Aku duduk di samping seorang gadis yang sedang tiduran di sebelahku. Aku pun memutuskan untuk ikut tiduran di sampingnya. Kami sedang berada di dalam kobong, sebutan untuk kamar asrama di pesantren. Dia bernama Nuri Latifah, teman dekatku yang baru dekat bulan-bulan kemarin karena sebuah kejadian yang sulit dijelaskan. Aku akan menceritakan kejadian itu nanti, di part selanjutnya.
Kami berdua di dalam kobong ini karena Nuri berniat untuk menceritakan kisah cintanya bersama Zaenal, salah satu santri putra. Dia memiliki kisah cinta yang rumit menurutku. Karena saat ini status bersama pacarnya itu nggak jelas.
Aku mengambil buku harianku. "Ok, awal kalian pacaran gimana?" Tanyaku padanya seolah aku ini seorang wartawan.
Nuri melukiskan sebuah senyuman di bibirnya yang selalu ia tampilkan saat dia berpapasan denganku. Aku sangat bosan dengan senyuman itu pun mengalihkan pandanganku.
Dia belum juga menceritakan kisahnya. Dia malah tertawa dengan tawanya yang khas itu. Beberapa detik kemudian, dia mulai serius. Dia pun akhirnya menceritakan kisahnya dengan pacarnya itu.
_____
Dua tahun yang lalu. Gadis itu menampakkan kakinya di tanah suci, pesantren tercinta ini. Hari demi hari ia lewati di sini. Dia merasa aneh dengan suasana di pesantren ini, yang bertolak belakang dengan pesantren sebelumnya. Nuri di tempatkan di kobong satu. Dia hanya akrab dengan satu kobongnya. Sifatnya yang pendiam, membuatnya tak begitu mempunyai banyak teman dekat.
Teman satu kobongnya sedang berkumpul. Nuri, Dia hanya diam tak banyak berbicara. Salah satu santriwati yang bernama Ade, yang usianya berada di atasnya, sedang mentraktir mie ayam. Kenapa? Katanya dia baru saja di tembak oleh seseorang. Nuri hanya mendengar ucapan Teh Ade yang sedang menceritakan pacar barunya yang sesama santri itu. Di lubuk hati Nuri dia sangat penasaran dengan sosok yang sangat digilai oleh Teh Ade.“Jika kamu melihatnya, kamu pasti langsung suka. Dia sangat ganteng, Ri,” ucap Teh Ade dengan riang.
Nuri hanya tersenyum kecil. Dia tak tahu laki-laki yang dimaksud Teh Ade. Dia bahkan belum mengenal semua santri putra di pondok ini. Karena dia baru di sini.
.
.
Waktunya mengaji. Santri putra maupun putri bergegas untuk mengaji. Mereka mengaji sesuai dengan kelasnya masing-masing. Walaupun Nuri baru di pesantren ini, dia sudah langsung mengaji ke Kyai, sekaligus pemilik pesantren ini. Kyai belum datang untuk mengwuruk para santri. Jadi sambil menunggu, para santri ada yang sebagian yang mengobrol, menghapal, menulis sesuatu di bukunya, dan lain-lain.“Siapa nama gadis yang berkacamata itu?” tanya seorang santri putra pada Wafi, teman Nuri di balik hijab yang membatasi kawasan santri putra dan putri.
Nuri duduk berada di sisi Wafi pun mendengar, dia merasa dirinya yang ditanyakan laki-laki itu pun hanya diam.
“Namanya Nuri, kenapa? Suka?” ucap Wafi.
“Iyah, sampaikan salamku padanya, dari Zaenal Abidin gitu,” kata santriwan itu.
Wafi mengiyakan. Dia pun membisikannya pada Nuri.
Nuri hanya tersenyum biasa. “Wa’alaikumsalam,” jawab salam Nuri untuk Zaenal.
“Siapa Zaenal?” tanya Nuri yang tak tahu laki-laki itu.
“Dia yang sering di panggil Wa Eng,” jawab Wafi.
“Wa Eng?” Nuri sering mendengar nama itu. Nama yang selalu keluar dari mulut Teh Ade.
Nuri melihat ke arah kanan, tak sengaja hijab itu terbuka sedikit, menampilkan wajah seorang laki-laki yang tersenyum. Nuri langsung memalingkan wajahnya. Jadi itu laki-laki yang bernama Zaenal atau Wa Eng.
.
.
Ada pertandingan sepak bola di pesantren, untuk memeriahkan agustusan. Yang menjadi pembicara selama pertandingan adalah Zaenal. Nuri memperhatikan laki-laki itu. Tingkahnya yang aneh, membuatnya tak suka pada laki-laki itu. Namun Nuri tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
.
.
.
Seseorang datang ke kobong Nuri. Dia memberikan sebuah ponsel padanya. Nuri melihat Yuli bingung. “Apa ini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Holy Prison (Completed)
SpiritualSebuah novel yang menceritakan manusia-manusia yang berkumpul di sebuah tempat yang diridhoi oleh Allah. Mereka yang selalu tersenyum dan tertawa. Mereka terlihat bahagia di tempat itu. Namun dibalik semua itu mereka memiliki kepahitan hidup di dala...