi? Udahlah biar aku yang pegang ni kacamata, kamu masih bisa liat jelas, kan kalau enggak pakai ini?"
"Ha? Iya.. tapi, eh, balikin Pel."
"Udah enggak apa-apa, aku simpen, lagian udah longgar gini." Pelangi menyimpan kacamata Lluvia ke dalam saku blazernya.
"Pel.. " Lluvia berteriak, Pelangi mengangakt tangan, menempelkan jari telunjuk kebibirnya mengisyaratkan untuk diam, karena Bu Tita baru saja masuk ke dalam ruangan. Lluvia segera duduk di bangkunya, diikuti oleh murid yang lain. Semua aktivitas berhenti saat guru cantik terkenal sedikit kejam itu sudah berdiri di depan kelas.
Diakhir pelajaran Bu Tita kembali memanggil Lluvia, membicarakan perihal bimbingan belajarnya dengan Langit. Lluvia kembali mengingat kejadian yang lalu saat Langit menolak untuk menjadi tutornya. Dan, sekarang Bu Tita malah menanyakan dan menagih untuk segera dilaksanakan.
"Nanti kamu temui Langit ya, Ibu sudah bicara sama dia."
"Iya Bu." Setelah berbicara pada Lluvia, Bu Tita keluar melanjutkan jadwal mengajar selanjutnya. Lluvia bingung setengah mati, apa Langit setuju untuk jadi tutornya kini? Bukannya kemarin dia menolak? Lluvia masih ingat perkataannya, kalau dia tidak mau dan akan bicara lagi dengan Bu Tita. Lluvia tampak berpikir.
Ah, mungkin saja. Siapa yang bisa membantah Bu Tita? Termasuk Kak Langit, bisa jadi...
Lluvia tersenyum kecil, kembali ke bangku menunggu guru selanjutnya masuk ke kelas.
***
"Sudah, temui Kak Langit sana," ucap Pelangi.
"Entar kalau dia bilang enggak mau lagi gimana? Sebenarnya sih, aku juga enggak mau belajar sama dia, ketahuan banget aku bodohnya, tapi ini Bu Tita.." Lluvia menundukan wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Abu-Abu
Teen Fiction"Kamu terlalu tinggi, tak bisa ku raih. Seperti namamu, Langit.." Publish: 24 Desember 2017