Part 8 - Masa Depan

26 1 0
                                    

Aku masuk ke dalam kobong dan mendapatkan Cintana yang sedang membaca sebuah kertas. Aku menuju lemariku untuk mengambil pensil.

"Teh, aku mau cerita. Tapi jangan bilang sama siapa-siapa yah," kata Cintana tiba-tiba.

"Emang ada apa?" tanyaku.

"Kiki menyimpan suratnya di saku kemejaku. Dia nembak aku. Aku mau menolaknya. Tapi nggak tau harus nulis apa." Aku melihat raut wajah bingungnya.

"Tinggal tolak aja. Tapi kata-katanya, jangan nyakitin dia. Takut dia dendam."

"Aku bingung cari kata-katanya. Gimana yah, Teh?"

"Kenapa kamu nanya sama aku? Aku belum pernah dan tak tahu menahu tentang surat menyurat."

Tapi aku tetap membantunya mencari kata-kata yang bagus untuk menolak Kiki. Dan pada akhirnya kami gagal mendapatkannya.

"Aku akan minta bantuan aja sama Teh Heli."

Aku mengangguk setuju.

___________

Aku duduk di mimbar musholah. Musholah adalah tempat favoritku mungkin. Aku memang menghabiskan waktuku di mushola daripada di kobong. Aku juga sering tidur di sini. Bukan sering lagi, tapi setiap hari.

"Anak SMK tiga emang pada aneh, yah," ucap Wildah tiba-tiba.

"Emang, Mon," jawabku setuju.

"Maman yang bibirnya seksi, selalu nyeletuk dan sering membuat orang lain kesal." Aku sangat menyutujui hal itu. Nama aslinya bukan Maman, tapi Indi Alam.

"Terus Bu Chiko, yang selalu tertawa berlebihan. Nah.. Terus Teh Aci, dia selalu tidur di mana aja dan ngorok lagi. Terus Teh Ama yang bosen hidup dan sok manis."

Aku melihat Ama yang namanya di sebut. Dia sedang melihat ke arah Wildah dan tersenyum.

"Terus kalau si Fatmala?" tanyaku.

"Teh Fatmala tuh suka ngerubah lirik kalau nyanyi."

Aku hanya terkekeh geli. Aku membaringkan tubuhku dan menyalakan box music.

"Emon, emang Ama manis?" tanya Ama pada Wildah.

Wildah hanya tertawa. Apalagi melihat Ama dengan tampang polosnya. Aku juga ikut tertawa.

Aku melihat Cintana datang dengan buku-buku UNnya. Dan dia juga membawa bantal bonekanya dan selimutnya. Dia duduk dan mulai membuka-buka bukunya. Namun aktivitasnya terhenti karena kedatangan Teh Gladis. Teh Gladis memulai aksinya dengan mengganggu Cintana.

"Teh Gladis, kenapa sih suka ngejailin Cintana?" rengek Cintana.

"Biarin dong. Nanti tuh Cimin kangen sama Gladis."

"Nggak akan kangen sama Teh Gladis."

Teh Gladis memang sangat suka menjaili Cintana. Dan anehnya Cintana itu hanya diam dan merengek seperti anak kecil. Dia juga nggak pergi untuk menghindari Teh Gladis.

Wildah ikut bergabung untuk menjahili anak kecil itu. Dan Cintana hanya merengek.

"Ih da. Cintana kesel."

Aku hanya terkekeh geli. Kenapa dia tak pergi saja dan tetap si sini? Tentu saja mereka menjadi-jadi menjahili si bocah itu.

"Ih.. Embuu.." Dia berusaha memanggil ibunya. Padahal ibunya ada di rumahnya. Beliau tidak ada di sini.

_______

Fira sedang duduk diam di jendela, ketika aku masuk ke dalam kobongnya. Aku menyicikan galon ke dalam gelas plastik bekas aqua. Aku duduk dan meminumnya.

"Kamu pilih mata pelajaran minat apa untuk UN?" tanya Fira.

"Aku? Aku pilih geografi. Soalnya aku di geo, lumayanlah," jawabku.

"Apa aku harus sama kayak kamu aja? Biar kita belajar bareng."

"Sok aja. Aku juga mau belajar bareng."

"Ok, nanti aku akan bicara dengan guruku."

Aku hanya mengangguk. "Kamu jadi ke mana kuliah?"

"Nggak tau."

Ya, kami memang sedang kebingungan untuk melanjutkan masa depan kami.

_________

Ngomong-ngomong tentang masa depan kami. Kami pernah membicarakannya di kobong enam. Di sana ada Riri, Fira, Teh Gladis dan aku.

"Jadinya kalian itu mau ke mana kuliah tuh?" tanya Teh Gladis pada kami.

"Masih bingung, Teh. Tapi mamah tuh nyuruh aku untuk kerja dulu," jawab Riri.

"Iyah. Aku juga masih bingung."

"Kita kerja aja dulu yuk di SD IT," saran Fira.

"Nggak mungkin, Fir. Kalau kerja di sana kita harus hapal minimal satu juz. Juz 30 aja aku susah," ujar Riri.

"Bener juga." Aku mengangguk setuju.

"Ya udah, kita kawin kontrak aja sama orang bule. Tapi nggak harus ngelakuin yang kayak gituan," celetuk Riri.

Kami tertawa.

"Ayo, kita kerja di pelayaran aja. Kan suka ada bule-bule," candaku.

"Iyah. Bener kita nikah, kalau udah dapet uangnya tinggal dicerain aja."

"Nikah aja sama kakek-kakek aja sekalian. Kan cepet matinya," ujar Fira.

Kami tetap tertawa dengan candaan kami yang agak frontal itu. Ini hanya candaan kami takkan benar-benar melakukan hal yang seperti itu.

Ketika kami keluar dari kobong dan menghentikan obrolan yang takkan tahu ujungnya ke mana. Kami melihat ada Ibu Ustaz yang sedang duduk di mimbar musholah. Kami kembali masuk.

"Ibu ngedengerin dari tadi?"

"Kayaknya. Soalnya pas aku masuk juga ada ibu di sana."

Bukannya berhenti. Kami malah melanjutkan ocehan tak jelas kami. Setelah merasa Bu Ustaz tidak ada kami keluar lagi dari kobong.

"Uny, Ibu dari tadi ada di sini?" tanya Teh Gladis pada Juny yang sedang duduk di musholah.

"Iya. Malah Ibu tadi ketawa pas ngedengerin obrolan Teteh."
_________

The Holy Prison (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang