Part 4

27 1 0
                                    

"Bagus, dari siapa?" tanyaku santai.

"Entahlah, tergeletak di kolong meja."

"Penggemar rahasia?"

"Mungkin. Aku hanya tidak mengerti, kalau surat itu ada di kolong mejaku,apakah mungkin si pengirimnya satu sekolah dengan kita?
Atau bisa jadi malah teman sekelasku? Tapi, kenapa seolah-olah dia menulis rindu itu seakan tidak bisa luruh? Padahal jika kita satu sekolah, dia bisa memandangiku setiap saat."

Hm? Fokusku beralih. Kalimatnya membuat aku berpikir. Mencoba memikirkan jawabannya.

"Aku rasa, ada banyak macam rindu di dunia ini yang tidak bisa luruh begitu saja hanya karena ketika dua tatap mata saling bertemu."

"Rindu seperti apa?"

"Aku tidak tahu, kau harus tanyakan langsung kepada penulisnya."

"Dia tidak mencantumkan satu tanda pengenalpun."

"Lantas kalau ada?"

"Aku ingin menghampirinya."

"Lalu?"

"Mengatakan jangan menyukaiku sampai lelah menahan rindu seperti itu. Aku tidak pantas menerima perasaan tulusnya."

"Kalimatmu lebih memeberi kesan bahwa kau menolaknya bahkan sebelum ia memberitahu siapa dirinya."

Ali terdiam.
Terlihat mencoba terlihat baik-baik saja.

Sejenak, keheningan meliputi kami.

Kemudian sesaat setelah memustukan untuk tidak bicara, dia mengajak ku untuk pulang. Sudah sore pula katanya.
Aku hanya mengiyakan sambil mengikutinya beranjak dari kursi rumah makan itu.

Di jalan pulang tak banyak yang kami bicarakan.

Sesekali membicarakan tentang rencana weekend dan tugas-tugas sekolah.

Selain itu kami hanya terdiam memandangi indahnya keramaian kota sore ini. Hiruk pikuk yang menyenangkan.

Entah kenapa surat pertama itu membuatnya menjadi terlihat sedih.

Akupun bertanya dalam hati, Siapa sebenarnya seseorang yang diam-diam menyukai Ali dan mengiriminya sebuah surat?

Jika membaca dari isi suratnya, aku rasa yang ia rasa bukan rasa suka yang biasa untuk Ali.
Ini berbeda, ada luka yang hadir disana.

Sampai di rumah, aku membuka smartphoneku dan kulihat ada beberapa pesan dari Reza.
Miris aku melihatnya, dia mencoba terus menghubungiku namun aku tak acuh.
Setelah kejadian tentang hujan itu, banyak hal yang baru kusadari.

Sesuatu yang tidak bisa aku lihat saat aku merasa aku menyukainya dan dia juga menyukaiku.

Perasaan itu menghalangi ku untuk melihat apa yang seharusnya aku pahami dari awal.

Ia selalu memiliki hak dan kesempatan untuk bersama dengan siapa saja.
Dia berhak memilih di antara banyaknya gadis yang menyukainya.

Dengan gadis itu apalagi.

Aku baru sadar, sebenarnya selama ini lebih banyak waktu yang mereka habiskan bersama dibandingkan waktunya untukku.

Kini seakan-akan aku seperti lampu kuning di antara lampu hijau dan merah. Ter-abaikan.

Kehadiran ku sejatinya tak berarti.
Tapi karena perasaan bodoh itu, seolah aku berpikir aku berarti baginya.

Di setiap tatapan matanya untuk ku, aku merasa bahwa akulah yang ada dihatinya.
Bukan gadis-gadis itu.
Aku bisa melihatnya dari senyuman itu.

Namun, walaupun berkali-kali aku bilang bahwa aku salah mengerti, hatiku tetap saja masih ingin berkata bahwa memang aku yang ada di hatinya.

Aku lelah
Hingga memutuskan untuk menjauh.

Seminggu sudah aku mengabaikannya, menjauhinya, mencoba membunuh dengan tega setiap harapan itu.

Ali juga tidak banyak membuat tingkah, dia harus bersiap-siap menempuh ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.

Yang sebenarnya menandakan sebentar lagi mungkin kami akan berpisah.

Reza memaksa ingin bicara denganku. . .
Ia ingin tau alasanku menjauh.
Aku hanya mendengus sabar mencoba abai..

Aku tidak bisa lagi mengelak darinya, dua minggu ini dia terus saja mencoba mengajak bicara, menghampiri dan bertanya. Tapi aku tidak mau menghiraukannya.

Sebenarnya aku kasihan melihatnya, tapi hatiku ini entah kenapa sama sekali belum mau di ajak berdamai. 

"Rain, bicaralah."
"Aku lebih suka kamu minta maaf daripada menyuruhku bicara."
"Untuk?"

Aku menghela napas

"Za, aku....."
"Ada apa sebenarnya?"
belum sempat kulanjutkan kalimatku dia sudah memotong duluan penasaran

"Aku mau kamu pergi Za."
"Maksud kamu?" tanyanya lebih penasaran

"Aku rasa selama ini aku salah, bukan aku yang ada di hatimu kan?"

Reza terlihat kaget, tertegun, sejenak terdiam.

"Za....."
"Jadi karena ini kamu ngejauh?"
"Aku hanya merasa....."
"Hanya? Itu belum tentu benar." sahutnya kesal

"Belum masa lalu kamu...."
"Masa lalu apa?"
"Ada seseorang di masa lalu kamu yang..........."

Belum sempat ku lanjutkan Reza nampak tertegun tak percaya.

Aku menghela napas, lagi.
Aku tidak tahu lagi apakah percakapan ini harus dilanjutkan atau tidak.

SAJAK-SAJAK MATAHARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang