Part 4 - Dia Tak Boleh Membenci

58 2 0
                                    


Suasana pagi yang cerah, angin berhembus mendayu-dayu. Di sebuah kawasan pesantren salafi yang berada di tengah-tengah kota. Canda tawa memecahkan suasana pagi itu. Keadaan dapur yang berantakan karena habis memasak. Seorang santriwati yang sepertinya cantik membereskan dapur bersama dengan temannya. Dengan cepat dia membersihkan dapur.

"Aku akan pergi kuliah dulu," ucapnya pada teman-temannya sambil melangkah pergi menuju kobongnya.

Gadis itu bersama Gladis Azizah. Dia dengan cepat menuju kamar mandi. Karena kemngkinan dia akan telat dating ke kampus.

Setelah rapi berpakaian, Teh Gladis memakai sepatunya di beranda santri putri. Lalu dia dengan menggendong tasnya beranjak dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kawasan pesantren.

_______

Hari yang melelahkan baginya. Kepalanya pusing. Dia melangkah lesu masuk ke dalam kobong. Teman-temannya menyambut dia.

"Teh Gladis sudah pulang?" Tanya Riri.

Teh Gladis hanya mengangguk.

"Ayo, teh. Kita ngaji sama A Acil!" Ajak Wildah yang sering di panggil Emon.

"Emang Abah ke mana?" Teh Gladis menanyakan Abah yang merupakan pemimpin pondok.

"Ada."

Putri mengangguk. Dia berjalan menuju kobongnya, untuk menyimpan tasnya dan mengambil kitab.

__________

Ngaji pun dimulai. A Acil yang memberikan logatan dan menerangkan apa yang dimaksud isi dari kitab itu. Teh Gladis hanya mendengarkan. Mungkin dia serius mendengarkan A Acil. A Acil, nama aslinya adalah Hasyim, yang merupakan ponakan dari Abah.

"Nggak ada yang bikin kopi ya untuk A Acil?" Tanya Riri.

"Belum. Biar aku aja. Biar barokah," ujar Teh Gladis sambil beranjak untuk membuatkan kopi.

Setelah membust kopi hitam, Teh Gladis kembali. Dia berniat memberikan kopi itu ke A Acil. Namun tiba-tiba santri putri mengharu-harunya.

"Cie..ciee.. Teh Gladis bikin kopi buat calon suami," ujar Wildah.

Muka Teh Gladis jadi merah. "Berisik!" ucapnya sambil terkekeh geli. Hal itu juga membuat kami tertawa dan gencar menggodanya. Dia pun tak jadi memberikan kopi itu kepada A Acil. Dia malah memberikan kopi itu lewat kolong hijab kepada santri putra yang duduk di dekat hijab.

­­­­­­_________

Kalian harus tahu, sebenarnya Teh Gladis itu sangat benci, kalau dia dijodoh-jodokan dengan laki-laki. Kemungkinan besar dia pasti akan membenci orang yang dijodoh-jodohkan dengannya. Dia sering mengatakan itu ketika kami menggodanya. Namun kami tak memperdulikan perkataannya. Kami malah semakin gencar menggodanya. Tapi sayangnya dia sangat membuatku kesal. Dia tiba-tiba memukul kepalaku. Aku hanya menggerutu kesal.

___________

Hari demi hari, A Acil masih mengajari ngaji bersama kami. Ada yang tidur, ada juga yang makan, ada juga yang serius mendengarkan A Acil. Begitu pula dengan aku, mataku tiba-tiba merasa berat, rasa kantuk menyerangku.

Setelah mengaji, kami membicarakan pembicaraan A Acil, katanya beliau akan pulang lagi ke rumahnya. A Acil juga akan mengajar di Pesantren milik ayahnya. Aku melirik Teh Gladis yang sepertinya tidak mau terlibat pembicaraan tentang A Acil.

"Ya, sebentar lagi, ada yang mau ditinggalin sama calon suami," ledekku pada Teh Gladis.

"Hey, jangan menjodohkanku dengan A Acil!" kesalnya. tempat. Hal itu tentu saja membuatku sekaligus yang lain bahagia. Bahagia di atas penderitaan orang lain. Tapi tak apa setelah orang lain itu selalu mengejek kita. Hanya itu yang membuat Teh Gladis kalah. Dia selalu saja meledek aku dan teman-teman lain sehingga membuat kami mati kutu.

Sekarang aku dapat melihatnya. Dia mati kutu ketika kami membicarakan A Acil.

The Holy Prison (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang